Mila meringkuk di pojokan kamar itu. Matanya sembab, jejak air mata kering menempel di kedua sisi pipinya. Entah sudah berapa lama ia disitu, Mila tidak lagi bisa menghitung, mungkin beberapa jam, atau bahkan hari? Ia tidak bisa memastikan, tapi satu hal yang pasti, selama ia di sini ia selalu dalam keadaan terikat ketat, tidak berdaya. Kedua tangannya tertekuk ke belakang punggungnya, kedua pergelangan tangannya diikat menjadi satu. Begitu juga kedua sikunya, diikat hingga hampir menyentuh, memaksa posisi tubuhnya untuk membusung ke depan. Tali juga melilit menyilang mengitari payudaranya, dari jauh nampak seperti sebuah penopang payudara yang terbuat dari tali memutar di tubuhnya, menekan kedua lengannya ke samping, membuat Mila tidak bisa menggerakan seluruh bagian tangannya. Baju kerjanya yang bergaya Shanghai warna biru, kini sudah mulai kotor, akibat usaha Mila untuk melepaskan diri yang gagal, menyebabkan ia berkali-kali terjatuh ke lantai yang kotor. Kedua kakinya juga mengalami nasib yang sama, pergelangan kaki diikat menjadi satu, begitu juga dengkulnya. Tali yang mengikat pergelangan kaki disambungkan oleh tali pendek ke ikatan pergelangan tangan, praktis membuat Mila harus selalu dalam posisi duduk dengan dengkul tertekuk. Rok mini berwarna Biru cerahnya kini lebih mendekati biru tua. Sepatu Pantofel dengan hak 5cm hitamnya dengan bis karet seolah menghubungkan kedua mata kakinya, membuat Mila terlihat sexy.
Seakan takut Mila bisa kabur dalam keadaan ini, sebuah tali juga diikatkan ke leher Mila yang ditambatkan ke sebuah tiang, laksana sebuah hewan piaraan. Tapi, setidaknya Mila bersyukur merasakan pakaiannya masih lengkap menempel di tubuhnya. Keadaan ini tidak hanya membuatnya tidak berdaya, tapi juga sangat tidak nyaman. Apalagi bahan tali yang digunakan sangat tidak bersahabat dengan kulit, karena sangat kasar, sehingga bila Mila berusaha bergerak saja, itu membuatnya merasa perih. Tapi bukan itu yang terburuk. Yang terburuk adalah yang menutup mulut dan wajahnya. Mila bisa merasakan kain, kemungkinan besar sapu tangan, berada di dalam mulutnya. Mila yakin lebih dari satu sapu tangan, karena mulutnya terasa penuh. Saking penuhnya, Mila tidak bisa lagi membuka rahangnya. Memerlukan 5 menit bagi Mila untuk tahu bahwa percuma untuk berusaha menekan sapu tangan itu keluar dari mulutnya. Ia bisa merasakan sesuatu mengikat dan menutup mulutnya, tapi ia tidak tahu bagiamana persisnya.
Mungkin Mila akan menyerah lebih awal bila mengetahui betapa keras si Penculik telah berusaha untuk memastikan Mila tidak bisa berteriak minta tolong. Sehelai scarf berwarna hijau muda dilipat menjadi tipis dan panjang, diikatkan dengan kuat di antara bibir Mila, menekan ketiga sapu tangan yang menyumpal Mila lebih dalam. Lalu sehelai scarf berwarna merah cerah bercorak bunga matahari yang lebih besar dilipat, menjadi persegi panjang yang lebar,diikatkan di belakang kepala Mila, menutup mulut Mila sampai sedikit diatas dagu. Tidak puas, sehelai scarf berwarna hitam dilipat menjadi segitiga besar diikatkan diatas scarf merah yang tadi. Cukup? Ternyata si Penculik berpendapat lain. Sebuah pantyhose disarungkan ke kepala Mila, lalu bagian kaki pantyhose itu dililitkan di bagian mulut Mila, yang akhirnya diikat erat di bagian belakang kepala Mila. Lakban digunakan sebagai alat terakhir oleh si Penculik untuk benar-benar membungkam Mila. Lakban hitam yang lebarnya kecil itu harus dililitkan beberapa kali memutari kepala Mila sebelum menutupi seluruh bagian mulutnya. Si Penculik memutus kan Mila tidak perlu melihat apa-apa dulu untuk saat ini, dan menggunakan sisa lakban itu untuk menutup bagian mata Mila. Kini kepala Mila terlihat seperti Mumi, hanya bagian hidung saja yang terlihat. Si Penculik yakin Mila tidak akan senang bila mengetahui wajah cantiknya tertutup, tapi si Penculik lebih yakin, Mila sebenarnya bisa menikmati keadaannya yang tidak berdaya dan tidak nyaman itu.
Beberapa minggu yang lalu Mila duduk di Starbucks Ciwalk di Bandung. Dari posisi duduknya, Bima tahu Mila dalam keadaan tidak tenang, mungkin takut, panik, tegang, tapi Bima selalu berpikir positif, Mila pasti sudah tidak sabar untuk akhirnya bertemu dengan sahabat dunia mayanya ini. Mata Mila memandang ke sekitar dengan curiga, melihat setiap lelaki muda yang melewati Starbucks. Karena ini hari Sabtu, mata Mila cukup sibuk mengerjakan tugasnya.
"Halo" Suara Bima yang sopan terdengar dari belakang.
"Astaga! Ternyata dari tadi ia sudah berada di sini!!" Pikir Mila dalam hati.
Padahal mereka berjanji untuk bertemu pukul 5 sore, dan Mila sengaja untuk datang 1 jam lebih awal, sehingga ia bisa yakin ia tidak akan dikagetkan seperti ini.
"Ia pasti datang 2 jam lebih awal, demi bertemu aku" Pikir Mila, ini membuatnya merasa tersanjung.
"Eh… mmm… Mila kan?" Bima bertanya, suara keraguan tidak terdengar dari suaranya, karena Bima tahu wanita yang disapanya ini adalah Mila. Sehari sebelumnya, Mila berjanji untuk menggunakan scarf berwarna merah bercorak bunga matahari di lehernya sebagai tanda. Mila menepati janjinya.
"Iya.. Bima?" Mila terkesiap melihat Bima.
Akhirnya ia bisa melihat secara langsung lelaki yang selama ini hanya berupa text di program chat.
"Yup" Bima tersenyum ramah.
"Boleh?.." Ujar Bima seraya menarik kursi yang berada tepat di hadapan Mila.
"Ya boleh dong....." Mila membalas dengan genit. Bima kembali tersenyum, lalu duduk dihadapan Mila. Mila tidak menyangka ia bisa langsung merasa nyaman dengan Bima, tadinya ia cukup khawatir, bahwa keadaan akan menjadi canggung ketika mereka bertemu, ternyata kekhawatiran itu tidak perlu.
Selama setengah jam, topik pembicaraan berkisar pada hal-hal umumnya sebuah perkenalan. Keluarga, pekerjaan, hobi (selain bondage tentunya ). Mila sebenarnya sudah tidak sabar untuk ganti topik, yaitu topik yang selama ini mereka komunikasikan lewat email atau chat, tapi ia merasa Bima harus mulai duluan. Dan itu terjadi sejam kemudian.
'Terus.. bondage?' Bima berkata, lalu meminum ice lemon tea melalui sedotan (Bima berkeras memesan Ice lemon tea, ternyata dia bukan penggemar kopi). Untung Mila tidak lagi minum kopinya, pasti dia tersedak.
"Iya...?" Mila jadi salah tingkah, entah kenapa gairahnya mulai muncul.
"Begini, terus terang, gue ngga mau berlarut-larut berbicara tentang hal ini. Toh kita berdua udah sering berdiskusi lewat internet, bahkan berbagi pengalaman. Gue udah tahu apa yang Mila suka, Mila juga tahu apa yang gue suka. Menurut gue, kita cocok. Sekarang masalahnya tinggal dua hal, kepercayaan dan ketertarikan. Apakah Mila percaya dan tertarik untuk praktek bondage dengan gue?"
Bima berkata dengan tenang. Mila melongo. Ia tidak menduga Bima akan begitu terus terang. Ia ingin marah, karena Bima seenaknya saja mengajak dia untuk praktek, tapi… setelah dipikir, Mila menghargai keterus terangan Bima. Toh ia juga menginginkannya, tapi.. ini menyangkut harga diri !
"Gini Bim, bukannya gue ngga mau, tapi…....."
"Butuh proses?" Potong Bima.
Mila kaget, lalu mengangguk. Bima tersenyum.
"Gue tahu untuk percaya sama gue butuh proses.. Dan gue juga mengambil resiko untuk menawarkan hal ini langsung… Tapi.. itulah yang gue tawarkan.. Gue bisa ngerti kalau Mila menolak, Cuma.. gue tantang Mila untuk menerima tawaran gue. Gue jamin.. pasti akan menjadi pengalaman yang sangat.. sangat.. indah" Bima kembali meneguk ice lemon tea-nya, tapi kini ia tidak menggunakan sedotan.
Mila termenung. Tangannya tiba-tiba menjadi dingin, jantungnya berdebar cepat. Perasaannya bercampur aduk. Mila menundukan kepalanya, ia tidak ingin Bima bisa melihat matanya, takut Bima bisa melihat bahwa Mila sangat ingin menjawab 'iya'.
"Gini deh, gue kasih waktu 5 detik. Mila tinggal mengangguk aja kalau mau, kalau ngga meng-angguk, berarti Mila ngga mau, dan gue ngga bakal nanyain hal ini lagi"
"Satu…"
Mila gelisah, ia tetap tidak bisa melihat Bima..
"Dua.."
Mila memandang mata Bima dengan pandangan memohon, detik itu Mila menggunakan segenap kemampuannya untuk menilai Bima melalui matanya. Berharap ada sebuah kekuatan jatuh ke dirinya untuk bisa melihat seperti apa hati Bima sebenarnya, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.
"Bim,.... jangan gini dong.. khan...."
"Tiga....."
Bima tidak memperdulikan rengekan Mila. Mila mencoba menganalisa situasi ini. Soal ketertarikan, tentu saja, itu tidak perlu dibicarakan lagi. Apalagi setelah ia melihat Bima secara langsung, ketertarikan kepada teman Bondage-nya yang satu ini semakin menjadi-jadi. Tapi pertanyaannya.. Apakah ia bisa mempercayainya? Ini adalah pertemuan pertama mereka di kehidupan nyata, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar percaya pada seseorang, bahkan itupun tidak menjamin.
"Bim, please…... It's too soon.....!"
"Empat.."
Mila semakin panik, ia merasa marah Bima menempatkannya pada posisi tersudut seperti ini, membuatnya merasa tidak berdaya. Tapi.. sesungguhnya keadaan ini membuatnya semakin bergairah...
"Li….."
"mmmm....mau deh....!" Jawab Mila hampir tidak terdengar karena pelannya sambil mengangguk.
Bima menghentikan ucapannya, lalu tersenyum lebar. Mila tidak percaya apa yang baru saja ia ucapkan. Ia merasa begitu rapuh. Kepalanya tertunduk, pipinya memerah. Bima menggunakan jarinya untuk mengangkat dagu Mila, lalu berhenti setelah mata mereka beradu.
"Trust me…" Ucap Bima sambil memandang Mila, tatapannya memberikan ketenangan dan kenyamanan yang Mila belum pernah rasakan dari lelaki manapun sebelumnya. Setelah percakapan yang intens itu, Bima tidak lagi membicarakan tentang Bondage, seperti percakapan itu tidak pernah terjadi. Kembali Mila dibuat bingung, tapi disaat yang sama ia lega, karena Bima tidak memanfaatkan kerapuhannya, seakan Bima mengerti bahwa membutuhkan waktu bagi dirinya untuk pulih. Tidak hanya itu, tapi mungkin Bima akan memberikan waktu bagi mereka untuk saling mengenal terlebih dahulu, pertanyaan tadi hanya akal-akalan Bima saja, kenyataan nya mereka tidak akan praktek dalam waktu dekat, pikir Mila. Sejam berlalu begitu saja, Mila dan Bima semakin akrab. Bima melihat ke arah jam tangan di lengan kirinya.
"'Mil, jam 7. Gue harus pulang."
Bima nampak kecewa, begitu juga Mila.
"Ada janji kencan ya?" Mila menyesal menanyakan hal itu sesaat setelah kata-kata keluar dari mulut-nya.
"Duuh.. kok gue jadi cemburu gini ya?" Pikir Mila dalam hati. Bima menggeleng.
"Ngga, cuman gue udah bilang ke nyokap bakal balik, mau makan malam bersama." Ujar Bima sambil bersiap-siap berdiri.
Family man, pikir Mila. How nice.
"Eh.. tapi, tentang yang tadi?"
Lagi-lagi Mila berbicara tanpa berpikir dan menyesal.
"Gue harusnya menyumpal mulut gue sendiri pake lakban" Pikir Mila.
Ide itu membuatnya bergairah.
Bima terhenti, lalu memandang Mila.
"Oh itu..... Ngga perlu khawatir, sayang.. tentang hal itu, kamu ngga usah khawatir".
Dia memanggilku sayang, pikir Mila.
Ia berusaha supaya pipinya tidak memerah, tapi percuma. Bima tertawa kecil melihat tingkah laku Mila, lalu berdiri.
"Gue seneng banget akhirnya kita bertemu. Gue yakin pertemuan ini cuma awal. Dan gue bisa pastiin pertemuan berikutnya bakal lebih… exciting, to say the least."
Mereka akhirnya mengucapkan salam berpisah, Bima berjanji ia akan menghubungi Mila. Mila melihat sosok Bima keluar dari Starbucks, dan akhirnya hilang dari pandangannya. Sejenak Mila termenung, selama 10 menit ia duduk sendirian di kafe yang semakin lama semakin disesaki muda-mudi metropolitan. Tapi Mila tidak peduli.
"Ganteng juga,... kayak Charly ST 12,.......Dia manggil gue sayang.." Mila masih berada di alam- nya sendiri.
Berminggu-minggu kemudian, jarang sekali terdengar kabar dari Bima. SMS-nya yang masuk handphone Mila juga frekuensinya makin lama makin menurun. Apakah dia melupakan gue? Jangan-jangan dia udah menemukan wanita yang lebih cantik dari gue? Beribu pertanyaan ada di benak Mila. Pernah dia memutuskan untuk menelepon handphone Bima, tapi sungguh mengecewakan hasilnya.
"Gue lagi sibuk Mila, Sorry… Ntar deh gue kabarin kalo gue udah santai ya? Kamu ngerti kan?" Ujar Bima, di latar belakang terdengar suara-suara orang bercanda.
"Gue ngga ngerti!" ingin sekali Mila berontak.
Tapi tentu saja yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata pengertian. Harga diri Mila terlalu tinggi untuk mengambil langkah pertama, harga dirinya itu jugalah yang membuat keadaan ini semakin menyakitinya. Mila tidak habis pikir bagaimana Bima telah menyia-nyiakan dirinya. Pingin sekali ia marah, bagaimana tidak? Bima telah menempatkan dirinya di situasi yang sangat tidak nyaman ketika mereka bertemu, dan setelah dirinya seakan-akan 'merelakan' dirinya kepada Bima, justru Bima yang sekarang tidak menggubrisnya. Ugh! Mila berusaha melupakan nya. Ia menyibukkan dirinya dengan berbagai aktivitas, ia tidak akan membiarkan Bima berengsek itu mematahkan hatinya dan membuat dirinya merasa tidak berharga. Bahkan ia bekerja hingga larut malam, supaya ketika ia tiba dirumah, rasa lelah akan memaksanya untuk langsung tertidur, tidak ada waktu untuk merenungkan apa yang telah terjadi.
Seperti hari Selasa itu, Mila memutuskan untuk mengambil lembur, waktu menunjukkan pukul 19.45. Rekan-rekan kerjanya juga sudah maklum, memang beberapa minggu terakhir ini Mila rajin sekali. Mungkin Mila lagi butuh banyak duit, atau mungkin pingin promosi, pikir mereka. Sudah 1 jam Mila berkutat di depan komputernya, lembar-lembar spreadsheet berisi angka-angka terpampang di monitor. Ruangan luas yang tersekat-sekat menjadi beberapa tempat kerja itu telah terlihat sepi. Hanya Mila dan 2 orang lagi yang berada di ruangan itu. Bank yang berada di lokasi Jalan Setiabudi itu memang tutup jam 5, tidak heran keadaan sepi di jam 6 ini. Mila menarik napas panjang, sejenak ia berhenti dan meregangkan tangannya ke atas. Ia berdiri untuk meluruskan kakinya, sekalian melihat keadaan ruangan itu. Terlihat Pak Rijo yang mejanya terletak beberapa langkah di kiri meja Mila masih sibuk mengetik. Jauh di depan terlihat Ibu Risa yang sibuk memeriksa buku laporan. Keduanya berumur sekitar 35 tahunan, dan masih single. Mungkin itu alasan mereka begitu rajin di kantor, toh mereka tidak ada alasan untuk pulang cepat. Fakta itu kembali mengingatkan Mila terhadap kesendiriannya. Masalah bondage memang telah menjadi penghalang baginya dalam membina sebuah hubungan. Bila ia membina hubungan dengan seseorang yang tidak bisa menerima fetish bondage-nya, percuma saja, pikir Mila. Oleh karena itu timbul harapan besar ketika ia akhirnya menemukan Bima. Tapi lihat dirinya sekarang, bekerja sampai larut malam untuk melupakan seorang lelaki. Menyedihkan.
“ptaak,.. ptook,.... ptaak,... ptook,...!” bunyi langkah sepatu Mila menuju kamar mandi terdengar di lantai marmer Bank itu. Pakaian kerjanya yang berupa blouse ala shanghai warna biru dengan kancing putih berjejer rapih dari leher ke pusarnya, dipadu dengan rok mini berwarna abu-abu masih terlihat rapih. Tas hitam kecil tergantung di lengannya. Paha dan kaki putih mulusnya terlihat kontras dengan sepatu pantofel bertali hitamnya. Menawan, begitulah penampilan Mila. Mila mendorong pintu kamar mandi. Cermin besar menempel di dinding, menutupi hampir setengah bagian dari kamar mandi itu. Wastafel dengan teknologi sensor mengingatkan betapa modern-nya Bank itu. Mila mendekatkan tangannya ke wastafel, seperti sulap air otomatis mengucur keluar. Mila memandang refleksi dirinya di cermin. Gue cukup cantik kok, tubuh gue juga proporsional, pikir Mila. Ia mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang. Jadi model shampoo juga bisa. Pikir Mila lagi. Dari tas kecilnya Mila mengeluarkan botol parfum. Ia teringat Bima pernah bercerita tentang kegemarannya terhadap bau tubuh wanita. Mila menoleh ke kiri lalu ke kanan, memastikan ia sendirian, lalu mendekatkan hidungnya ke ketiaknya sendiri. Bau khas aroma ketiak terasa cukup tajam. Mila tersenyum. Smell what you've been missing Bima. Mila terkekeh, lalu ia merasa bodoh telah membaui ketiaknya sendiri. Ujung botol parfum itu ditekan oleh Mila, semprotan cairan parfum diarahkan ke bagian ketiak, dan lehernya. Mila menggunakan balik tangannya untuk mengusap parfum di lehernya.
'Brak' Terdengar suara dari dalam salah satu ruang toilet. Ternyata ada orang lain di kamar mandi ini. Jangan-jangan dia melihat gue nyium ketiak gue sendiri, pikir Mila malu. Tapi itu tidak mungkin. Terlihat dari sela di bawah pintu lap pel bergerak-gerak di lantai. Mila baru menyadari ada sebuah kereta dorong besar di pojok ruangan. Cleaning Services yang diambil dari outsourcing baru, pikir Mila. Pasti dia kesal kalau dia tahu Mila baru saja mengotori wastafel dan harus kembali membersihkannya. Pintu toilet itu terbuka, tapi tidak seperti yang Mila bayangkan, pintu itu terbuka dengan keras. Sesosok tubuh besar keluar dari dalam toilet. Sosok itu mengenakan seragam terusan putih, topi putih, kacamata hitam, dan masker putih. Ia bergerak cepat, hampir berlari, mendekati Mila. Mila berdiri terpaku, pikirannya kosong, ia tidak tahu harus berpikir atau bertindak apa.
Sesaat kemudian, sosok itu telah berdiri di hadapan Mila, Mila membalikan tubuhnya untuk berlari menuju pintu kamar mandi, tapi terlambat. Lengan yang kekar telah merangkul pinggang Mila dari belakang. Tangan muncul dari sisi yang lain, membekap mulut Mila. Kini Mila sadar sosok itu juga ternyata menggunakan sarung tangan latex berwarna putih. Ia bisa merasakan bahan latex itu mencengkram mulutnya dengan sangat kuat. 'Hmmff…!' Suara Mila tertahan.
“Ia ingin menculikku....!!??” rasa takut mulai membelenggu Mila. Secara reflek kedua tangan Mila yang masih terbebas berusaha melepaskan tangan yang membekap mulutnya. Tapi dengan lihai, lengan yang tadi melingkar di pinggul, menarik kedua tangan Mila ke bawah, lalu kembali melingkari tubuh Mila, tapi kini menahan kedua lengan Mila di samping sehingga tidak bisa berbuat banyak. Entah betapa seringnya Mila membayangkan dirinya dalam situasi ini, tapi sekarang ketakutan dan kepanikan menutupi gairahnya. Khayalan dan realitas memang sangat berbeda. Sosok itu mulai menarik Mila menjauh dari pintu kamar mandi, menuju ke pojok ruangan di mana kereta barang berada.
Kaki Mila ingin sekali melakukan perlawanan, tapi entah kenapa rasa kaku menjalar di tubuhnya. Sosok itu berhenti. Sejenak kemudian lengan yang me-lingkar di tubuhnya lepas, kedua tangan Mila kembali bisa bergerak. Tapi bukannya berusaha menarik tangan yang membekap mulutnya, Mila mencoba cara lain. Ia mengayunkan tangan kiri sekeras-kerasnya ke belakang, yakin akan mengenai perut si Penyerang. Tapi ternyata gerakan itu telah diantisipasi, Mila hanya mengenai udara. Lebih buruk lagi, kesalahan perhitungannya membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Mila pasti terjatuh ke lantai dengan keras bila si Penyerang tidak memegang nya. Situasi ini dimanfaatkan secara sempurna oleh si Penyerang, dengan mudah ia membaringkan Mila di lantai kamar mandi dalam keadaan telungkup.
Mila merasakan dengkul si Penyerang di punggungnya, ia mencoba menggunakan kedua tangannya yang bebas untuk mendorong lantai, menolongnya untuk berdiri, tapi sia-sia, si Penyerang terlalu kuat dan berat. Sadar akan hal itu, Mila berusaha menggunakan tangannya untuk tujuan lain, menggapai sosok itu. Dengan liar kedua tangan Mila bergerak. Percuma, kedua tangannya hanya bisa bergerak di samping, sekali lagi dengkul sialan itu menahan pergerakan Mila. Mila lalu menyadari hal yang lain, mulutnya telah terlepas dari bekapan. Mila berusaha berteriak, berbicara, apapun, asalkan bersuara. Yang keluar hanya suara napas terengah-engah. Dengkul si Penyerang tidak hanya membuatnya tidak bisa berdiri, tapi juga membuatnya sulit bernapas. Mila menyimpulkan ia harus mengumpulkan napas terlebih dahulu sebelum bisa berteriak. Beberapa detik Mila tidak bergerak, berharap si Penyerang akan menduga Mila telah menyerah, padahal Mila sedang bersiap-siap untuk mengeluarkan teriakan yang akan membuat penyanyi opera gendut bangga.
"To…gfffffffmmm…mmmphhh..!!" Antisipasi! Sekali lagi si Penyerang telah menebak apa yang ada di pikiran Mila. Segumpal kain telah berada di dalam mulutnya. Tepat ketika Mila hendak berteriak, si Penyerang menyumpalkan kain ke dalam mulut Mila. Kain itu cukup besar, menyebabkan pipi Mila menggelembung, seperti sedang cemberut. Mila tahu sebentar lagi si Penyerang akan memastikan kain itu tetap berada di dalam mulutnya. Benar saja, sebuah scarf digunakan untuk mengikat mulut Mila. Yang membuat kaget Mila adalah betapa ketatnya scarf itu diikat.
Pipi Mila terasa tertekan begitu kencangnya sehingga terasa sakit. Seumur hidupnya Mila belum pernah diikat mulutnya sedemikan kencang. Memang Mila sering mengalami bondage dan gag dengan Pria Idaman Lainnya, yaitu mantan Direktur Pemasaran di bank tempatnya bekerja, namun tidak seperti yang dia alami sekarang.
Gairahnya mulai muncul. 'Mmmff…mmmffghhh….!' Mila seolah melakukan tes terhadap sumpalan mulutnya. Scarf warna hijau itu sukses menahan kain sumpalan tetap pada tempatnya, yaitu di dalam mulut Mila. Mila bisa membayangkan seperti apa wajahnya sekarang, scarf hijau terikat di mulutnya diantara bibir, kain putih yang menyumpal mulutnya sedikit terlihat menyembul dari rongga-rongga mulutnya. Si Penyerang mengalihkan perhatiannya ke kedua tangan Mila, yang mulai bergerak menuju scarf hijau. Dengan tangkas kedua tangan Mila di tarik ke belakang, seutas tali panjang dengan cepat mengitari pergelanganan tangannya, lalu Mila merasakan proses cinching di tali, proses yang sering ia lakukan pada dirinya sendiri ketika melakukan self-bondage di dalam kamarnya sesaat sebelum tidur.. Selanjutnya Mila merasakan kedua sikunya ditarik ke belakang. 'Hmmfff…!!' Mila mengerang, tanda kesakitan. Kedua sikunya agak direnggangkan, setelah itu dengan cepat dililit oleh tali, menyisakan sedikit tempat bagi Mila untuk menggerakkan lengannya. Sekali lagi proses clincing memastikan ikatan di sikunya benar-benar kuat. Mila menggerak-gerakan tangannya, ikatan-ikatan itu hanya menyisakan sedikit ruang saja bagi Mila untuk bergerak. Percuma!
Kaki.....! Mila teringat akan anggota tubuhnya yang dari tadi terasa kaku. Target berikut dari ikatan si Penyerang. Mila sadar ini adalah kesempatan terakhirnya bila ia ingin terbebas,sebelum ia benar- benar tidak berdaya. Meskipun gairahnya sudah memuncak, tapi Mila masih menyadari keselamatan dirinya adalah nomor satu. Mila menoleh ke samping, dari sudut matanya ia bisa melihat si Penyerang mendekati kakinya, seutas tali panjang berada di genggaman tangannya.
Apa yang dilakukan tubuh Mila berikutnya tidak hanya mengagetkan si Penyerang, tapi Mila sendiri. Dengan keras ia menghentakan kaki kanannya ke dada si Penyerang, diikuti oleh tendangan dengan kaki kanan ke arah kepala. Tepat sasaran! Si Penyerang terjatuh ke belakang. Terdengar suara erangan yang cukup keras. Mila mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berusaha berdiri. Ternyata tidak segampang yang ia duga, tangannya yang terikat kebelakang dengan ketat membuatnya seakan tidak memiliki tangan, memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan keadaan barunya ini. Tapi waktu adalah sesuatu yang Mila tidak miliki saat ini. Akhirnya Mila berhasil setengah berdiri, bertumpu pada kedua dengkulnya, Mila dihadapkan pada pilihan, berjalan dengan kedua dengkulnya ke arah pintu keluar kamar mandi atau berusaha berdiri tegak terlebih dahulu. Mila memilih yang terakhir.
Pertama ia menapakan kaki kanannya di lantai, entah kenapa tapi kakinya terasa seperti agar-agar. Dengan bertumpu pada kaki kanan, Mila menaikan tubuhnya. Mila menoleh untuk melihat si Penyerang, ia masih terduduk di lantai, kedua tangannya memegang kepalanya. Sebuah luka terlihat di pelipis kanan, darah mulai mengucur. Si Penyerang mendongak dan melihat ke arah Mila, dari balik kaca mata hitamnya, Mila bisa melihat amarah di mata si Penyerang. Mila bergidik, lalu membuang pandangan nya ke arah pintu kamar mandi. My only way out. Mila mulai melangkah, pertama kaki kiri lalu diikuti kaki kanan, setiap langkah Mila semakin percaya bahwa ia akhirnya akan keluar dari kamar mandi laknat ini. Mila mulai mempercepat langkahnya. Tinggal beberapa langkah lagi dan gue akan terbebas! Mila akan bergegas ke ruangan kerjanya dan meminta tolong rekan-rekannya dikantor untuk membebaskan tali-tali yang mengikatnya, teman-temannya pasti akan terkejut melihat pemandangan Mila yang tangannya terikat kebelakang dan mulutnya yang tersumpal erat, lalu hanya bergumam “mmmppphhhh.....!!” meminta tolong; dalam bayangan Mila.
Tapi Mila terlalu cepat merasa berhasil. Si Penyerang telah mengepel seluruh bagian lantai kamar mandi sebelumnya, ia tahu sepatu pantofel Mila dan lantai licin tidak akan bersahabat. Ketika Mila berlari menuju pintu, lantai dan sepatu pantofel mulai bereaksi, dan Mila pun melayang. Bila kedua tangannya bebas, mungkin Mila bisa menyeimbangkan dirinya, tapi dengan kedua tangan yang terikat dengan erat di belakang tubuhnya, justru tangannya menjadi pemberat, dan Milapun terjerembab ke belakang. ' Uffff.hhh….!' Tangannya terasa sakit sekali, terutama pundaknya yang menyerap kontak dengan lantai. Untung saja reflek Mila masih berfungsi sehingga kepalanya tidak terbentur. Mila panik. Ia berusaha kembali berdiri, tapi posisinya yang terbaring di lantai dengan tangan dibelakang, membuatnya merasa seperti kecoa yang terbalik. Tidak hanya itu, tenaganya juga sudah terkuras habis akibat usaha pertamanya tadi. Mila terbaring lemas. Yang ia takutkan sekarang ialah amarah si Penyerang yang bisa ia lihat sudah mulai bangun.
"Hmmm..pphhh… mmmmpphhh….mmmmpppphhhhh…."
Kini Mila bukan berusaha berteriak minta tolong, tetapi berusaha meminta belas kasihan si Penyerang. Baju putih bersih si Penyerang sekarang dihiasi oleh bercak darah segar. Ia mendekati Mila, melangkah secara hati-hati, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan Mila. Mila bisa mendengar nafas berat si Penyerang. Dengan gerakan yang cepat si Penyerang menjambak rambut Mila. 'Hh..fff…! hhh.ff.f…!' Mila histeris, matanya terpejam, ia tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan si Penyerang berikutnya. Apa ini akhir hidup gue? Mila bertanya-tanya dalam hati, lalu mulai berdoa. Tapi si Penyerang melepaskan genggamannya. Mila belum ingin membuka matanya. Lalu Mila merasakan lilitan tali di pergelangan kakinya, kali ini ia merasa si Penyerang mengikat secara lebih kasar dan keras. Bisa dimengerti mengingat luka yang ada di pelipis kanannya. Setelah itu, dengkul Mila diikat sama ketatnya. Mila merasakan tangan-tangan melingkar di lengan dan pinggulnya, detik kemudian Mila terangkat ke atas. Ini pertama kali dalam hidupnya Mila digendong di pundak seseorang. Ia merasa sangat tidak berdaya. Kembali gairah itu muncul.
Si Penyerang menurunkan Mila ke dalam kereta dorong yang ternyata isinya kosong. Mila membuka mata, ia melihat si Penyerang sedang membuka sebuah botol, sehelai saputangan putih bergaris hitam berada di genggamannya. Obat bius. Chloroform? Oh, betapa seringnya Mila berfantasi dibius, lalu diculik oleh seseorang, tapi ini bukan saatnya berfantasi. Ini kenyataan yang buruk. Mila menyiapkan dirinya untuk menghirup cairan pembius, tapi si Penyerang ternyata tidak membekapkan saputangan yang sudah basah itu ke hidung Mila, ia melipat scarf itu menjadi segitiga lebar, lalu mengikatkannya di mulut dan hidung Mila. Mila mencoba menahan nafasnya selama mungkin. Sia-sia. Beberapa detik kemudian bau menyengat memasuki saluran pernafasan Mila, tapi anehnya Mila tidak langsung pingsan. Ia hanya merasa lemah lunglai, kini bahkan ia tidak bisa mengangkat kepalanya sendiri. Si Penyerang memasukan handuk-handuk putih ke dalam kereta dorong, menutupi Mila, setelah itu ia menutup kereta dorong dengan terpal putih. Selanjutnya Mila meraskan kereta dorong itu mulai berjalan.
Saat terakhir yang Mila ingat dalam keadaan setengah sadar ialah ia di angkut ke dalam bagasi mobil. Suara pintu bagasi ditutup seperti menandakan hilangnya kebebasan bagi dirinya. Setelah itu ia tertidur lelap bagaikan putri tidur.
*****
Ketika Mila membuka mata, dunia telah berubah menjadi gelap. Sesaat ia panik, menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tetap gelap. Mati lampu? Apa gue bermimpi? Tapi kenyataan pahit merasuk ketika Mila berusaha menggerakan tangan dan kakinya. Terikat erat & ketat.
Kejadian di kamar mandi kantornya mulai kembali masuk ke ingatannya. Bukan mati lampu, mata gue ditutup… Mila sadar dirinya dalam keadaan terduduk, lalu berusaha untuk berdiri. Entah kenapa selalu gagal, seperti ada yang menghambatnya. Berkali-kali ia terjerembab, sampai akhirnya sadar bahwa ikatan tangan dan kakinya disatukan oleh sebuah tali yang lain. Tidak bisa berdiri, Mila berusaha untuk merangkak, mencari jalan keluar. Tapi baru beberapa senti Mila merangkak, sebuah tali di lehernya mencegah Mila untuk bergerak lebih jauh. Keputus asaan yang dalam melingkupi perasaan Mila. Seakan semua harapan untuk melepaskan diri telah terputus. Mila telah diculik!!
Mila mulai menangis. Awalnya pelan-pelan, tetapi seperti bendungan yang jebol, tangisan Mila semakin menjadi-jadi. Sekitar setengah jam Mila menangis, entah apa yang membuatnya berhenti. Mungkin Mila menyadari bahwa tangisan tidak akan membantu apa-apa, tapi yang lebih pasti adalah fakta bahwa Mila mulai merasakan gairah yang selama ini belum pernah ia rasakan. Gairah bercampur malu. Mila merasa malu ia merasakan gairah ini. Untung saja si Penculik tidak melihat Mila mulai terangsang dalam keadaan terikat begini. Atau… Bisa aja dia memperha
tikan gue selama ini… duduk di sofa empuk di hadapan gue, menonton bagaimana gue berkali-kali terjatuh, bagaimana gue nangis, dan… Melihat bagaimana gue mulai horny.. Uhh.. Gue ngga boleh memperlihatkan gue horny…Bisa bahaya!
Menit berikutnya, Mila berusaha keras melawan gairahnya sendiri. Ia mengatur nafasnya, yang tadi mulai tersengal-sengal, kini sudah mulai bisa teratur. Mila mencoba berpikir, mungkin itu bisa membantunya melupakan gairahnya sendiri. 'Bima......!!!' Seakan ada halilintar di siang bolong, nama itu tiba-tiba muncul, lengkap dengan lampu neon yang terang, di dalam bayangan Mila. Astaga!! Ini pasti kerjaan Bima...!! Betapa bodohnya gue!! . Seketika itu juga ada perasaan tenang, lega bahkan bahagia ketegangan dan ketakutan berubah jadi perasaan pasrah.... 'hhh..ff…hhff..bbffmmpph…'
Mila tertawa dari balik sumpalan mulutnya. Tapi.. belum pasti.. jangan terlalu senang dulu Mila… Mila berkata pada dirinya sendiri. Mila menenangkan dirinya sendiri. Menunggu. Itulah yang bisa dilakukannya saat ini. Menunggu dan menunggu.
Tidak terasa Mila tertidur, rasa capek tidak bisa dipungkiri Mila, sejam yang lalu Mila memutus- kan untuk mengistirahatkan kepalanya ke tiang, dan akhirnya matanya tertutup. Sebuah suara membangunkan Mila. Ia merasakan kepalanya dipegang, terdengar suara lakban dibuka. Mila tidak merasakan sakit karena lakban itu tidak langsung menempel ke kulit, melainkan menempel di pantyhose. Cukup lama juga waktu yang dibutuhkan untuk lakban itu akhirnya terbuka. Mila berharap seluruh lakban akan dibuka, tapi nampaknya keberuntungan sudah meninggalkan Mila sejak ia masuk ke dalam kamar mandi beberapa jam sebelumnya. Hanya bagian mata saja yang dibuka, sehingga kini Mila akhirnya bisa melihat terang kembali. Mila mengedipkan mata beberapa kali, tapi pandangannya masih saja terasa kabur, sebelum sadar bahwa matanya masih tertutup oleh lapisan pantyhose. Mila melihat sesosok tubuh berjalan menjauh dari dirinya, mendekati sebuah meja. Sosok itu mengambil sesuatu dari meja, lalu kembali mendekati Mila. Semakin dekat, Mila semakin yakin barang yang diambil dari meja itu adalah sebilah pisau. Mila panik, lalu berontak dengan liar. Pisau itu mendekati mata Mila, lalu terdengar suara pantyhose yang dirobek. Ternyata pisau itu digunakan untuk merobek pantyhose yang menutup bagian mata Mila, sekarang Mila bisa melihat secara jelas. Meskipun membutuhkan waktu sampai pandangannya kembali normal. Ruangan kamar itu cukup luas, bergaya arsitektur post modern. Berlangit-langit tinggi, dan berlantaikan kayu parkit. sekitar 4 meter di depannya, Mila bisa melihat sebuah lemari pendek, berisi peralatan stereo, dan diatasnya tergantung layar TV LCD besar yang berbentuk persegi panjang. Kini Mila sadar dirinya tepat berada di tengah ruangan, diikat di sebuah tiang yang terbuat dari besi. Seorang wanita duduk dengan kaki bersilang di bangku antik disebelah lemari pendek. Ia mengenakan korset hitam, payudaranya yang besar tertahan oleh ikatan korset yang kencang. Ia juga memakai stocking hitam berenda, lengkap dengan garter belt, dan sepatu hitam berhak tinggi, modelnya serupa dengan yang Mila sedang pakai. Wajahnya nampak menggunakan make up tebal, tapi tidak bisa terlihat seluruhnya karena ia memakai topeng scarf berwarna hitam ala perampok di jaman koboi. Sebuah rokok terselip di jemari tangan kanannya. Mila tertegun. Ternyata bukan Bima yang nyulik gue...…Harapan terakhirnya baru saja masuk ke tong sampah. Lebih buruk lagi, ia diculik oleh seorang wanita yang entah kenapa menggunakan pakaian seksi di hadapan dirinya.
"Halo Mila" Sapa wanita itu. Suaranya agak bergetar. Tegang? Mungkin.. Horny? Mila mencoba menghilangkan pikiran itu dari otaknya.
"Bingung?" Tanya wanita itu. Suaranya menjadi agak bergumam karena tertutup scarf, tapi masih jelas untuk diartikan. Mila diam saja. Toh dia tidak bisa menjawab dengan sumpalan mulutnya yang ketat. 'Ehh… Jawab bego!' Wanita itu tiba-tiba berdiri, mengacungkan sebuah cambuk di tangan kirinya yang baru terlihat oleh Mila. Astaga!! Mila baru menyadari sesuatu. Dia seorang Mistress! Perasaan lega, pasrah dalam bahagia tadi entah hilang kemana di ganti ketakutan yang mencekam membelenggu dirinya.
"Mmmpphhh…." Mila mengangguk-ngangguk. Ia tidak ingin merasakan cambuk mengenai kulitnya.
"Bagus. Lo harus jawab semua pertanyaan gue, ngerti Bego?" Wanita itu berjalan di depan Mila, memamerkan cambuknya. Wanita itu ternyata cukup berisi, tapi tidak dalam batas yang berlebihan. Rambut hitamnya menjurai ke pundaknya. Tidak teralu cantik dan tubuhnya tidak begitu proporsional, tapi dengan pakaiannya yang seksi ditambah make up, ia cukup menggairahkan.
"Mmmppphhhh......" Mila kembali mengangguk.
"Gue Mistress Nadien. Mulai saat ini lo adalah budak gue" Suara Nadien masih bergetar, tapi tetap berwibawa.
Sejenak Mila bingung bagaimana dia bisa diculik oleh Nadien, Mila tidak mengenal dia, dan bahkan Mila yang terkenal ramah, supel dan selalu bergaul dengan siapa saja itu tidak merasa punya musuh.
"Lo slave cewek gue yang pertama. Biasanya gue lebih suka penis daripada vagina, tapi selalu ada yang pertama bukan?" Nadien tertawa mengejek. Mila menjadi mual mendengarnya. Selama ini Mila menganggap dirinya wanita normal. Ok, gue punya fetish slave bondage, tapi at least orientasi gue tetap cowok! Nampaknya Nadien bisa membaca ketakutan di mata Mila. Ia mendekati Mila yang terduduk, lalu secara mengejutkan mendekatkan bagian selangkangannya ke hidung Mila. Tangan Nadien memegang belakang kepala Mila, memaksa Mila mencium vagina Nadien yang masih tertutup oleh celana dalam hitam.
"Rasain nih… lo bakal sering nyium, jadi mulai biasain dari sekarang!" Nadin menjambak rambut Mila, lalu menggunakannya untuk mengontrol kepala Mila, sehingga ia bisa menggesek-gesekan hidung Mila di vaginanya sesuka hatinya.
"Mmmppphhh..! Mmmmpppphhhhhh….!!!!" Mila berusaha protes. Tapi apa daya, hidung Mila terpendam di vagina Nadien yang untungnya masih tertutup celana dalam. Mila bisa merasakan celana dalam Nadin yang ternyata basah, dan dari vaginanya timbul bau khas yang Mila sangat kenal.
"Enak?" Nadien terkekeh sambil terus menggesekan vaginanya ke hidung Mila. Tiba-tiba Nadien berhenti.
"Keenakan lo ya? Dasar bitch!" Nadin melepaskan kepala Mila.
Mila tahu seharusnya ia merasa jijik saat itu, tapi anehnya tidak. Justru… ia sedikit menikmati hal tersebut. Ia berusaha menyangkal kenikmatan itu, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini membuat Mila merasa semakin hina dan malu.
"Gue bakal kasih lo kesempatan terakhir buat muasin diri lo. Jadi jangan sia-siain" Nadin berkata dengan datar. Apa maksudnya? Mila bertanya-tanya dalam hati. Mila menunggu. Nadien menyalakan sebuah layar TV LCD dihadapan Mila. Terlihat sebuah DV Cam berada di atas lemari pendek, Kumpulan kabel keluar dari DV Cam itu lalu masuk ke TV LCD. Terlihat layar TV yang tadinya hitam, kini berubah menjadi biru. Nadien menjauh dari TV, mendekati Mila. Di tangan kirinya, cambuk telah diganti oleh sebuah remote control. Dan di tangan kanannya, rokok telah diganti sebuah alat berbentuk lonjong, dengan ujung berbentuk bola. Vibrator. Mila langsung mengenali alat itu. Ia juga memiliki satu di rumahnya, terkunci dengan aman di salah satu lemari pakaiannya. Nadien meletakan remote control di lantai dekat Mila terduduk, lalu berjongkok. Dengan tangkas Nadien menyelipkan vibrator masuk ke dalam rok mininya, lalu menaruhnya diantara selangkangan Mila, dengan ujung yang berbentuk bola menyentuh bagian vagina. Merasa rok mini menjadi pengganggu, Nadien menariknya ke atas, melipatnya, sehingga kini terlihat celana dalam Mila yang berwarna krem. Nadien tersenyum. Celana dalam itu terlihat basah.
"Dasar bitch.. " Nadien berkata sambil mengelus permukaan celana dalam Mila, Mila merinding merasakan jemari Nadien menyentuh bagian tubuh paling pribadinya itu. Nadien berhenti, kembali berkonsentrasi pada tugas yang ada di depannya. Vibrator itu ia rapihkan posisinya, sehingga ujungnya tepat menyentuh bagian paling sensitif di vagina Mila. Setelah itu, untuk memastikan vibrator itu tetap pada tempatnya, Nadin mengambil seutas tali, diikat melilit kedua paha Mila, membuat vibrator itu terjepit oleh kedua pahanya sendiri. Proses cinching agak lebih sulit karena melawati bagian antara paha yang rapat, tapi Nadien nampaknya sudah terlatih. Mila mendengus-dengus, berusaha menggeser letak vibrator itu.
"Heh! Dasar bego! Ini kebaikan hati gue, lo bisa nikmatin ini! Ini terakhir kali lo bisa ngerasa nikmat! Abis ini, tugas lo untuk muasin gue, ngga boleh muasin diri lo lagi! Ngerti ??!" Nadien berubah menjadi garang. Sekali lagi rambut Mila menjadi sasaran jambakan Nadien.
"Mmhhh..ammhhh…!" Mila memohon ampun atas kebodohannya, mengangguk-angguk, yang justru membuatnya merasa sakit karena rambutnya dipegang oleh Nadien. Masa depannya sebagai budak Nadien melintas di bayangan Mila. Setelah rambut dilepaskan, Nadien berjalan ke belakang Mila, menghilang.
Layar biru di TV LCD berubah menjadi sebuah tontonan. Terlihat sebuah ruangan besar. Nampaknya kamera diletakan di ujung atas ruangan, sehingga seluruh ruangan bisa terlihat dengan jelas. Ruangan itu kosong, dengan beberapa bilik toilet yang terbuka. Seseorang serba putih memasuki ruangan itu, mendorong kereta dorong. Kamar mandi laknat.. Mila tersadar apa yang sedang dan akan dilihatnya. Ia akan melihat proses penculikan dirinya! Sosok serba putih tersebut memasuki bilik toilet paling ujung sambil membawa lap pel. Nadien terlihat lebih besar di TV… mungkin efek kamera yang diletakan di atas.. pikir Mila.
"Ngebosenin.... kasian juga lu yah nungguin lama di kamar mandi… gw cepetin aja deh" Terdengar suara Nadien dari arah belakang.
Nungguin lama? Perasaan gue cuman nunggu 5 menit sebelum diculik. Dan gue ngga bakal nyebut itu 'nunggu', kalo gue tau gue bakal diculik, gue bakalan kabur duluan!' Pikir Mila. Terlihat proses fast-forwaring di layar, sosok serba putih itu bergerak layaknya The Flash, tapi karena ia hanya terduduk di toilet, tidak banyak bergerak, efek itu tidak begitu terlihat. Video itu kembali bermain dengan kecepatan normal. Terlihat Mila memasuki ruangan itu. Mila mengeluarkan sisir, lalu mulai menyisir rambut hitam panjangnya dengan pelan. Setelah itu mencuci tangan di wastafel berteknologi sensor. Mila tahu apa yang akan dilakukan dirinya, hal yang memalukan. Mila mengangkat lengannya, lalu mencium ketiaknya sendiri.
"Hahaha….!! Smile you're on stinkin' camera! Dasar jorok lo bego..!" Nadien tertawa-tawa dengan senang. Mila hanya bisa merengut malu. Kejadian yang tadinya begitu kabur di ingatan Mila, sekarang terlihat jelas di TV. Sosok serba putih itu mendekati Mila, berjalan cepat. Sebenarnya gue bisa kabur kalau gue langsung lari. pikir Mila.
"Lo lambat banget sih, dia bisa kabur tauk!" Nadin mengomel dari belakang. Mila terlampau serius melihat layar TV, tidak begitu memproses apa yang Nadin katakan. Tiba-tiba vibrator di selang
kangan Mila mulai menyala.
"Hmmhhh..!?" Mila melonjak kaget.
"Manfaatin waktu lo sebaik-baiknya.. Kalo lo ngga orgasme abis film-nya selesai, bakal ada hukuman, ngerti?!" Nadien membentak dari belakang.
Hukuman? Mila teringat akan cambuk yang kini tergeletak di atas lemari pendek. Adegan di TV terus berlangsung tanpa jeda. Mila melihat dirinya disergap, bagaimana ia berusaha untuk berteriak namun sia-sia. Lalu tubuhnya diseret ke belakang. Sosok serba putih itu melepaskan pegangan di tubuh Mila, ternyata ia sedang merongoh sakunya, mengeluarkan segumpal kain. Mila mengayunkan lengannya ke arah dada sosok itu, tapi telah diantisipasi, keadaan itu digunakan sosok serba putih itu untuk menjatuhkan Mila ke lantai. Kejadian tersebut ternyata berjalan cepat, tidak seperti yang dirasakan oleh Mila ketika itu. Mila mulai terangsang.
Di layar TV sedang diputar adegan penculikan dirinya sendiri, yang sudah berkali-kali ia bayangkan dalam lamunannya, yang biasanya ia lakukan sambil bermasturbasi. Tidak jarang sambil berself bondage ria. Kini ia berada dalam keadaan tidak berdaya, tangan dan kaki terikat erat dan ketat, mulut tersumpal. Ia disajikan tontonan spesial, yaitu adegan penculikan dirinya. Belum lagi sebuah vibrator yang pelan tapi pasti merangsang dirinya. Andaikan situasinya lain, ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Tubuh Mila mulai bereaksi dengan hebat, ia meronta-ronta, bukan untuk melepaskan diri, tapi untuk semakin merasakan betapa tidak berdaya dirinya saat ini.
"Mmpphhh… mmpphhhhhh…!! Mmmppphhhhh…,,,!" Mila semakin terangsang mendengar suara gumaman dirinya sendiri. Tidak hanya itu, Mila yang ada di TV juga kini mulutnya telah disumpal, dan diikat scarf hijau. Stereo system canggih membuat suara dibalik sumpalan mulut Mila menjadi semakin jelas. Secara bersaut-sautan suara gumaman itu terdengar.
"Mmmppphhhh.....…!" Mila bersuara.
"Mmmff…mmmffghhh….!" Mila yang di TV membalas. Vibrator itu kini menyala lebih kencang, Mila bisa merasakannya. Keringat mulai membasahi tubuh Mila. Tubuh Mila bergetar.
"Mmhhh… mmhh…" Terdengar suara gumaman dari belakang Mila.
Astaga,... Nadin juga ternyata sedang bermasturbasi! Pikir Mila. Suaranya terdengar berat, hampir menyerupai suara lelaki.
Sekarang Mila yang ada di TV sudah terikat kedua tangannya, dan adegan kungfu sebentar lagi akan terlihat. Mila menendang dengan keras sosok serba putih itu.
"Ihh.. bego banget sih lo? Kok bisa-bisanya ditendang…" Ujar Nadin. Mila tidak menggubris Nadin, ia sedang berkonsentrasi pada tubuhnya yang sudah akan mencapai puncak. Ia melihat dirinya yang melakukan kesalahan terbesar, mencoba berlari di lantai yang licin. Ia kesal mengapa ia tidak bersabar sedikit waktu itu. Scene berikutnya, kaki Mila telah terikat. Lalu digendong di pundak sosok serba putih itu menuju kereta dorong. Sebuah botol diambil dari saku kereta dorong, lalu dituangkan secara hati-hati ke sehelai scarf. Mila sudah berada di dalam kereta dorong, posisi kamera tidak begitu strategis untuk melihat isi kereta dorong itu, sehingga hanya terlihat sosok serba putih itu merunduk ke dalam kereta dorong. Mila bisa menduga apa yang sosok itu lakukan pada saat itu. Mila panik. Ia belum mengalami orgasme. Sedangkan adegan penculikan sudah selesai.
Pura-pura aja! pikir Mila. Toh dia udah berulang kali pura-pura orgasme di hadapan lelaki. Salah satu keuntungan jadi wanita. Fake orgasm. Jangan! Dia bakalan tau! Tiba-tiba suara lain timbul dari dalam dirinya. Nadien adalah wanita yang nampaknya cukup berpengalaman. Dia pasti membedakan orgasme pura-pura dan yang asli. Lagipula, Mila tidak begitu percaya diri akan kemampuan aktingnya, Mila memutuskan untuk mempercayai suara kedua. Mila ketakutan, bayangan Nadien yang mengambil cambuk dari lemari pendek, lalu mendekati dirinya yang tidak berdaya, mengayunkan cambuk itu ke tubuhnya, terbayang di pikirannya secara jelas. Diluar dugaan, bayangan itu justru semakin membuatnya bergairah, seperti sebuah batu jatuh ke mobil yang berada di pinggir jurang, mendorong mobil itu terjun ke bawah, dan membawa dirinya mencapai puncak kenikmatan.
"Hmmm..hhhh…!!! Mpppmmmhhh…!" Mila berteriak sekuatnya dari balik sumpalan mulutnya. Tubuhnya mengejang, Mila merasakan tali yang mengikat tangan dan kakinya, menahan dirinya untuk berbuat banyak.. Dari vaginanya, mengalir kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Mila memberontak lebih keras. Sialnya, hal ini justru menjadi bumerang, bukannya membuat Mila jadi lega, justru ketika ia berontak, ia lebih merasa tidak berdaya atas ikatan di tubuhnya. Gairahnya yang tadi Mila kira sudah terlepas, kini seakan ada gelombang kedua.
"Mmmpphh…!! Hhhhhh… hmmmpphhh….!!!" Mila baru saja mengalami orgasme keduanya. Beberapa detik setelah itu seluruh badannya terasa lemas. Mila terkulai di lantai yang dingin, bersandar pada tiang besi.
"Heh..! Belum selesai adegannya bego! Udah orgasme lagi.... Ihh… Dasar begoo …!" Nadin berteriak dari belakang.
Belum selesai?? Mila bingung. Seingat Mila, setelah dia diculik dari kamar mandi laknat itu, dia dimasukan ke dalam bagasi mobil sebelum akhirnya pingsan, dan terbangun di kamar ini. Pingsan. Gue pingsan!… Entah berapa lama… segalanya bisa terjadi selama gue ngga sadarin diri! Jantung Mila berdegup kencang. Untuk adegan penculikan di kamar mandi, Mila sudah bisa menduga apa yang bakal terjadi berikutnya, tapi.. kejadian selama ia pingsan, ia tentunya tidak tahu.
“Rasain aja bego! Vibratornya tetap gue nyalain Rasain!” Nadien tertawa, ia terdengar menikmati hal ini. Mila merasalan getaran vibrator itu di vaginanya. Astaga! Setelah orgasme vaginanya menjadi sangat sensitif, bahkan disentuh saja akan terasa ngilu, apalagi dirangsang oleh vibrator!
“Hmmmpphhh.....! Ammmpphhh.....! Ammmppphhh....!!” Mila memohon ampun dari balik sumpalan mulutnya. Ia berusaha menggerakkan kedua pahanya untuk memindahkan posisi vibrator, tapi tidak berhasil.
“Ha..ha..haa....! Rasainnn.....!” Nadien tertawa keras. Tidak ada yang ingin dilakukan Mila saat ini selain memukul Nadien telak di wajahnya, namun dengan tangan dan kakinya yang terikat erat sangat membatasi geraknya. Mila berkonsentrasi, fokus untuk mengindahkan rasa linu di vaginanya, mencoba membawa alam pikirannya ke suatu tempat yang indah dan damai. Terbayang wajah Direktur Pemasaran yang menjadi pria idamannya, ketika pertama kali mengenalkannya dengan ikat mengikat,.... di sebuah hutan dirinya terikat di pohon, Usaha ini berhasil untuk Mila ketika ia ingin mempertahankan agar dirinya tidak cepat orgasme, sesuatu yang mestinya ia lakukan beberapa saat yang lalu. Rasa linu dan geli tidak begitu terasa, Ia bisa membayangkan Nadien tidak terlalu senang Mila tersiksa hanya sebentar. Mila kembali berkonsentrasi pada layar TV, terlihat kereta dorong dibawa keluar dari kamar mandi. Beberapa saat kemudian, layar bergoyang-goyang, sekilas terlihat lantai dan sepasang kaki bersepatu perempuan, Mila ingat sepatu itu mirip dengan yang sedang dipakai Nadien dan yang sedang dipakainya, setelah itu layar menjadi gelap. Beberapa detik kemudian terlihat sebuah kamar.
Kamar ini... pikir Mila. Sebuah tiang besi menjadi fokus kamera. Dibelakang tiang besi terlihat sebuah tempat tidur mewah, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi ke langit-langit, tertutup dengan kelambu. Mila seakan merasa layar TV itu berfungsi sebagai kaca spion, dengan perbedaan waktu beberapa jam tentunya.
Nadien pasti lagi tidur-tiduran di tempat tidur itu saat ini... pikir Mila. Ia ingin menoleh untuk melihat sendiri tempat tidur dibelakangnya itu, tapi ikatan di lehernya menahan dirinya untuk bisa melakukan hal tersebut. Dan Mila menduga Nadien tidak akan terlalu senang bila dilihat oleh budaknya ketika ia sedang menikmati dirinya sendiri. Mila tidak akan mengambil resiko itu.
Dilayar TV, sosok serba putih kembali terlihat, ia agak membungkuk, berjalan mundur menuju tiang besi. Ia sedang mengendong tubuh Mila yang masih terikat dan tidak sadarkan diri. Mila melihat dirinya sendiri, masih dalam keadaan terikat. Scarf putih bergaris hitam masih menutupi hidung dan mulutnya. Mila disandarkan ke tiang besi itu. Secara terampil, scarf putih bergaris hitam dilepas, begitu juga scarf hijau yang mengikat mulut Mila. Kain putih yang berada di dalam mulut Mila dikeluarkan, terlihat sudah basah dengan air liur. Kain itu diletakkan dengan cermat di lantai, begitu juga scarf-scarf yang tadi itu. Sosok itu mendekatkan kepalanya ke kepala Mila. Untuk beberapa saat Mila bingung apa yang sedang dilakukan sosok itu kepadanya. Ternyata sosok itu menempelkan bibirnya yang tertutup oleh masker putih ke bibir Mila,y ang kini sudah terbebas dari sumpalan. Nadien nyium gue !!?? wanita itu benar-benar sakit,... pikir Mila. Dan bukan sekadar ciuman biasa, tapi ciuman yang penuh nafsu. Vibrator masih melakukan tugasnya, membuat Mila kembali bergairah. Mila meyakinkan dirinya bahwa vibrator itulah yang membuatnya bergairah, bukan adegan ciuman yang menjijikan ini! Tapi tanpa sadar pipi Mila menjadi merah. Belum puas gairah yang dia rasakan, tiba tiba Nadien mendekati dirinya yang terikat erat,... kemudian ditempelkannya sebuah sapu tangan merah di mulut dan hidungnya,... oh cloroform,..... pikir Mila, dan beberapa saat kemudian Milapun tak sadarkan diri.
*****
Entah berapa lama Mila tak sadarkan diri, kini mendapati dirinya dalam keadaan yang berbeda, kedua tangannya masih tertekuk ke belakang, kedua pergelangan tangannya diikat menjadi satu. Begitu juga kedua sikunya, diikat hingga hampir menyentuh, memaksa posisi tubuhnya untuk membusung ke depan. Tali juga melilit menyilang mengitari payudaranya, dari jauh nampak seperti sebuah penopang payudara yang terbuat dari tali memutar di tubuhnya, menekan kedua lengannya ke samping, membuat Mila tidak bisa menggerakan seluruh bagian tangannya.Yang membuat beda adalah Mila kini terikat berdiri di sebuah tiang, dengan tanpa busana, hanya bra, cd dan sepatunya yang masih melekat di tubuhnya. Mila merasakan dirinya sudah tidak di kamar tadi, tetapi di sebuah ruangan. Di sudut tembok terpampang jam dinding, waktu menunjukkan pukul 2.00 dini hari. Jika Mila mengingat-ingat, tadi dia masih berada di kantornya sekitar jam setengah tujuh sebelum penculikan ini terjadi, kemudian dia ingat dia menonton proses penculikan dirinya, perlawanannya terhadap sosok yang meringkusnya, kemudian ancaman Nadien, mistrees yang melecehkannya dengan tontonan adegan penculikan dirinya. Mila masih ingat melalui liputan, kalau dirinya dibopong dari bagasi mobil lalu diikatkan di tiang di kamar tidur. Mila berteriak sambil meronta-ronta, disadarinya mulutnya penuh dengan kain lalu disumpal dengan lakban. Tidak ada lagi pantyhose yang menutupi kepalanya. Benak Mila bertanya-tanya, di mana Nadien yang tadi menculikku?
Seakan takut Mila bisa kabur dalam keadaan ini, sebuah tali juga diikatkan ke leher Mila yang ditambatkan ke sebuah tiang, laksana sebuah hewan piaraan. Tapi, setidaknya Mila bersyukur merasakan pakaiannya masih lengkap menempel di tubuhnya. Keadaan ini tidak hanya membuatnya tidak berdaya, tapi juga sangat tidak nyaman. Apalagi bahan tali yang digunakan sangat tidak bersahabat dengan kulit, karena sangat kasar, sehingga bila Mila berusaha bergerak saja, itu membuatnya merasa perih. Tapi bukan itu yang terburuk. Yang terburuk adalah yang menutup mulut dan wajahnya. Mila bisa merasakan kain, kemungkinan besar sapu tangan, berada di dalam mulutnya. Mila yakin lebih dari satu sapu tangan, karena mulutnya terasa penuh. Saking penuhnya, Mila tidak bisa lagi membuka rahangnya. Memerlukan 5 menit bagi Mila untuk tahu bahwa percuma untuk berusaha menekan sapu tangan itu keluar dari mulutnya. Ia bisa merasakan sesuatu mengikat dan menutup mulutnya, tapi ia tidak tahu bagiamana persisnya.
Mungkin Mila akan menyerah lebih awal bila mengetahui betapa keras si Penculik telah berusaha untuk memastikan Mila tidak bisa berteriak minta tolong. Sehelai scarf berwarna hijau muda dilipat menjadi tipis dan panjang, diikatkan dengan kuat di antara bibir Mila, menekan ketiga sapu tangan yang menyumpal Mila lebih dalam. Lalu sehelai scarf berwarna merah cerah bercorak bunga matahari yang lebih besar dilipat, menjadi persegi panjang yang lebar,diikatkan di belakang kepala Mila, menutup mulut Mila sampai sedikit diatas dagu. Tidak puas, sehelai scarf berwarna hitam dilipat menjadi segitiga besar diikatkan diatas scarf merah yang tadi. Cukup? Ternyata si Penculik berpendapat lain. Sebuah pantyhose disarungkan ke kepala Mila, lalu bagian kaki pantyhose itu dililitkan di bagian mulut Mila, yang akhirnya diikat erat di bagian belakang kepala Mila. Lakban digunakan sebagai alat terakhir oleh si Penculik untuk benar-benar membungkam Mila. Lakban hitam yang lebarnya kecil itu harus dililitkan beberapa kali memutari kepala Mila sebelum menutupi seluruh bagian mulutnya. Si Penculik memutus kan Mila tidak perlu melihat apa-apa dulu untuk saat ini, dan menggunakan sisa lakban itu untuk menutup bagian mata Mila. Kini kepala Mila terlihat seperti Mumi, hanya bagian hidung saja yang terlihat. Si Penculik yakin Mila tidak akan senang bila mengetahui wajah cantiknya tertutup, tapi si Penculik lebih yakin, Mila sebenarnya bisa menikmati keadaannya yang tidak berdaya dan tidak nyaman itu.
Beberapa minggu yang lalu Mila duduk di Starbucks Ciwalk di Bandung. Dari posisi duduknya, Bima tahu Mila dalam keadaan tidak tenang, mungkin takut, panik, tegang, tapi Bima selalu berpikir positif, Mila pasti sudah tidak sabar untuk akhirnya bertemu dengan sahabat dunia mayanya ini. Mata Mila memandang ke sekitar dengan curiga, melihat setiap lelaki muda yang melewati Starbucks. Karena ini hari Sabtu, mata Mila cukup sibuk mengerjakan tugasnya.
"Halo" Suara Bima yang sopan terdengar dari belakang.
"Astaga! Ternyata dari tadi ia sudah berada di sini!!" Pikir Mila dalam hati.
Padahal mereka berjanji untuk bertemu pukul 5 sore, dan Mila sengaja untuk datang 1 jam lebih awal, sehingga ia bisa yakin ia tidak akan dikagetkan seperti ini.
"Ia pasti datang 2 jam lebih awal, demi bertemu aku" Pikir Mila, ini membuatnya merasa tersanjung.
"Eh… mmm… Mila kan?" Bima bertanya, suara keraguan tidak terdengar dari suaranya, karena Bima tahu wanita yang disapanya ini adalah Mila. Sehari sebelumnya, Mila berjanji untuk menggunakan scarf berwarna merah bercorak bunga matahari di lehernya sebagai tanda. Mila menepati janjinya.
"Iya.. Bima?" Mila terkesiap melihat Bima.
Akhirnya ia bisa melihat secara langsung lelaki yang selama ini hanya berupa text di program chat.
"Yup" Bima tersenyum ramah.
"Boleh?.." Ujar Bima seraya menarik kursi yang berada tepat di hadapan Mila.
"Ya boleh dong....." Mila membalas dengan genit. Bima kembali tersenyum, lalu duduk dihadapan Mila. Mila tidak menyangka ia bisa langsung merasa nyaman dengan Bima, tadinya ia cukup khawatir, bahwa keadaan akan menjadi canggung ketika mereka bertemu, ternyata kekhawatiran itu tidak perlu.
Selama setengah jam, topik pembicaraan berkisar pada hal-hal umumnya sebuah perkenalan. Keluarga, pekerjaan, hobi (selain bondage tentunya ). Mila sebenarnya sudah tidak sabar untuk ganti topik, yaitu topik yang selama ini mereka komunikasikan lewat email atau chat, tapi ia merasa Bima harus mulai duluan. Dan itu terjadi sejam kemudian.
'Terus.. bondage?' Bima berkata, lalu meminum ice lemon tea melalui sedotan (Bima berkeras memesan Ice lemon tea, ternyata dia bukan penggemar kopi). Untung Mila tidak lagi minum kopinya, pasti dia tersedak.
"Iya...?" Mila jadi salah tingkah, entah kenapa gairahnya mulai muncul.
"Begini, terus terang, gue ngga mau berlarut-larut berbicara tentang hal ini. Toh kita berdua udah sering berdiskusi lewat internet, bahkan berbagi pengalaman. Gue udah tahu apa yang Mila suka, Mila juga tahu apa yang gue suka. Menurut gue, kita cocok. Sekarang masalahnya tinggal dua hal, kepercayaan dan ketertarikan. Apakah Mila percaya dan tertarik untuk praktek bondage dengan gue?"
Bima berkata dengan tenang. Mila melongo. Ia tidak menduga Bima akan begitu terus terang. Ia ingin marah, karena Bima seenaknya saja mengajak dia untuk praktek, tapi… setelah dipikir, Mila menghargai keterus terangan Bima. Toh ia juga menginginkannya, tapi.. ini menyangkut harga diri !
"Gini Bim, bukannya gue ngga mau, tapi…....."
"Butuh proses?" Potong Bima.
Mila kaget, lalu mengangguk. Bima tersenyum.
"Gue tahu untuk percaya sama gue butuh proses.. Dan gue juga mengambil resiko untuk menawarkan hal ini langsung… Tapi.. itulah yang gue tawarkan.. Gue bisa ngerti kalau Mila menolak, Cuma.. gue tantang Mila untuk menerima tawaran gue. Gue jamin.. pasti akan menjadi pengalaman yang sangat.. sangat.. indah" Bima kembali meneguk ice lemon tea-nya, tapi kini ia tidak menggunakan sedotan.
Mila termenung. Tangannya tiba-tiba menjadi dingin, jantungnya berdebar cepat. Perasaannya bercampur aduk. Mila menundukan kepalanya, ia tidak ingin Bima bisa melihat matanya, takut Bima bisa melihat bahwa Mila sangat ingin menjawab 'iya'.
"Gini deh, gue kasih waktu 5 detik. Mila tinggal mengangguk aja kalau mau, kalau ngga meng-angguk, berarti Mila ngga mau, dan gue ngga bakal nanyain hal ini lagi"
"Satu…"
Mila gelisah, ia tetap tidak bisa melihat Bima..
"Dua.."
Mila memandang mata Bima dengan pandangan memohon, detik itu Mila menggunakan segenap kemampuannya untuk menilai Bima melalui matanya. Berharap ada sebuah kekuatan jatuh ke dirinya untuk bisa melihat seperti apa hati Bima sebenarnya, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.
"Bim,.... jangan gini dong.. khan...."
"Tiga....."
Bima tidak memperdulikan rengekan Mila. Mila mencoba menganalisa situasi ini. Soal ketertarikan, tentu saja, itu tidak perlu dibicarakan lagi. Apalagi setelah ia melihat Bima secara langsung, ketertarikan kepada teman Bondage-nya yang satu ini semakin menjadi-jadi. Tapi pertanyaannya.. Apakah ia bisa mempercayainya? Ini adalah pertemuan pertama mereka di kehidupan nyata, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar percaya pada seseorang, bahkan itupun tidak menjamin.
"Bim, please…... It's too soon.....!"
"Empat.."
Mila semakin panik, ia merasa marah Bima menempatkannya pada posisi tersudut seperti ini, membuatnya merasa tidak berdaya. Tapi.. sesungguhnya keadaan ini membuatnya semakin bergairah...
"Li….."
"mmmm....mau deh....!" Jawab Mila hampir tidak terdengar karena pelannya sambil mengangguk.
Bima menghentikan ucapannya, lalu tersenyum lebar. Mila tidak percaya apa yang baru saja ia ucapkan. Ia merasa begitu rapuh. Kepalanya tertunduk, pipinya memerah. Bima menggunakan jarinya untuk mengangkat dagu Mila, lalu berhenti setelah mata mereka beradu.
"Trust me…" Ucap Bima sambil memandang Mila, tatapannya memberikan ketenangan dan kenyamanan yang Mila belum pernah rasakan dari lelaki manapun sebelumnya. Setelah percakapan yang intens itu, Bima tidak lagi membicarakan tentang Bondage, seperti percakapan itu tidak pernah terjadi. Kembali Mila dibuat bingung, tapi disaat yang sama ia lega, karena Bima tidak memanfaatkan kerapuhannya, seakan Bima mengerti bahwa membutuhkan waktu bagi dirinya untuk pulih. Tidak hanya itu, tapi mungkin Bima akan memberikan waktu bagi mereka untuk saling mengenal terlebih dahulu, pertanyaan tadi hanya akal-akalan Bima saja, kenyataan nya mereka tidak akan praktek dalam waktu dekat, pikir Mila. Sejam berlalu begitu saja, Mila dan Bima semakin akrab. Bima melihat ke arah jam tangan di lengan kirinya.
"'Mil, jam 7. Gue harus pulang."
Bima nampak kecewa, begitu juga Mila.
"Ada janji kencan ya?" Mila menyesal menanyakan hal itu sesaat setelah kata-kata keluar dari mulut-nya.
"Duuh.. kok gue jadi cemburu gini ya?" Pikir Mila dalam hati. Bima menggeleng.
"Ngga, cuman gue udah bilang ke nyokap bakal balik, mau makan malam bersama." Ujar Bima sambil bersiap-siap berdiri.
Family man, pikir Mila. How nice.
"Eh.. tapi, tentang yang tadi?"
Lagi-lagi Mila berbicara tanpa berpikir dan menyesal.
"Gue harusnya menyumpal mulut gue sendiri pake lakban" Pikir Mila.
Ide itu membuatnya bergairah.
Bima terhenti, lalu memandang Mila.
"Oh itu..... Ngga perlu khawatir, sayang.. tentang hal itu, kamu ngga usah khawatir".
Dia memanggilku sayang, pikir Mila.
Ia berusaha supaya pipinya tidak memerah, tapi percuma. Bima tertawa kecil melihat tingkah laku Mila, lalu berdiri.
"Gue seneng banget akhirnya kita bertemu. Gue yakin pertemuan ini cuma awal. Dan gue bisa pastiin pertemuan berikutnya bakal lebih… exciting, to say the least."
Mereka akhirnya mengucapkan salam berpisah, Bima berjanji ia akan menghubungi Mila. Mila melihat sosok Bima keluar dari Starbucks, dan akhirnya hilang dari pandangannya. Sejenak Mila termenung, selama 10 menit ia duduk sendirian di kafe yang semakin lama semakin disesaki muda-mudi metropolitan. Tapi Mila tidak peduli.
"Ganteng juga,... kayak Charly ST 12,.......Dia manggil gue sayang.." Mila masih berada di alam- nya sendiri.
Berminggu-minggu kemudian, jarang sekali terdengar kabar dari Bima. SMS-nya yang masuk handphone Mila juga frekuensinya makin lama makin menurun. Apakah dia melupakan gue? Jangan-jangan dia udah menemukan wanita yang lebih cantik dari gue? Beribu pertanyaan ada di benak Mila. Pernah dia memutuskan untuk menelepon handphone Bima, tapi sungguh mengecewakan hasilnya.
"Gue lagi sibuk Mila, Sorry… Ntar deh gue kabarin kalo gue udah santai ya? Kamu ngerti kan?" Ujar Bima, di latar belakang terdengar suara-suara orang bercanda.
"Gue ngga ngerti!" ingin sekali Mila berontak.
Tapi tentu saja yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata pengertian. Harga diri Mila terlalu tinggi untuk mengambil langkah pertama, harga dirinya itu jugalah yang membuat keadaan ini semakin menyakitinya. Mila tidak habis pikir bagaimana Bima telah menyia-nyiakan dirinya. Pingin sekali ia marah, bagaimana tidak? Bima telah menempatkan dirinya di situasi yang sangat tidak nyaman ketika mereka bertemu, dan setelah dirinya seakan-akan 'merelakan' dirinya kepada Bima, justru Bima yang sekarang tidak menggubrisnya. Ugh! Mila berusaha melupakan nya. Ia menyibukkan dirinya dengan berbagai aktivitas, ia tidak akan membiarkan Bima berengsek itu mematahkan hatinya dan membuat dirinya merasa tidak berharga. Bahkan ia bekerja hingga larut malam, supaya ketika ia tiba dirumah, rasa lelah akan memaksanya untuk langsung tertidur, tidak ada waktu untuk merenungkan apa yang telah terjadi.
Seperti hari Selasa itu, Mila memutuskan untuk mengambil lembur, waktu menunjukkan pukul 19.45. Rekan-rekan kerjanya juga sudah maklum, memang beberapa minggu terakhir ini Mila rajin sekali. Mungkin Mila lagi butuh banyak duit, atau mungkin pingin promosi, pikir mereka. Sudah 1 jam Mila berkutat di depan komputernya, lembar-lembar spreadsheet berisi angka-angka terpampang di monitor. Ruangan luas yang tersekat-sekat menjadi beberapa tempat kerja itu telah terlihat sepi. Hanya Mila dan 2 orang lagi yang berada di ruangan itu. Bank yang berada di lokasi Jalan Setiabudi itu memang tutup jam 5, tidak heran keadaan sepi di jam 6 ini. Mila menarik napas panjang, sejenak ia berhenti dan meregangkan tangannya ke atas. Ia berdiri untuk meluruskan kakinya, sekalian melihat keadaan ruangan itu. Terlihat Pak Rijo yang mejanya terletak beberapa langkah di kiri meja Mila masih sibuk mengetik. Jauh di depan terlihat Ibu Risa yang sibuk memeriksa buku laporan. Keduanya berumur sekitar 35 tahunan, dan masih single. Mungkin itu alasan mereka begitu rajin di kantor, toh mereka tidak ada alasan untuk pulang cepat. Fakta itu kembali mengingatkan Mila terhadap kesendiriannya. Masalah bondage memang telah menjadi penghalang baginya dalam membina sebuah hubungan. Bila ia membina hubungan dengan seseorang yang tidak bisa menerima fetish bondage-nya, percuma saja, pikir Mila. Oleh karena itu timbul harapan besar ketika ia akhirnya menemukan Bima. Tapi lihat dirinya sekarang, bekerja sampai larut malam untuk melupakan seorang lelaki. Menyedihkan.
“ptaak,.. ptook,.... ptaak,... ptook,...!” bunyi langkah sepatu Mila menuju kamar mandi terdengar di lantai marmer Bank itu. Pakaian kerjanya yang berupa blouse ala shanghai warna biru dengan kancing putih berjejer rapih dari leher ke pusarnya, dipadu dengan rok mini berwarna abu-abu masih terlihat rapih. Tas hitam kecil tergantung di lengannya. Paha dan kaki putih mulusnya terlihat kontras dengan sepatu pantofel bertali hitamnya. Menawan, begitulah penampilan Mila. Mila mendorong pintu kamar mandi. Cermin besar menempel di dinding, menutupi hampir setengah bagian dari kamar mandi itu. Wastafel dengan teknologi sensor mengingatkan betapa modern-nya Bank itu. Mila mendekatkan tangannya ke wastafel, seperti sulap air otomatis mengucur keluar. Mila memandang refleksi dirinya di cermin. Gue cukup cantik kok, tubuh gue juga proporsional, pikir Mila. Ia mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang. Jadi model shampoo juga bisa. Pikir Mila lagi. Dari tas kecilnya Mila mengeluarkan botol parfum. Ia teringat Bima pernah bercerita tentang kegemarannya terhadap bau tubuh wanita. Mila menoleh ke kiri lalu ke kanan, memastikan ia sendirian, lalu mendekatkan hidungnya ke ketiaknya sendiri. Bau khas aroma ketiak terasa cukup tajam. Mila tersenyum. Smell what you've been missing Bima. Mila terkekeh, lalu ia merasa bodoh telah membaui ketiaknya sendiri. Ujung botol parfum itu ditekan oleh Mila, semprotan cairan parfum diarahkan ke bagian ketiak, dan lehernya. Mila menggunakan balik tangannya untuk mengusap parfum di lehernya.
'Brak' Terdengar suara dari dalam salah satu ruang toilet. Ternyata ada orang lain di kamar mandi ini. Jangan-jangan dia melihat gue nyium ketiak gue sendiri, pikir Mila malu. Tapi itu tidak mungkin. Terlihat dari sela di bawah pintu lap pel bergerak-gerak di lantai. Mila baru menyadari ada sebuah kereta dorong besar di pojok ruangan. Cleaning Services yang diambil dari outsourcing baru, pikir Mila. Pasti dia kesal kalau dia tahu Mila baru saja mengotori wastafel dan harus kembali membersihkannya. Pintu toilet itu terbuka, tapi tidak seperti yang Mila bayangkan, pintu itu terbuka dengan keras. Sesosok tubuh besar keluar dari dalam toilet. Sosok itu mengenakan seragam terusan putih, topi putih, kacamata hitam, dan masker putih. Ia bergerak cepat, hampir berlari, mendekati Mila. Mila berdiri terpaku, pikirannya kosong, ia tidak tahu harus berpikir atau bertindak apa.
Sesaat kemudian, sosok itu telah berdiri di hadapan Mila, Mila membalikan tubuhnya untuk berlari menuju pintu kamar mandi, tapi terlambat. Lengan yang kekar telah merangkul pinggang Mila dari belakang. Tangan muncul dari sisi yang lain, membekap mulut Mila. Kini Mila sadar sosok itu juga ternyata menggunakan sarung tangan latex berwarna putih. Ia bisa merasakan bahan latex itu mencengkram mulutnya dengan sangat kuat. 'Hmmff…!' Suara Mila tertahan.
“Ia ingin menculikku....!!??” rasa takut mulai membelenggu Mila. Secara reflek kedua tangan Mila yang masih terbebas berusaha melepaskan tangan yang membekap mulutnya. Tapi dengan lihai, lengan yang tadi melingkar di pinggul, menarik kedua tangan Mila ke bawah, lalu kembali melingkari tubuh Mila, tapi kini menahan kedua lengan Mila di samping sehingga tidak bisa berbuat banyak. Entah betapa seringnya Mila membayangkan dirinya dalam situasi ini, tapi sekarang ketakutan dan kepanikan menutupi gairahnya. Khayalan dan realitas memang sangat berbeda. Sosok itu mulai menarik Mila menjauh dari pintu kamar mandi, menuju ke pojok ruangan di mana kereta barang berada.
Kaki Mila ingin sekali melakukan perlawanan, tapi entah kenapa rasa kaku menjalar di tubuhnya. Sosok itu berhenti. Sejenak kemudian lengan yang me-lingkar di tubuhnya lepas, kedua tangan Mila kembali bisa bergerak. Tapi bukannya berusaha menarik tangan yang membekap mulutnya, Mila mencoba cara lain. Ia mengayunkan tangan kiri sekeras-kerasnya ke belakang, yakin akan mengenai perut si Penyerang. Tapi ternyata gerakan itu telah diantisipasi, Mila hanya mengenai udara. Lebih buruk lagi, kesalahan perhitungannya membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Mila pasti terjatuh ke lantai dengan keras bila si Penyerang tidak memegang nya. Situasi ini dimanfaatkan secara sempurna oleh si Penyerang, dengan mudah ia membaringkan Mila di lantai kamar mandi dalam keadaan telungkup.
Mila merasakan dengkul si Penyerang di punggungnya, ia mencoba menggunakan kedua tangannya yang bebas untuk mendorong lantai, menolongnya untuk berdiri, tapi sia-sia, si Penyerang terlalu kuat dan berat. Sadar akan hal itu, Mila berusaha menggunakan tangannya untuk tujuan lain, menggapai sosok itu. Dengan liar kedua tangan Mila bergerak. Percuma, kedua tangannya hanya bisa bergerak di samping, sekali lagi dengkul sialan itu menahan pergerakan Mila. Mila lalu menyadari hal yang lain, mulutnya telah terlepas dari bekapan. Mila berusaha berteriak, berbicara, apapun, asalkan bersuara. Yang keluar hanya suara napas terengah-engah. Dengkul si Penyerang tidak hanya membuatnya tidak bisa berdiri, tapi juga membuatnya sulit bernapas. Mila menyimpulkan ia harus mengumpulkan napas terlebih dahulu sebelum bisa berteriak. Beberapa detik Mila tidak bergerak, berharap si Penyerang akan menduga Mila telah menyerah, padahal Mila sedang bersiap-siap untuk mengeluarkan teriakan yang akan membuat penyanyi opera gendut bangga.
"To…gfffffffmmm…mmmphhh..!!" Antisipasi! Sekali lagi si Penyerang telah menebak apa yang ada di pikiran Mila. Segumpal kain telah berada di dalam mulutnya. Tepat ketika Mila hendak berteriak, si Penyerang menyumpalkan kain ke dalam mulut Mila. Kain itu cukup besar, menyebabkan pipi Mila menggelembung, seperti sedang cemberut. Mila tahu sebentar lagi si Penyerang akan memastikan kain itu tetap berada di dalam mulutnya. Benar saja, sebuah scarf digunakan untuk mengikat mulut Mila. Yang membuat kaget Mila adalah betapa ketatnya scarf itu diikat.
Pipi Mila terasa tertekan begitu kencangnya sehingga terasa sakit. Seumur hidupnya Mila belum pernah diikat mulutnya sedemikan kencang. Memang Mila sering mengalami bondage dan gag dengan Pria Idaman Lainnya, yaitu mantan Direktur Pemasaran di bank tempatnya bekerja, namun tidak seperti yang dia alami sekarang.
Gairahnya mulai muncul. 'Mmmff…mmmffghhh….!' Mila seolah melakukan tes terhadap sumpalan mulutnya. Scarf warna hijau itu sukses menahan kain sumpalan tetap pada tempatnya, yaitu di dalam mulut Mila. Mila bisa membayangkan seperti apa wajahnya sekarang, scarf hijau terikat di mulutnya diantara bibir, kain putih yang menyumpal mulutnya sedikit terlihat menyembul dari rongga-rongga mulutnya. Si Penyerang mengalihkan perhatiannya ke kedua tangan Mila, yang mulai bergerak menuju scarf hijau. Dengan tangkas kedua tangan Mila di tarik ke belakang, seutas tali panjang dengan cepat mengitari pergelanganan tangannya, lalu Mila merasakan proses cinching di tali, proses yang sering ia lakukan pada dirinya sendiri ketika melakukan self-bondage di dalam kamarnya sesaat sebelum tidur.. Selanjutnya Mila merasakan kedua sikunya ditarik ke belakang. 'Hmmfff…!!' Mila mengerang, tanda kesakitan. Kedua sikunya agak direnggangkan, setelah itu dengan cepat dililit oleh tali, menyisakan sedikit tempat bagi Mila untuk menggerakkan lengannya. Sekali lagi proses clincing memastikan ikatan di sikunya benar-benar kuat. Mila menggerak-gerakan tangannya, ikatan-ikatan itu hanya menyisakan sedikit ruang saja bagi Mila untuk bergerak. Percuma!
Kaki.....! Mila teringat akan anggota tubuhnya yang dari tadi terasa kaku. Target berikut dari ikatan si Penyerang. Mila sadar ini adalah kesempatan terakhirnya bila ia ingin terbebas,sebelum ia benar- benar tidak berdaya. Meskipun gairahnya sudah memuncak, tapi Mila masih menyadari keselamatan dirinya adalah nomor satu. Mila menoleh ke samping, dari sudut matanya ia bisa melihat si Penyerang mendekati kakinya, seutas tali panjang berada di genggaman tangannya.
Apa yang dilakukan tubuh Mila berikutnya tidak hanya mengagetkan si Penyerang, tapi Mila sendiri. Dengan keras ia menghentakan kaki kanannya ke dada si Penyerang, diikuti oleh tendangan dengan kaki kanan ke arah kepala. Tepat sasaran! Si Penyerang terjatuh ke belakang. Terdengar suara erangan yang cukup keras. Mila mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berusaha berdiri. Ternyata tidak segampang yang ia duga, tangannya yang terikat kebelakang dengan ketat membuatnya seakan tidak memiliki tangan, memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan keadaan barunya ini. Tapi waktu adalah sesuatu yang Mila tidak miliki saat ini. Akhirnya Mila berhasil setengah berdiri, bertumpu pada kedua dengkulnya, Mila dihadapkan pada pilihan, berjalan dengan kedua dengkulnya ke arah pintu keluar kamar mandi atau berusaha berdiri tegak terlebih dahulu. Mila memilih yang terakhir.
Pertama ia menapakan kaki kanannya di lantai, entah kenapa tapi kakinya terasa seperti agar-agar. Dengan bertumpu pada kaki kanan, Mila menaikan tubuhnya. Mila menoleh untuk melihat si Penyerang, ia masih terduduk di lantai, kedua tangannya memegang kepalanya. Sebuah luka terlihat di pelipis kanan, darah mulai mengucur. Si Penyerang mendongak dan melihat ke arah Mila, dari balik kaca mata hitamnya, Mila bisa melihat amarah di mata si Penyerang. Mila bergidik, lalu membuang pandangan nya ke arah pintu kamar mandi. My only way out. Mila mulai melangkah, pertama kaki kiri lalu diikuti kaki kanan, setiap langkah Mila semakin percaya bahwa ia akhirnya akan keluar dari kamar mandi laknat ini. Mila mulai mempercepat langkahnya. Tinggal beberapa langkah lagi dan gue akan terbebas! Mila akan bergegas ke ruangan kerjanya dan meminta tolong rekan-rekannya dikantor untuk membebaskan tali-tali yang mengikatnya, teman-temannya pasti akan terkejut melihat pemandangan Mila yang tangannya terikat kebelakang dan mulutnya yang tersumpal erat, lalu hanya bergumam “mmmppphhhh.....!!” meminta tolong; dalam bayangan Mila.
Tapi Mila terlalu cepat merasa berhasil. Si Penyerang telah mengepel seluruh bagian lantai kamar mandi sebelumnya, ia tahu sepatu pantofel Mila dan lantai licin tidak akan bersahabat. Ketika Mila berlari menuju pintu, lantai dan sepatu pantofel mulai bereaksi, dan Mila pun melayang. Bila kedua tangannya bebas, mungkin Mila bisa menyeimbangkan dirinya, tapi dengan kedua tangan yang terikat dengan erat di belakang tubuhnya, justru tangannya menjadi pemberat, dan Milapun terjerembab ke belakang. ' Uffff.hhh….!' Tangannya terasa sakit sekali, terutama pundaknya yang menyerap kontak dengan lantai. Untung saja reflek Mila masih berfungsi sehingga kepalanya tidak terbentur. Mila panik. Ia berusaha kembali berdiri, tapi posisinya yang terbaring di lantai dengan tangan dibelakang, membuatnya merasa seperti kecoa yang terbalik. Tidak hanya itu, tenaganya juga sudah terkuras habis akibat usaha pertamanya tadi. Mila terbaring lemas. Yang ia takutkan sekarang ialah amarah si Penyerang yang bisa ia lihat sudah mulai bangun.
"Hmmm..pphhh… mmmmpphhh….mmmmpppphhhhh…."
Kini Mila bukan berusaha berteriak minta tolong, tetapi berusaha meminta belas kasihan si Penyerang. Baju putih bersih si Penyerang sekarang dihiasi oleh bercak darah segar. Ia mendekati Mila, melangkah secara hati-hati, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan Mila. Mila bisa mendengar nafas berat si Penyerang. Dengan gerakan yang cepat si Penyerang menjambak rambut Mila. 'Hh..fff…! hhh.ff.f…!' Mila histeris, matanya terpejam, ia tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan si Penyerang berikutnya. Apa ini akhir hidup gue? Mila bertanya-tanya dalam hati, lalu mulai berdoa. Tapi si Penyerang melepaskan genggamannya. Mila belum ingin membuka matanya. Lalu Mila merasakan lilitan tali di pergelangan kakinya, kali ini ia merasa si Penyerang mengikat secara lebih kasar dan keras. Bisa dimengerti mengingat luka yang ada di pelipis kanannya. Setelah itu, dengkul Mila diikat sama ketatnya. Mila merasakan tangan-tangan melingkar di lengan dan pinggulnya, detik kemudian Mila terangkat ke atas. Ini pertama kali dalam hidupnya Mila digendong di pundak seseorang. Ia merasa sangat tidak berdaya. Kembali gairah itu muncul.
Si Penyerang menurunkan Mila ke dalam kereta dorong yang ternyata isinya kosong. Mila membuka mata, ia melihat si Penyerang sedang membuka sebuah botol, sehelai saputangan putih bergaris hitam berada di genggamannya. Obat bius. Chloroform? Oh, betapa seringnya Mila berfantasi dibius, lalu diculik oleh seseorang, tapi ini bukan saatnya berfantasi. Ini kenyataan yang buruk. Mila menyiapkan dirinya untuk menghirup cairan pembius, tapi si Penyerang ternyata tidak membekapkan saputangan yang sudah basah itu ke hidung Mila, ia melipat scarf itu menjadi segitiga lebar, lalu mengikatkannya di mulut dan hidung Mila. Mila mencoba menahan nafasnya selama mungkin. Sia-sia. Beberapa detik kemudian bau menyengat memasuki saluran pernafasan Mila, tapi anehnya Mila tidak langsung pingsan. Ia hanya merasa lemah lunglai, kini bahkan ia tidak bisa mengangkat kepalanya sendiri. Si Penyerang memasukan handuk-handuk putih ke dalam kereta dorong, menutupi Mila, setelah itu ia menutup kereta dorong dengan terpal putih. Selanjutnya Mila meraskan kereta dorong itu mulai berjalan.
Saat terakhir yang Mila ingat dalam keadaan setengah sadar ialah ia di angkut ke dalam bagasi mobil. Suara pintu bagasi ditutup seperti menandakan hilangnya kebebasan bagi dirinya. Setelah itu ia tertidur lelap bagaikan putri tidur.
*****
Ketika Mila membuka mata, dunia telah berubah menjadi gelap. Sesaat ia panik, menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tetap gelap. Mati lampu? Apa gue bermimpi? Tapi kenyataan pahit merasuk ketika Mila berusaha menggerakan tangan dan kakinya. Terikat erat & ketat.
Kejadian di kamar mandi kantornya mulai kembali masuk ke ingatannya. Bukan mati lampu, mata gue ditutup… Mila sadar dirinya dalam keadaan terduduk, lalu berusaha untuk berdiri. Entah kenapa selalu gagal, seperti ada yang menghambatnya. Berkali-kali ia terjerembab, sampai akhirnya sadar bahwa ikatan tangan dan kakinya disatukan oleh sebuah tali yang lain. Tidak bisa berdiri, Mila berusaha untuk merangkak, mencari jalan keluar. Tapi baru beberapa senti Mila merangkak, sebuah tali di lehernya mencegah Mila untuk bergerak lebih jauh. Keputus asaan yang dalam melingkupi perasaan Mila. Seakan semua harapan untuk melepaskan diri telah terputus. Mila telah diculik!!
Mila mulai menangis. Awalnya pelan-pelan, tetapi seperti bendungan yang jebol, tangisan Mila semakin menjadi-jadi. Sekitar setengah jam Mila menangis, entah apa yang membuatnya berhenti. Mungkin Mila menyadari bahwa tangisan tidak akan membantu apa-apa, tapi yang lebih pasti adalah fakta bahwa Mila mulai merasakan gairah yang selama ini belum pernah ia rasakan. Gairah bercampur malu. Mila merasa malu ia merasakan gairah ini. Untung saja si Penculik tidak melihat Mila mulai terangsang dalam keadaan terikat begini. Atau… Bisa aja dia memperha
tikan gue selama ini… duduk di sofa empuk di hadapan gue, menonton bagaimana gue berkali-kali terjatuh, bagaimana gue nangis, dan… Melihat bagaimana gue mulai horny.. Uhh.. Gue ngga boleh memperlihatkan gue horny…Bisa bahaya!
Menit berikutnya, Mila berusaha keras melawan gairahnya sendiri. Ia mengatur nafasnya, yang tadi mulai tersengal-sengal, kini sudah mulai bisa teratur. Mila mencoba berpikir, mungkin itu bisa membantunya melupakan gairahnya sendiri. 'Bima......!!!' Seakan ada halilintar di siang bolong, nama itu tiba-tiba muncul, lengkap dengan lampu neon yang terang, di dalam bayangan Mila. Astaga!! Ini pasti kerjaan Bima...!! Betapa bodohnya gue!! . Seketika itu juga ada perasaan tenang, lega bahkan bahagia ketegangan dan ketakutan berubah jadi perasaan pasrah.... 'hhh..ff…hhff..bbffmmpph…'
Mila tertawa dari balik sumpalan mulutnya. Tapi.. belum pasti.. jangan terlalu senang dulu Mila… Mila berkata pada dirinya sendiri. Mila menenangkan dirinya sendiri. Menunggu. Itulah yang bisa dilakukannya saat ini. Menunggu dan menunggu.
Tidak terasa Mila tertidur, rasa capek tidak bisa dipungkiri Mila, sejam yang lalu Mila memutus- kan untuk mengistirahatkan kepalanya ke tiang, dan akhirnya matanya tertutup. Sebuah suara membangunkan Mila. Ia merasakan kepalanya dipegang, terdengar suara lakban dibuka. Mila tidak merasakan sakit karena lakban itu tidak langsung menempel ke kulit, melainkan menempel di pantyhose. Cukup lama juga waktu yang dibutuhkan untuk lakban itu akhirnya terbuka. Mila berharap seluruh lakban akan dibuka, tapi nampaknya keberuntungan sudah meninggalkan Mila sejak ia masuk ke dalam kamar mandi beberapa jam sebelumnya. Hanya bagian mata saja yang dibuka, sehingga kini Mila akhirnya bisa melihat terang kembali. Mila mengedipkan mata beberapa kali, tapi pandangannya masih saja terasa kabur, sebelum sadar bahwa matanya masih tertutup oleh lapisan pantyhose. Mila melihat sesosok tubuh berjalan menjauh dari dirinya, mendekati sebuah meja. Sosok itu mengambil sesuatu dari meja, lalu kembali mendekati Mila. Semakin dekat, Mila semakin yakin barang yang diambil dari meja itu adalah sebilah pisau. Mila panik, lalu berontak dengan liar. Pisau itu mendekati mata Mila, lalu terdengar suara pantyhose yang dirobek. Ternyata pisau itu digunakan untuk merobek pantyhose yang menutup bagian mata Mila, sekarang Mila bisa melihat secara jelas. Meskipun membutuhkan waktu sampai pandangannya kembali normal. Ruangan kamar itu cukup luas, bergaya arsitektur post modern. Berlangit-langit tinggi, dan berlantaikan kayu parkit. sekitar 4 meter di depannya, Mila bisa melihat sebuah lemari pendek, berisi peralatan stereo, dan diatasnya tergantung layar TV LCD besar yang berbentuk persegi panjang. Kini Mila sadar dirinya tepat berada di tengah ruangan, diikat di sebuah tiang yang terbuat dari besi. Seorang wanita duduk dengan kaki bersilang di bangku antik disebelah lemari pendek. Ia mengenakan korset hitam, payudaranya yang besar tertahan oleh ikatan korset yang kencang. Ia juga memakai stocking hitam berenda, lengkap dengan garter belt, dan sepatu hitam berhak tinggi, modelnya serupa dengan yang Mila sedang pakai. Wajahnya nampak menggunakan make up tebal, tapi tidak bisa terlihat seluruhnya karena ia memakai topeng scarf berwarna hitam ala perampok di jaman koboi. Sebuah rokok terselip di jemari tangan kanannya. Mila tertegun. Ternyata bukan Bima yang nyulik gue...…Harapan terakhirnya baru saja masuk ke tong sampah. Lebih buruk lagi, ia diculik oleh seorang wanita yang entah kenapa menggunakan pakaian seksi di hadapan dirinya.
"Halo Mila" Sapa wanita itu. Suaranya agak bergetar. Tegang? Mungkin.. Horny? Mila mencoba menghilangkan pikiran itu dari otaknya.
"Bingung?" Tanya wanita itu. Suaranya menjadi agak bergumam karena tertutup scarf, tapi masih jelas untuk diartikan. Mila diam saja. Toh dia tidak bisa menjawab dengan sumpalan mulutnya yang ketat. 'Ehh… Jawab bego!' Wanita itu tiba-tiba berdiri, mengacungkan sebuah cambuk di tangan kirinya yang baru terlihat oleh Mila. Astaga!! Mila baru menyadari sesuatu. Dia seorang Mistress! Perasaan lega, pasrah dalam bahagia tadi entah hilang kemana di ganti ketakutan yang mencekam membelenggu dirinya.
"Mmmpphhh…." Mila mengangguk-ngangguk. Ia tidak ingin merasakan cambuk mengenai kulitnya.
"Bagus. Lo harus jawab semua pertanyaan gue, ngerti Bego?" Wanita itu berjalan di depan Mila, memamerkan cambuknya. Wanita itu ternyata cukup berisi, tapi tidak dalam batas yang berlebihan. Rambut hitamnya menjurai ke pundaknya. Tidak teralu cantik dan tubuhnya tidak begitu proporsional, tapi dengan pakaiannya yang seksi ditambah make up, ia cukup menggairahkan.
"Mmmppphhhh......" Mila kembali mengangguk.
"Gue Mistress Nadien. Mulai saat ini lo adalah budak gue" Suara Nadien masih bergetar, tapi tetap berwibawa.
Sejenak Mila bingung bagaimana dia bisa diculik oleh Nadien, Mila tidak mengenal dia, dan bahkan Mila yang terkenal ramah, supel dan selalu bergaul dengan siapa saja itu tidak merasa punya musuh.
"Lo slave cewek gue yang pertama. Biasanya gue lebih suka penis daripada vagina, tapi selalu ada yang pertama bukan?" Nadien tertawa mengejek. Mila menjadi mual mendengarnya. Selama ini Mila menganggap dirinya wanita normal. Ok, gue punya fetish slave bondage, tapi at least orientasi gue tetap cowok! Nampaknya Nadien bisa membaca ketakutan di mata Mila. Ia mendekati Mila yang terduduk, lalu secara mengejutkan mendekatkan bagian selangkangannya ke hidung Mila. Tangan Nadien memegang belakang kepala Mila, memaksa Mila mencium vagina Nadien yang masih tertutup oleh celana dalam hitam.
"Rasain nih… lo bakal sering nyium, jadi mulai biasain dari sekarang!" Nadin menjambak rambut Mila, lalu menggunakannya untuk mengontrol kepala Mila, sehingga ia bisa menggesek-gesekan hidung Mila di vaginanya sesuka hatinya.
"Mmmppphhh..! Mmmmpppphhhhhh….!!!!" Mila berusaha protes. Tapi apa daya, hidung Mila terpendam di vagina Nadien yang untungnya masih tertutup celana dalam. Mila bisa merasakan celana dalam Nadin yang ternyata basah, dan dari vaginanya timbul bau khas yang Mila sangat kenal.
"Enak?" Nadien terkekeh sambil terus menggesekan vaginanya ke hidung Mila. Tiba-tiba Nadien berhenti.
"Keenakan lo ya? Dasar bitch!" Nadin melepaskan kepala Mila.
Mila tahu seharusnya ia merasa jijik saat itu, tapi anehnya tidak. Justru… ia sedikit menikmati hal tersebut. Ia berusaha menyangkal kenikmatan itu, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini membuat Mila merasa semakin hina dan malu.
"Gue bakal kasih lo kesempatan terakhir buat muasin diri lo. Jadi jangan sia-siain" Nadin berkata dengan datar. Apa maksudnya? Mila bertanya-tanya dalam hati. Mila menunggu. Nadien menyalakan sebuah layar TV LCD dihadapan Mila. Terlihat sebuah DV Cam berada di atas lemari pendek, Kumpulan kabel keluar dari DV Cam itu lalu masuk ke TV LCD. Terlihat layar TV yang tadinya hitam, kini berubah menjadi biru. Nadien menjauh dari TV, mendekati Mila. Di tangan kirinya, cambuk telah diganti oleh sebuah remote control. Dan di tangan kanannya, rokok telah diganti sebuah alat berbentuk lonjong, dengan ujung berbentuk bola. Vibrator. Mila langsung mengenali alat itu. Ia juga memiliki satu di rumahnya, terkunci dengan aman di salah satu lemari pakaiannya. Nadien meletakan remote control di lantai dekat Mila terduduk, lalu berjongkok. Dengan tangkas Nadien menyelipkan vibrator masuk ke dalam rok mininya, lalu menaruhnya diantara selangkangan Mila, dengan ujung yang berbentuk bola menyentuh bagian vagina. Merasa rok mini menjadi pengganggu, Nadien menariknya ke atas, melipatnya, sehingga kini terlihat celana dalam Mila yang berwarna krem. Nadien tersenyum. Celana dalam itu terlihat basah.
"Dasar bitch.. " Nadien berkata sambil mengelus permukaan celana dalam Mila, Mila merinding merasakan jemari Nadien menyentuh bagian tubuh paling pribadinya itu. Nadien berhenti, kembali berkonsentrasi pada tugas yang ada di depannya. Vibrator itu ia rapihkan posisinya, sehingga ujungnya tepat menyentuh bagian paling sensitif di vagina Mila. Setelah itu, untuk memastikan vibrator itu tetap pada tempatnya, Nadin mengambil seutas tali, diikat melilit kedua paha Mila, membuat vibrator itu terjepit oleh kedua pahanya sendiri. Proses cinching agak lebih sulit karena melawati bagian antara paha yang rapat, tapi Nadien nampaknya sudah terlatih. Mila mendengus-dengus, berusaha menggeser letak vibrator itu.
"Heh! Dasar bego! Ini kebaikan hati gue, lo bisa nikmatin ini! Ini terakhir kali lo bisa ngerasa nikmat! Abis ini, tugas lo untuk muasin gue, ngga boleh muasin diri lo lagi! Ngerti ??!" Nadien berubah menjadi garang. Sekali lagi rambut Mila menjadi sasaran jambakan Nadien.
"Mmhhh..ammhhh…!" Mila memohon ampun atas kebodohannya, mengangguk-angguk, yang justru membuatnya merasa sakit karena rambutnya dipegang oleh Nadien. Masa depannya sebagai budak Nadien melintas di bayangan Mila. Setelah rambut dilepaskan, Nadien berjalan ke belakang Mila, menghilang.
Layar biru di TV LCD berubah menjadi sebuah tontonan. Terlihat sebuah ruangan besar. Nampaknya kamera diletakan di ujung atas ruangan, sehingga seluruh ruangan bisa terlihat dengan jelas. Ruangan itu kosong, dengan beberapa bilik toilet yang terbuka. Seseorang serba putih memasuki ruangan itu, mendorong kereta dorong. Kamar mandi laknat.. Mila tersadar apa yang sedang dan akan dilihatnya. Ia akan melihat proses penculikan dirinya! Sosok serba putih tersebut memasuki bilik toilet paling ujung sambil membawa lap pel. Nadien terlihat lebih besar di TV… mungkin efek kamera yang diletakan di atas.. pikir Mila.
"Ngebosenin.... kasian juga lu yah nungguin lama di kamar mandi… gw cepetin aja deh" Terdengar suara Nadien dari arah belakang.
Nungguin lama? Perasaan gue cuman nunggu 5 menit sebelum diculik. Dan gue ngga bakal nyebut itu 'nunggu', kalo gue tau gue bakal diculik, gue bakalan kabur duluan!' Pikir Mila. Terlihat proses fast-forwaring di layar, sosok serba putih itu bergerak layaknya The Flash, tapi karena ia hanya terduduk di toilet, tidak banyak bergerak, efek itu tidak begitu terlihat. Video itu kembali bermain dengan kecepatan normal. Terlihat Mila memasuki ruangan itu. Mila mengeluarkan sisir, lalu mulai menyisir rambut hitam panjangnya dengan pelan. Setelah itu mencuci tangan di wastafel berteknologi sensor. Mila tahu apa yang akan dilakukan dirinya, hal yang memalukan. Mila mengangkat lengannya, lalu mencium ketiaknya sendiri.
"Hahaha….!! Smile you're on stinkin' camera! Dasar jorok lo bego..!" Nadien tertawa-tawa dengan senang. Mila hanya bisa merengut malu. Kejadian yang tadinya begitu kabur di ingatan Mila, sekarang terlihat jelas di TV. Sosok serba putih itu mendekati Mila, berjalan cepat. Sebenarnya gue bisa kabur kalau gue langsung lari. pikir Mila.
"Lo lambat banget sih, dia bisa kabur tauk!" Nadin mengomel dari belakang. Mila terlampau serius melihat layar TV, tidak begitu memproses apa yang Nadin katakan. Tiba-tiba vibrator di selang
kangan Mila mulai menyala.
"Hmmhhh..!?" Mila melonjak kaget.
"Manfaatin waktu lo sebaik-baiknya.. Kalo lo ngga orgasme abis film-nya selesai, bakal ada hukuman, ngerti?!" Nadien membentak dari belakang.
Hukuman? Mila teringat akan cambuk yang kini tergeletak di atas lemari pendek. Adegan di TV terus berlangsung tanpa jeda. Mila melihat dirinya disergap, bagaimana ia berusaha untuk berteriak namun sia-sia. Lalu tubuhnya diseret ke belakang. Sosok serba putih itu melepaskan pegangan di tubuh Mila, ternyata ia sedang merongoh sakunya, mengeluarkan segumpal kain. Mila mengayunkan lengannya ke arah dada sosok itu, tapi telah diantisipasi, keadaan itu digunakan sosok serba putih itu untuk menjatuhkan Mila ke lantai. Kejadian tersebut ternyata berjalan cepat, tidak seperti yang dirasakan oleh Mila ketika itu. Mila mulai terangsang.
Di layar TV sedang diputar adegan penculikan dirinya sendiri, yang sudah berkali-kali ia bayangkan dalam lamunannya, yang biasanya ia lakukan sambil bermasturbasi. Tidak jarang sambil berself bondage ria. Kini ia berada dalam keadaan tidak berdaya, tangan dan kaki terikat erat dan ketat, mulut tersumpal. Ia disajikan tontonan spesial, yaitu adegan penculikan dirinya. Belum lagi sebuah vibrator yang pelan tapi pasti merangsang dirinya. Andaikan situasinya lain, ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Tubuh Mila mulai bereaksi dengan hebat, ia meronta-ronta, bukan untuk melepaskan diri, tapi untuk semakin merasakan betapa tidak berdaya dirinya saat ini.
"Mmpphhh… mmpphhhhhh…!! Mmmppphhhhh…,,,!" Mila semakin terangsang mendengar suara gumaman dirinya sendiri. Tidak hanya itu, Mila yang ada di TV juga kini mulutnya telah disumpal, dan diikat scarf hijau. Stereo system canggih membuat suara dibalik sumpalan mulut Mila menjadi semakin jelas. Secara bersaut-sautan suara gumaman itu terdengar.
"Mmmppphhhh.....…!" Mila bersuara.
"Mmmff…mmmffghhh….!" Mila yang di TV membalas. Vibrator itu kini menyala lebih kencang, Mila bisa merasakannya. Keringat mulai membasahi tubuh Mila. Tubuh Mila bergetar.
"Mmhhh… mmhh…" Terdengar suara gumaman dari belakang Mila.
Astaga,... Nadin juga ternyata sedang bermasturbasi! Pikir Mila. Suaranya terdengar berat, hampir menyerupai suara lelaki.
Sekarang Mila yang ada di TV sudah terikat kedua tangannya, dan adegan kungfu sebentar lagi akan terlihat. Mila menendang dengan keras sosok serba putih itu.
"Ihh.. bego banget sih lo? Kok bisa-bisanya ditendang…" Ujar Nadin. Mila tidak menggubris Nadin, ia sedang berkonsentrasi pada tubuhnya yang sudah akan mencapai puncak. Ia melihat dirinya yang melakukan kesalahan terbesar, mencoba berlari di lantai yang licin. Ia kesal mengapa ia tidak bersabar sedikit waktu itu. Scene berikutnya, kaki Mila telah terikat. Lalu digendong di pundak sosok serba putih itu menuju kereta dorong. Sebuah botol diambil dari saku kereta dorong, lalu dituangkan secara hati-hati ke sehelai scarf. Mila sudah berada di dalam kereta dorong, posisi kamera tidak begitu strategis untuk melihat isi kereta dorong itu, sehingga hanya terlihat sosok serba putih itu merunduk ke dalam kereta dorong. Mila bisa menduga apa yang sosok itu lakukan pada saat itu. Mila panik. Ia belum mengalami orgasme. Sedangkan adegan penculikan sudah selesai.
Pura-pura aja! pikir Mila. Toh dia udah berulang kali pura-pura orgasme di hadapan lelaki. Salah satu keuntungan jadi wanita. Fake orgasm. Jangan! Dia bakalan tau! Tiba-tiba suara lain timbul dari dalam dirinya. Nadien adalah wanita yang nampaknya cukup berpengalaman. Dia pasti membedakan orgasme pura-pura dan yang asli. Lagipula, Mila tidak begitu percaya diri akan kemampuan aktingnya, Mila memutuskan untuk mempercayai suara kedua. Mila ketakutan, bayangan Nadien yang mengambil cambuk dari lemari pendek, lalu mendekati dirinya yang tidak berdaya, mengayunkan cambuk itu ke tubuhnya, terbayang di pikirannya secara jelas. Diluar dugaan, bayangan itu justru semakin membuatnya bergairah, seperti sebuah batu jatuh ke mobil yang berada di pinggir jurang, mendorong mobil itu terjun ke bawah, dan membawa dirinya mencapai puncak kenikmatan.
"Hmmm..hhhh…!!! Mpppmmmhhh…!" Mila berteriak sekuatnya dari balik sumpalan mulutnya. Tubuhnya mengejang, Mila merasakan tali yang mengikat tangan dan kakinya, menahan dirinya untuk berbuat banyak.. Dari vaginanya, mengalir kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Mila memberontak lebih keras. Sialnya, hal ini justru menjadi bumerang, bukannya membuat Mila jadi lega, justru ketika ia berontak, ia lebih merasa tidak berdaya atas ikatan di tubuhnya. Gairahnya yang tadi Mila kira sudah terlepas, kini seakan ada gelombang kedua.
"Mmmpphh…!! Hhhhhh… hmmmpphhh….!!!" Mila baru saja mengalami orgasme keduanya. Beberapa detik setelah itu seluruh badannya terasa lemas. Mila terkulai di lantai yang dingin, bersandar pada tiang besi.
"Heh..! Belum selesai adegannya bego! Udah orgasme lagi.... Ihh… Dasar begoo …!" Nadin berteriak dari belakang.
Belum selesai?? Mila bingung. Seingat Mila, setelah dia diculik dari kamar mandi laknat itu, dia dimasukan ke dalam bagasi mobil sebelum akhirnya pingsan, dan terbangun di kamar ini. Pingsan. Gue pingsan!… Entah berapa lama… segalanya bisa terjadi selama gue ngga sadarin diri! Jantung Mila berdegup kencang. Untuk adegan penculikan di kamar mandi, Mila sudah bisa menduga apa yang bakal terjadi berikutnya, tapi.. kejadian selama ia pingsan, ia tentunya tidak tahu.
“Rasain aja bego! Vibratornya tetap gue nyalain Rasain!” Nadien tertawa, ia terdengar menikmati hal ini. Mila merasalan getaran vibrator itu di vaginanya. Astaga! Setelah orgasme vaginanya menjadi sangat sensitif, bahkan disentuh saja akan terasa ngilu, apalagi dirangsang oleh vibrator!
“Hmmmpphhh.....! Ammmpphhh.....! Ammmppphhh....!!” Mila memohon ampun dari balik sumpalan mulutnya. Ia berusaha menggerakkan kedua pahanya untuk memindahkan posisi vibrator, tapi tidak berhasil.
“Ha..ha..haa....! Rasainnn.....!” Nadien tertawa keras. Tidak ada yang ingin dilakukan Mila saat ini selain memukul Nadien telak di wajahnya, namun dengan tangan dan kakinya yang terikat erat sangat membatasi geraknya. Mila berkonsentrasi, fokus untuk mengindahkan rasa linu di vaginanya, mencoba membawa alam pikirannya ke suatu tempat yang indah dan damai. Terbayang wajah Direktur Pemasaran yang menjadi pria idamannya, ketika pertama kali mengenalkannya dengan ikat mengikat,.... di sebuah hutan dirinya terikat di pohon, Usaha ini berhasil untuk Mila ketika ia ingin mempertahankan agar dirinya tidak cepat orgasme, sesuatu yang mestinya ia lakukan beberapa saat yang lalu. Rasa linu dan geli tidak begitu terasa, Ia bisa membayangkan Nadien tidak terlalu senang Mila tersiksa hanya sebentar. Mila kembali berkonsentrasi pada layar TV, terlihat kereta dorong dibawa keluar dari kamar mandi. Beberapa saat kemudian, layar bergoyang-goyang, sekilas terlihat lantai dan sepasang kaki bersepatu perempuan, Mila ingat sepatu itu mirip dengan yang sedang dipakai Nadien dan yang sedang dipakainya, setelah itu layar menjadi gelap. Beberapa detik kemudian terlihat sebuah kamar.
Kamar ini... pikir Mila. Sebuah tiang besi menjadi fokus kamera. Dibelakang tiang besi terlihat sebuah tempat tidur mewah, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi ke langit-langit, tertutup dengan kelambu. Mila seakan merasa layar TV itu berfungsi sebagai kaca spion, dengan perbedaan waktu beberapa jam tentunya.
Nadien pasti lagi tidur-tiduran di tempat tidur itu saat ini... pikir Mila. Ia ingin menoleh untuk melihat sendiri tempat tidur dibelakangnya itu, tapi ikatan di lehernya menahan dirinya untuk bisa melakukan hal tersebut. Dan Mila menduga Nadien tidak akan terlalu senang bila dilihat oleh budaknya ketika ia sedang menikmati dirinya sendiri. Mila tidak akan mengambil resiko itu.
Dilayar TV, sosok serba putih kembali terlihat, ia agak membungkuk, berjalan mundur menuju tiang besi. Ia sedang mengendong tubuh Mila yang masih terikat dan tidak sadarkan diri. Mila melihat dirinya sendiri, masih dalam keadaan terikat. Scarf putih bergaris hitam masih menutupi hidung dan mulutnya. Mila disandarkan ke tiang besi itu. Secara terampil, scarf putih bergaris hitam dilepas, begitu juga scarf hijau yang mengikat mulut Mila. Kain putih yang berada di dalam mulut Mila dikeluarkan, terlihat sudah basah dengan air liur. Kain itu diletakkan dengan cermat di lantai, begitu juga scarf-scarf yang tadi itu. Sosok itu mendekatkan kepalanya ke kepala Mila. Untuk beberapa saat Mila bingung apa yang sedang dilakukan sosok itu kepadanya. Ternyata sosok itu menempelkan bibirnya yang tertutup oleh masker putih ke bibir Mila,y ang kini sudah terbebas dari sumpalan. Nadien nyium gue !!?? wanita itu benar-benar sakit,... pikir Mila. Dan bukan sekadar ciuman biasa, tapi ciuman yang penuh nafsu. Vibrator masih melakukan tugasnya, membuat Mila kembali bergairah. Mila meyakinkan dirinya bahwa vibrator itulah yang membuatnya bergairah, bukan adegan ciuman yang menjijikan ini! Tapi tanpa sadar pipi Mila menjadi merah. Belum puas gairah yang dia rasakan, tiba tiba Nadien mendekati dirinya yang terikat erat,... kemudian ditempelkannya sebuah sapu tangan merah di mulut dan hidungnya,... oh cloroform,..... pikir Mila, dan beberapa saat kemudian Milapun tak sadarkan diri.
*****
Entah berapa lama Mila tak sadarkan diri, kini mendapati dirinya dalam keadaan yang berbeda, kedua tangannya masih tertekuk ke belakang, kedua pergelangan tangannya diikat menjadi satu. Begitu juga kedua sikunya, diikat hingga hampir menyentuh, memaksa posisi tubuhnya untuk membusung ke depan. Tali juga melilit menyilang mengitari payudaranya, dari jauh nampak seperti sebuah penopang payudara yang terbuat dari tali memutar di tubuhnya, menekan kedua lengannya ke samping, membuat Mila tidak bisa menggerakan seluruh bagian tangannya.Yang membuat beda adalah Mila kini terikat berdiri di sebuah tiang, dengan tanpa busana, hanya bra, cd dan sepatunya yang masih melekat di tubuhnya. Mila merasakan dirinya sudah tidak di kamar tadi, tetapi di sebuah ruangan. Di sudut tembok terpampang jam dinding, waktu menunjukkan pukul 2.00 dini hari. Jika Mila mengingat-ingat, tadi dia masih berada di kantornya sekitar jam setengah tujuh sebelum penculikan ini terjadi, kemudian dia ingat dia menonton proses penculikan dirinya, perlawanannya terhadap sosok yang meringkusnya, kemudian ancaman Nadien, mistrees yang melecehkannya dengan tontonan adegan penculikan dirinya. Mila masih ingat melalui liputan, kalau dirinya dibopong dari bagasi mobil lalu diikatkan di tiang di kamar tidur. Mila berteriak sambil meronta-ronta, disadarinya mulutnya penuh dengan kain lalu disumpal dengan lakban. Tidak ada lagi pantyhose yang menutupi kepalanya. Benak Mila bertanya-tanya, di mana Nadien yang tadi menculikku?
==oo0oo==