Hari itu hari ulang tahun Mei. Sebuah pesta kecil di kebun belakang telah kusiapkan hari ini. Aku sendiri yang menyiapkan jamuan ini. Rumah selalu sepi di siang hari, dan hanya Narti yang membantuku.
Meilana, tidak selalu beruntung merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Papinya pemilik toko kelontong yang tidak terlalu ramai. Rumahnya yang tidak terlalu besar terletak di sebelah toko itu berdesak-desakan di sebuah gang kecil, di samping selokan yang selalu bau. Mei bersama empat orang adiknya bergantian menjaga toko itu. Aku sangat mengenal keluarga itu. Mereka tekun dan pekerja keras. Aku sedang menghangatkan sup ketika telepon berdering. Suara Papa terdengar panik di ujung sana.
"Kamu jadi mengundang teman-temanmu siang ini, Mila?"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Situasi di jalan sedang kacau sekarang ini. Di rumah ada siapa?"
"Ina dan Narti." "Ke mana Ujang?"
"Ke kantor Mama. Mama minta dijemput siang ini."
"Banyak orang menghalangi jalan, ban-ban dibakar. Kerusuhan di mana-mana. Tutup pagar rapat-rapat, dan jangan ke mana-mana. Papa yakin, rumah kita aman." Dadaku berdegup kencang. Via dan Mei! Mereka dalam bahaya!
"Teman-temanmu itu.…"
"Via dan Mei?"
"Ya. Lindungi mereka. Papa yakin mereka aman di dalam rumah kita. Kita bukan sasaran mereka."
Aku meletakkan gagang telepon dengan cemas. Kupencet sebuah nomor. Ponsel Via. Terdengar suara gemerisik di ujung sana, bunyi keributan yang tak jelas. Lalu mati. Kucoba menghubungi lagi. Mailbox. Suara Narti memanggil-manggilku dari lantai atas. Setengah berlari, aku menaiki tangga. Di balkon, Narti berdiri takjub dengan latar lukisan kepulan asap hitam di langit. Aku bagai terhempas. Didi! Mungkin dia terseret di tengah arus kerumunan. Apakah yang dilakukannya kini? Ingatkah dia untuk datang hari ini?
Beberapa hari kami tidak bertegur sapa. Dia begitu sibuk sejak beberapa hari yang lalu. Mengatur strategi di jalanan, demonstrasi, dan bernegosiasi dengan polisi. Kepulan asap hitam membubung di kejauhan. Aroma busuk menyeruak dari mana-mana, seperti amarah yang membekap udara saat ini. Aku sadar, sebuah gelombang dendam tengah membanjir saat ini, mungkin siap membinasakan, menghempaskan apa saja. Derap kerumunan datang mendekat. Sorak-sorai, tawa, dan teriakan yang aneh, bagai melampiaskan amarah. Kucengkeram lengan Narti.
"Pagar sudah digembok,Nar?" Narti mengangguk. Wajahnya pucat didera ketakutan.
"Jangan bukakan pintu pada siapa-siapa!" bisikku, lalu kuseret dia masuk ke dalam. Namun, suara bel yang dipencet tak sabar itu… suara gedoran pada pagar… lalu sebuah suara yang mirip tangis memanggilku,
"Mila…Milaa… buka pintunya!" Itu Via.
"Via dan Mei! Bukakan pintu, Nar! Lalu cepat tutup lagi!" Narti berlalu sambil berlari. Aku begitu tegang sehingga langkahku bagai tak lagi menginjak tanah. Via dan Mei.
Mereka menghambur masuk dari celah pintu yang terbuka. Wajah mereka memerah karena tangis, dan tubuh mereka gemetar. Cepat kutarik tangan mereka.
"Mereka mengejarku, Mil," isak Via.
"Sudah, tenanglah. Di sini kalian aman." Kamar Narti di sebelah gudang. Ke sanalah mereka akan kubawa.
"Mereka sangat beringas, Mila. Mereka menggedor-gedor kaca mobil, menyuruh kami turun. Untung kami sempat berlari. Tapi,mobilku…."
"Sudah, lupakan saja mobilmu. Yang paling penting kalian berdua selamat.…"
"Tapi, mereka mengejar kami. Mungkin mereka tahu kami masuk ke sini…."
"Karena itu kalian harus bersembunyi. Sudahlah,kalian aman di sini."
"Kalau mereka memaksa masuk ke sini?"
"Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam di sini. Percayalah padaku."
Via diam. Mukanya yang putih tampak semakin pucat. Rambut kemerahan nya berantakan dan basah oleh keringat. Celananya jins ketat, dengan blus katun putih berenda. Seperti biasa, Via tahu bagaimana mempercantik diri. Maskaranya rapi, perona mata dan bibirnya selalu serasi. Namun kali ini, polesan itu lebur dengan airmata.
Dan Meilana yang malang. Tubuh kurusnya meringkuk di ujung tempat tidur Narti. Mata sipitnya berkaca-kaca dan tatapannya nyaris memohon, serupa sorot mata seorang bocah yang ingin berlindung dari gangguan seorang teman yang jail. Betapa ingin kupeluk tubuh itu. Aku tahu tubuh itu telah terlalu lelah. Tubuh itu lelah kepada prasangka. Setiap orang menyangka dia anak pengusaha kaya raya. Padahal, papinya hanyalah pemilik toko kelontong kecil, motor butut pengantar gallon air minum, dan rumah bertingkat dua yang bocor ketika hujan.
"Neng…!" Narti menghampiriku, berlari. Rambut ekor kudanya dihempas kan angin.
"Orang-orang itu memaksa masuk! Mereka menggedor-gedor pintu gerbang"
"Aku bilang, jangan bukakan pintu!" Narti tersentak, lalu katanya,
"Saya nggak bukain, kok. Mereka masih di luar, tapi terus menggedor-gedor…." Kututup pintu kamar Narti,
"Kunci pintunya," bisikku pada Via dan Meilana yang meringkuk ketakutan di sudut. Siapa yang berani memaksa memasuki rumah ini? Bapak adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani. Orang-orang itu, mungkin tak bernama. Mungkin mereka berasal dari sebuah dunia yang asing. Karenanya, mereka tak lagi punya identitas. Mereka tak punya batas-batas, apalagi rasa hormat. Di luar, pintu gerbang setinggi hampir tiga meter berderak-derak. Bunyi dentamnya nyaring membelah siang. Narti berdiri tegang di sebelahku, bersembunyi dalam gelap kaca jendela. Jendela kaca ini memisahkanku dengan beranda, memberiku rasa aman sementara. Tetapi, tampaknya tidak lama. Lihatlah! Satu, dua, tiga, laki-laki bertubuh tegap memanjat tembok pembatas rumah, menginjak-injak sirih belanda milik Mama yang menjuntai anggun. Tidak! Orang-orang itu berlompatan seperti percikan api, merah oleh luapan amarah.
"Neng…," desis Narti ketakutan. Kurang ajar! Siapa mereka? Wajah-wajah mereka gelap, berminyak, dan tak kukenal. Benar saja. Mereka pasti terlontar dari suatu ceruk di perut bumi. Kaki-kaki mereka telanjang dan berdebu. Telapak-telapak yang tebal oleh panas dan rasa sakit. Mereka mungkin tak mengenal bahasa.
"Sialan! Apa yang mereka cari?"
"Mereka nggak tahu ini rumah siapa…," bisik Narti.
Orang-orang itu mengayun-ayunkan kelewang, memukul-mukulkan kayu dan besi ke dinding. Lantai serasa bergoyang. Aku mundur, mencari sandaran. Dan pintu terbuka dengan sekali dobrak. Tiga laki-laki menerobos masuk, mata mereka nyalang, seperti serigala lapar.
"Mana perempuan-perempuan itu?" seorang laki-laki bersuara, nyaris menggeram. Aroma alkohol meruap dari celah giginya yang menguning. Aku mundur, dan terus mundur, hingga tanganku menyentuh dinding. Kerumunan laki-laki bertambah banyak di ambang pintu. Mereka lalu bergerak bagai kesetanan. Menendang guci keramik Mama, melempar vas kristal, menginjak-injak karpet dengan sepatu mereka yang kelabu oleh debu.
"Mencari siapa kalian?" aku memberanikan diri bertanya,meskipun suaraku bergetar.
"Kamu sembunyikan di mana perempuan-perempuan tadi? Mereka masuk ke sini, `kan?" salah seorang laki-laki itu mencoba meraih daguku. Sekilas telapak tangannya tampak kasar dan tebal kehitaman. Raut mukanya menyeringai. Dan aku dapat melihat, airliur menetes dari sudut bibirnya yang tebal. Cepat kupalingkan muka dengan jijik.
"Sudah, garap aja, Man…. Meskipun nggak putih, dia montok juga. cantik lagi,.. Lumayan khan…."
seorang laki-laki gemuk berseru sambil mondar-mandir di depan teve. Ada yang bergolak di dalam perutku. Rasanya aku ingin muntah. Dua orang laki-laki lainnya berjalan ke arah beranda belakang, mendobrak setiap pintu, memecahkan setiap jendela. Dadaku berdebar. Via dan Mei!
"Jadi kamu mau membela teman-temanmu itu, ya?" laki-laki yang berdiri di dekatku itu mendesis, dengan bau busuk mulutnya yang membuatku mual. Tiba-tiba dia meraih selendang tenun yang melilit sofa, dikibaskannya, dan didorongnya aku ke belakang. Aku terjengkang sejenak, dan meronta.
Memang sulit untuk mencoba bangkit dalam kengerian, tapi aku takkan menyerah. Dia mendorongku lebih keras, dan aku terbanting. Betapa ingin kutampar mukanya yang mengilat dan berjerawat, namun aku hanya bisa meludahinya. Dia tersentak. Mukanya memerah karena amarah yang bangkit. Dia meraih tanganku, dan menyeretku ke sebuah kursi. Diikatnya tanganku kebelakang dengan tali rafia biru di kursi itu, lalu kakiku diikatnya erat jadi satu…
"Duduk manis di situ, lalu lihat apa yang bisa kami lakukan kepada teman-temanmu. Kamu pikir kamu bisa menolong mereka? Rasakan akibatnya kalau berteman dengan mereka. Kamu akan menyesal seumur hidup!"
Aku meludah lagi. "Cuh…! Kamu yang menyes…."
Laki-laki itu, amarahnya seketika memuncak. Tangannya bergetar ketika membekap mulutku. Kakiku yang terikat erat menendang-nendang ruang kosong. Tanganku yang meronta menggoyang goyangkan kursi, hingga riuh entakannya seirama gemelutuk tulang dilutut dan sikuku. Kulihat Narti. terduduk. Kaki dan tangannya terikat di sebuah kursi yang lain. Mulutnya pun dibekap dengan lakban perak, hingga aku hanya dapat melihat matanya yang sembap. Gemerincing kaca dipecah. Badanku lemas oleh beban yang seketika tertumpah. Aku tahu,mereka telah menemukan Via dan Mei. Suara pukulan dan tendangan terdengar dari sebuah sudut. Rupanya Via melawan. Dan Mei, aku hanya mendengar isak tangisnya. Namun, siapakah yang mampu melawan kekuatan laki-laki yang begitu perkasa? Dua, tiga laki-laki menyeret Via dan Mei dalam keadaan tak berdaya, tangannya terikat.
Mereka membawa Via dan Mei ke kamar. Ketika melewatiku, Mei memandang ke arahku.
"Mila…Milaa," rintihnya. Mataku terpejam. Seandainya aku tak punya penglihatan dan pendengaran hari ini…. Karena berikutnya, yang kudengar hanyalah rintih dan isak tangis. Via, saat tubuhnya terseret dengan tangan yang sudah terikat kebelakang,… suaranya tak kudengar sedari tadi. Mungkin dia pingsan.
Dan Mei, keadaannya tak jauh beda denganku, terikat di kursi kerja Papa yang beroda,… erangan kesakitannya masih menjadi bagian dari mimpi-mimpi burukku hingga kini. Kerumunan laki-laki masuk ke kamar bergantian. Mungkin enam, atau tujuh, aku tak peduli. Yang kulakukan hanyalah berpura-pura bisu, tuli, dan tak punya nurani. Tetapi, sebuah derap langkah perlahan menghampiri pintu. Kutegakkan tubuh. Mungkinkah itu malaikat? Namun ternyata…Didi!
Dia bersembunyi, menempelkan badan di sisi lemari. Nekat sekali! Kugerakkan kepala, menyuruhnya pergi, namun dia meletakkan telunjuknya di bibir. Gila! Apa yang akan dilakukannya? Semua laki-laki itu tengah berpesta-pora dalam puncak limpahan adrenalin. Mereka bisa melakukan apa saja seandainya terganggu. Mereka begitu buas, begitu beringas. Tetapi tunggu, ini adalah kesempatan ku untuk melarikan diri. Namun… dengan Via dan Mei tergeletak di sini? Aku tak bisa meninggal kan mereka begitu saja. Kugerakkan kepalaku sekali lagi. Namun, Didi tetap di sana.
Dengan isyarat tangannya, dia berkeras mengajakku pergi. Kulirik Narti yang termangu memandangku, menunggu. Baiklah, ikatan tali rafia ini harus kulepaskan diam-diam. Sedikit demi sedikit, ikatan itu terurai. Sedikit lagi, dan tanganku akan bebas. Namun, aku terlalu bersemangat, dan… braak! Aku terjatuh bersama kursi yang masih mengikatku. Seorang laki-laki yang tengah mengancingkan celananya memandang marah kepadaku. Dihampirinya aku dengan wajah tertekuk, dan setelah dilihatnya lilitan tali rafia di tanganku yang terburai, sumpah serapahnya meluap.
Ditendangnya kepalaku, dan aku tersungkur. Begitu ingin kuludahi mukanya, tetapi aku begitu tanpa daya. Darah mengucur dari hidungku ketika laki-laki itu bersiap akan mendaratkan tendangannya di tubuhku. Aku menatapnya dengan benci. Namun, pada detik berikutnya, sekelebat bayangan menerpanya. Didi! Dia menyerang laki-laki itu dari belakang. Laki-laki itu berteriak. Beberapa orang laki-laki berwajah buas berhamburan dari dalam kamar. Kupejamkan mata. Adrian, jangan konyol!
Suara dentam dan pukulan mengepungku. Mungkin sebuah pertempuran terjadi di luar sana, dan aku lebih suka melihat gelap. Tubuhku serasa dihantam sebongkah balok es. Aku menggigil. Ketika senyap,mereka melepas ikatan di kakiku. Dengan sudut mata kulihat Didi terikat, terkulai dengan darah mengalir dari celah bibir dan kepalanya. Matanya terpejam, namun aku yakin dia menyaksikanku.
Mereka melucuti bajuku satu per satu, menarikku, lalu membantingku di balai-balai jati itu. Balai-balai Mama, balai-balai yang dipersembahkan dengan segenap cinta. Aku berontak, mencoba bangkit. Namun, tiga pasang tangan kekar memegangiku sangat kuat. Mereka tak berbusana.
"Didi… Didi,…." rintihku penuh harap. Namun hanya
"Mmmpphhh,…. Mmmmpphhh,…..!!" yang terdengar dari mulutku. Dia tetap diam,terkulai. Setetes air mengalir di sudut matanya. "Creeettt…..!" lakban dimulutku dilepas dengan kasarnya.
"Kalian biadab!" semburku, tepat di wajah seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di
pelipisnya. Detik berikutnya, sebuah kain satin tenun membekap mulutku. Mmmpphhh!!! Mmmpphh!!! "Creetttt….!" Kemudian mereka kembali memplester mulutku dangan lakban baru. Tanganku masih terikat erat dibelakang. Tubuh ku lunglai saat ku rasakan penis itu menghujam vaginaku dengan sangat kasar, dan aku pun tak sadarkan diri.
Meilana, tidak selalu beruntung merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Papinya pemilik toko kelontong yang tidak terlalu ramai. Rumahnya yang tidak terlalu besar terletak di sebelah toko itu berdesak-desakan di sebuah gang kecil, di samping selokan yang selalu bau. Mei bersama empat orang adiknya bergantian menjaga toko itu. Aku sangat mengenal keluarga itu. Mereka tekun dan pekerja keras. Aku sedang menghangatkan sup ketika telepon berdering. Suara Papa terdengar panik di ujung sana.
"Kamu jadi mengundang teman-temanmu siang ini, Mila?"
"Iya. Memangnya kenapa?"
"Situasi di jalan sedang kacau sekarang ini. Di rumah ada siapa?"
"Ina dan Narti." "Ke mana Ujang?"
"Ke kantor Mama. Mama minta dijemput siang ini."
"Banyak orang menghalangi jalan, ban-ban dibakar. Kerusuhan di mana-mana. Tutup pagar rapat-rapat, dan jangan ke mana-mana. Papa yakin, rumah kita aman." Dadaku berdegup kencang. Via dan Mei! Mereka dalam bahaya!
"Teman-temanmu itu.…"
"Via dan Mei?"
"Ya. Lindungi mereka. Papa yakin mereka aman di dalam rumah kita. Kita bukan sasaran mereka."
Aku meletakkan gagang telepon dengan cemas. Kupencet sebuah nomor. Ponsel Via. Terdengar suara gemerisik di ujung sana, bunyi keributan yang tak jelas. Lalu mati. Kucoba menghubungi lagi. Mailbox. Suara Narti memanggil-manggilku dari lantai atas. Setengah berlari, aku menaiki tangga. Di balkon, Narti berdiri takjub dengan latar lukisan kepulan asap hitam di langit. Aku bagai terhempas. Didi! Mungkin dia terseret di tengah arus kerumunan. Apakah yang dilakukannya kini? Ingatkah dia untuk datang hari ini?
Beberapa hari kami tidak bertegur sapa. Dia begitu sibuk sejak beberapa hari yang lalu. Mengatur strategi di jalanan, demonstrasi, dan bernegosiasi dengan polisi. Kepulan asap hitam membubung di kejauhan. Aroma busuk menyeruak dari mana-mana, seperti amarah yang membekap udara saat ini. Aku sadar, sebuah gelombang dendam tengah membanjir saat ini, mungkin siap membinasakan, menghempaskan apa saja. Derap kerumunan datang mendekat. Sorak-sorai, tawa, dan teriakan yang aneh, bagai melampiaskan amarah. Kucengkeram lengan Narti.
"Pagar sudah digembok,Nar?" Narti mengangguk. Wajahnya pucat didera ketakutan.
"Jangan bukakan pintu pada siapa-siapa!" bisikku, lalu kuseret dia masuk ke dalam. Namun, suara bel yang dipencet tak sabar itu… suara gedoran pada pagar… lalu sebuah suara yang mirip tangis memanggilku,
"Mila…Milaa… buka pintunya!" Itu Via.
"Via dan Mei! Bukakan pintu, Nar! Lalu cepat tutup lagi!" Narti berlalu sambil berlari. Aku begitu tegang sehingga langkahku bagai tak lagi menginjak tanah. Via dan Mei.
Mereka menghambur masuk dari celah pintu yang terbuka. Wajah mereka memerah karena tangis, dan tubuh mereka gemetar. Cepat kutarik tangan mereka.
"Mereka mengejarku, Mil," isak Via.
"Sudah, tenanglah. Di sini kalian aman." Kamar Narti di sebelah gudang. Ke sanalah mereka akan kubawa.
"Mereka sangat beringas, Mila. Mereka menggedor-gedor kaca mobil, menyuruh kami turun. Untung kami sempat berlari. Tapi,mobilku…."
"Sudah, lupakan saja mobilmu. Yang paling penting kalian berdua selamat.…"
"Tapi, mereka mengejar kami. Mungkin mereka tahu kami masuk ke sini…."
"Karena itu kalian harus bersembunyi. Sudahlah,kalian aman di sini."
"Kalau mereka memaksa masuk ke sini?"
"Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam di sini. Percayalah padaku."
Via diam. Mukanya yang putih tampak semakin pucat. Rambut kemerahan nya berantakan dan basah oleh keringat. Celananya jins ketat, dengan blus katun putih berenda. Seperti biasa, Via tahu bagaimana mempercantik diri. Maskaranya rapi, perona mata dan bibirnya selalu serasi. Namun kali ini, polesan itu lebur dengan airmata.
Dan Meilana yang malang. Tubuh kurusnya meringkuk di ujung tempat tidur Narti. Mata sipitnya berkaca-kaca dan tatapannya nyaris memohon, serupa sorot mata seorang bocah yang ingin berlindung dari gangguan seorang teman yang jail. Betapa ingin kupeluk tubuh itu. Aku tahu tubuh itu telah terlalu lelah. Tubuh itu lelah kepada prasangka. Setiap orang menyangka dia anak pengusaha kaya raya. Padahal, papinya hanyalah pemilik toko kelontong kecil, motor butut pengantar gallon air minum, dan rumah bertingkat dua yang bocor ketika hujan.
"Neng…!" Narti menghampiriku, berlari. Rambut ekor kudanya dihempas kan angin.
"Orang-orang itu memaksa masuk! Mereka menggedor-gedor pintu gerbang"
"Aku bilang, jangan bukakan pintu!" Narti tersentak, lalu katanya,
"Saya nggak bukain, kok. Mereka masih di luar, tapi terus menggedor-gedor…." Kututup pintu kamar Narti,
"Kunci pintunya," bisikku pada Via dan Meilana yang meringkuk ketakutan di sudut. Siapa yang berani memaksa memasuki rumah ini? Bapak adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani. Orang-orang itu, mungkin tak bernama. Mungkin mereka berasal dari sebuah dunia yang asing. Karenanya, mereka tak lagi punya identitas. Mereka tak punya batas-batas, apalagi rasa hormat. Di luar, pintu gerbang setinggi hampir tiga meter berderak-derak. Bunyi dentamnya nyaring membelah siang. Narti berdiri tegang di sebelahku, bersembunyi dalam gelap kaca jendela. Jendela kaca ini memisahkanku dengan beranda, memberiku rasa aman sementara. Tetapi, tampaknya tidak lama. Lihatlah! Satu, dua, tiga, laki-laki bertubuh tegap memanjat tembok pembatas rumah, menginjak-injak sirih belanda milik Mama yang menjuntai anggun. Tidak! Orang-orang itu berlompatan seperti percikan api, merah oleh luapan amarah.
"Neng…," desis Narti ketakutan. Kurang ajar! Siapa mereka? Wajah-wajah mereka gelap, berminyak, dan tak kukenal. Benar saja. Mereka pasti terlontar dari suatu ceruk di perut bumi. Kaki-kaki mereka telanjang dan berdebu. Telapak-telapak yang tebal oleh panas dan rasa sakit. Mereka mungkin tak mengenal bahasa.
"Sialan! Apa yang mereka cari?"
"Mereka nggak tahu ini rumah siapa…," bisik Narti.
Orang-orang itu mengayun-ayunkan kelewang, memukul-mukulkan kayu dan besi ke dinding. Lantai serasa bergoyang. Aku mundur, mencari sandaran. Dan pintu terbuka dengan sekali dobrak. Tiga laki-laki menerobos masuk, mata mereka nyalang, seperti serigala lapar.
"Mana perempuan-perempuan itu?" seorang laki-laki bersuara, nyaris menggeram. Aroma alkohol meruap dari celah giginya yang menguning. Aku mundur, dan terus mundur, hingga tanganku menyentuh dinding. Kerumunan laki-laki bertambah banyak di ambang pintu. Mereka lalu bergerak bagai kesetanan. Menendang guci keramik Mama, melempar vas kristal, menginjak-injak karpet dengan sepatu mereka yang kelabu oleh debu.
"Mencari siapa kalian?" aku memberanikan diri bertanya,meskipun suaraku bergetar.
"Kamu sembunyikan di mana perempuan-perempuan tadi? Mereka masuk ke sini, `kan?" salah seorang laki-laki itu mencoba meraih daguku. Sekilas telapak tangannya tampak kasar dan tebal kehitaman. Raut mukanya menyeringai. Dan aku dapat melihat, airliur menetes dari sudut bibirnya yang tebal. Cepat kupalingkan muka dengan jijik.
"Sudah, garap aja, Man…. Meskipun nggak putih, dia montok juga. cantik lagi,.. Lumayan khan…."
seorang laki-laki gemuk berseru sambil mondar-mandir di depan teve. Ada yang bergolak di dalam perutku. Rasanya aku ingin muntah. Dua orang laki-laki lainnya berjalan ke arah beranda belakang, mendobrak setiap pintu, memecahkan setiap jendela. Dadaku berdebar. Via dan Mei!
"Jadi kamu mau membela teman-temanmu itu, ya?" laki-laki yang berdiri di dekatku itu mendesis, dengan bau busuk mulutnya yang membuatku mual. Tiba-tiba dia meraih selendang tenun yang melilit sofa, dikibaskannya, dan didorongnya aku ke belakang. Aku terjengkang sejenak, dan meronta.
Memang sulit untuk mencoba bangkit dalam kengerian, tapi aku takkan menyerah. Dia mendorongku lebih keras, dan aku terbanting. Betapa ingin kutampar mukanya yang mengilat dan berjerawat, namun aku hanya bisa meludahinya. Dia tersentak. Mukanya memerah karena amarah yang bangkit. Dia meraih tanganku, dan menyeretku ke sebuah kursi. Diikatnya tanganku kebelakang dengan tali rafia biru di kursi itu, lalu kakiku diikatnya erat jadi satu…
"Duduk manis di situ, lalu lihat apa yang bisa kami lakukan kepada teman-temanmu. Kamu pikir kamu bisa menolong mereka? Rasakan akibatnya kalau berteman dengan mereka. Kamu akan menyesal seumur hidup!"
Aku meludah lagi. "Cuh…! Kamu yang menyes…."
Laki-laki itu, amarahnya seketika memuncak. Tangannya bergetar ketika membekap mulutku. Kakiku yang terikat erat menendang-nendang ruang kosong. Tanganku yang meronta menggoyang goyangkan kursi, hingga riuh entakannya seirama gemelutuk tulang dilutut dan sikuku. Kulihat Narti. terduduk. Kaki dan tangannya terikat di sebuah kursi yang lain. Mulutnya pun dibekap dengan lakban perak, hingga aku hanya dapat melihat matanya yang sembap. Gemerincing kaca dipecah. Badanku lemas oleh beban yang seketika tertumpah. Aku tahu,mereka telah menemukan Via dan Mei. Suara pukulan dan tendangan terdengar dari sebuah sudut. Rupanya Via melawan. Dan Mei, aku hanya mendengar isak tangisnya. Namun, siapakah yang mampu melawan kekuatan laki-laki yang begitu perkasa? Dua, tiga laki-laki menyeret Via dan Mei dalam keadaan tak berdaya, tangannya terikat.
Mereka membawa Via dan Mei ke kamar. Ketika melewatiku, Mei memandang ke arahku.
"Mila…Milaa," rintihnya. Mataku terpejam. Seandainya aku tak punya penglihatan dan pendengaran hari ini…. Karena berikutnya, yang kudengar hanyalah rintih dan isak tangis. Via, saat tubuhnya terseret dengan tangan yang sudah terikat kebelakang,… suaranya tak kudengar sedari tadi. Mungkin dia pingsan.
Dan Mei, keadaannya tak jauh beda denganku, terikat di kursi kerja Papa yang beroda,… erangan kesakitannya masih menjadi bagian dari mimpi-mimpi burukku hingga kini. Kerumunan laki-laki masuk ke kamar bergantian. Mungkin enam, atau tujuh, aku tak peduli. Yang kulakukan hanyalah berpura-pura bisu, tuli, dan tak punya nurani. Tetapi, sebuah derap langkah perlahan menghampiri pintu. Kutegakkan tubuh. Mungkinkah itu malaikat? Namun ternyata…Didi!
Dia bersembunyi, menempelkan badan di sisi lemari. Nekat sekali! Kugerakkan kepala, menyuruhnya pergi, namun dia meletakkan telunjuknya di bibir. Gila! Apa yang akan dilakukannya? Semua laki-laki itu tengah berpesta-pora dalam puncak limpahan adrenalin. Mereka bisa melakukan apa saja seandainya terganggu. Mereka begitu buas, begitu beringas. Tetapi tunggu, ini adalah kesempatan ku untuk melarikan diri. Namun… dengan Via dan Mei tergeletak di sini? Aku tak bisa meninggal kan mereka begitu saja. Kugerakkan kepalaku sekali lagi. Namun, Didi tetap di sana.
Dengan isyarat tangannya, dia berkeras mengajakku pergi. Kulirik Narti yang termangu memandangku, menunggu. Baiklah, ikatan tali rafia ini harus kulepaskan diam-diam. Sedikit demi sedikit, ikatan itu terurai. Sedikit lagi, dan tanganku akan bebas. Namun, aku terlalu bersemangat, dan… braak! Aku terjatuh bersama kursi yang masih mengikatku. Seorang laki-laki yang tengah mengancingkan celananya memandang marah kepadaku. Dihampirinya aku dengan wajah tertekuk, dan setelah dilihatnya lilitan tali rafia di tanganku yang terburai, sumpah serapahnya meluap.
Ditendangnya kepalaku, dan aku tersungkur. Begitu ingin kuludahi mukanya, tetapi aku begitu tanpa daya. Darah mengucur dari hidungku ketika laki-laki itu bersiap akan mendaratkan tendangannya di tubuhku. Aku menatapnya dengan benci. Namun, pada detik berikutnya, sekelebat bayangan menerpanya. Didi! Dia menyerang laki-laki itu dari belakang. Laki-laki itu berteriak. Beberapa orang laki-laki berwajah buas berhamburan dari dalam kamar. Kupejamkan mata. Adrian, jangan konyol!
Suara dentam dan pukulan mengepungku. Mungkin sebuah pertempuran terjadi di luar sana, dan aku lebih suka melihat gelap. Tubuhku serasa dihantam sebongkah balok es. Aku menggigil. Ketika senyap,mereka melepas ikatan di kakiku. Dengan sudut mata kulihat Didi terikat, terkulai dengan darah mengalir dari celah bibir dan kepalanya. Matanya terpejam, namun aku yakin dia menyaksikanku.
Mereka melucuti bajuku satu per satu, menarikku, lalu membantingku di balai-balai jati itu. Balai-balai Mama, balai-balai yang dipersembahkan dengan segenap cinta. Aku berontak, mencoba bangkit. Namun, tiga pasang tangan kekar memegangiku sangat kuat. Mereka tak berbusana.
"Didi… Didi,…." rintihku penuh harap. Namun hanya
"Mmmpphhh,…. Mmmmpphhh,…..!!" yang terdengar dari mulutku. Dia tetap diam,terkulai. Setetes air mengalir di sudut matanya. "Creeettt…..!" lakban dimulutku dilepas dengan kasarnya.
"Kalian biadab!" semburku, tepat di wajah seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di
pelipisnya. Detik berikutnya, sebuah kain satin tenun membekap mulutku. Mmmpphhh!!! Mmmpphh!!! "Creetttt….!" Kemudian mereka kembali memplester mulutku dangan lakban baru. Tanganku masih terikat erat dibelakang. Tubuh ku lunglai saat ku rasakan penis itu menghujam vaginaku dengan sangat kasar, dan aku pun tak sadarkan diri.
==o0oo==
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori bdsm /
bondage /
maledom /
orgy /
pemerkosaan
dengan judul "Suatu Hari di Bulan Mei". Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://prediksi-jitu-togel-sgp-hk.blogspot.com/2013/05/suatu-hari-di-bulan-mei.html.
0 komentar "Suatu Hari di Bulan Mei", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar