Tampilkan postingan dengan label lesbian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lesbian. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2013

Duculik dari Kantor

Mila meringkuk di pojokan kamar itu. Matanya sembab, jejak air mata kering menempel di kedua sisi pipinya. Entah sudah berapa lama ia disitu, Mila tidak lagi bisa menghitung, mungkin beberapa jam, atau bahkan hari? Ia tidak bisa memastikan, tapi satu hal yang pasti, selama ia di sini ia selalu dalam keadaan terikat ketat, tidak berdaya. Kedua tangannya tertekuk ke belakang punggungnya, kedua pergelangan tangannya diikat menjadi satu. Begitu juga kedua sikunya, diikat hingga hampir menyentuh, memaksa posisi tubuhnya untuk membusung ke depan. Tali juga melilit menyilang mengitari payudaranya, dari jauh nampak seperti sebuah penopang payudara yang terbuat dari tali memutar di tubuhnya, menekan kedua lengannya ke samping, membuat Mila tidak bisa menggerakan seluruh bagian tangannya. Baju kerjanya yang bergaya Shanghai warna biru, kini sudah mulai kotor, akibat usaha Mila untuk melepaskan diri yang gagal, menyebabkan ia berkali-kali terjatuh ke lantai yang kotor. Kedua kakinya juga mengalami nasib yang sama, pergelangan kaki diikat menjadi satu, begitu juga dengkulnya. Tali yang mengikat pergelangan kaki disambungkan oleh tali pendek ke ikatan pergelangan tangan, praktis membuat Mila harus selalu dalam posisi duduk dengan dengkul tertekuk. Rok mini berwarna Biru cerahnya kini lebih mendekati biru tua. Sepatu Pantofel dengan hak 5cm hitamnya dengan bis karet seolah menghubungkan kedua mata kakinya, membuat Mila terlihat sexy.

Seakan takut Mila bisa kabur dalam keadaan ini, sebuah tali juga diikatkan ke leher Mila yang ditambatkan ke sebuah tiang, laksana sebuah hewan piaraan. Tapi, setidaknya Mila bersyukur merasakan pakaiannya masih lengkap menempel di tubuhnya. Keadaan ini tidak hanya membuatnya tidak berdaya, tapi juga sangat tidak nyaman. Apalagi bahan tali yang digunakan sangat tidak bersahabat dengan kulit, karena sangat kasar, sehingga bila Mila berusaha bergerak saja, itu membuatnya merasa perih. Tapi bukan itu yang terburuk. Yang terburuk adalah yang menutup mulut dan wajahnya. Mila bisa merasakan kain, kemungkinan besar sapu tangan, berada di dalam mulutnya. Mila yakin lebih dari satu sapu tangan, karena mulutnya terasa penuh. Saking penuhnya, Mila tidak bisa lagi membuka rahangnya. Memerlukan 5 menit bagi Mila untuk tahu bahwa percuma untuk berusaha menekan sapu tangan itu keluar dari mulutnya. Ia bisa merasakan sesuatu mengikat dan menutup mulutnya, tapi ia tidak tahu bagiamana persisnya.

Mungkin Mila akan menyerah lebih awal bila mengetahui betapa keras si Penculik telah berusaha untuk memastikan Mila tidak bisa berteriak minta tolong. Sehelai scarf berwarna hijau muda dilipat menjadi tipis dan panjang, diikatkan dengan kuat di antara bibir Mila, menekan ketiga sapu tangan yang menyumpal Mila lebih dalam. Lalu sehelai scarf berwarna merah cerah bercorak bunga matahari yang lebih besar dilipat, menjadi persegi panjang yang lebar,diikatkan di belakang kepala Mila, menutup mulut Mila sampai sedikit diatas dagu. Tidak puas, sehelai scarf berwarna hitam dilipat menjadi segitiga besar diikatkan diatas scarf merah yang tadi. Cukup? Ternyata si Penculik berpendapat lain. Sebuah pantyhose disarungkan ke kepala Mila, lalu bagian kaki pantyhose itu dililitkan di bagian mulut Mila, yang akhirnya diikat erat di bagian belakang kepala Mila. Lakban digunakan sebagai alat terakhir oleh si Penculik untuk benar-benar membungkam Mila. Lakban hitam yang lebarnya kecil itu harus dililitkan beberapa kali memutari kepala Mila sebelum menutupi seluruh bagian mulutnya. Si Penculik memutus kan Mila tidak perlu melihat apa-apa dulu untuk saat ini, dan menggunakan sisa lakban itu untuk menutup bagian mata Mila. Kini kepala Mila terlihat seperti Mumi, hanya bagian hidung saja yang terlihat. Si Penculik yakin Mila tidak akan senang bila mengetahui wajah cantiknya tertutup, tapi si Penculik lebih yakin, Mila sebenarnya bisa menikmati keadaannya yang tidak berdaya dan tidak nyaman itu.


Beberapa minggu yang lalu Mila duduk di Starbucks Ciwalk di Bandung. Dari posisi duduknya, Bima tahu Mila dalam keadaan tidak tenang, mungkin takut, panik, tegang, tapi Bima selalu berpikir positif, Mila pasti sudah tidak sabar untuk akhirnya bertemu dengan sahabat dunia mayanya ini. Mata Mila memandang ke sekitar dengan curiga, melihat setiap lelaki muda yang melewati Starbucks. Karena ini hari Sabtu, mata Mila cukup sibuk mengerjakan tugasnya.

"Halo" Suara Bima yang sopan terdengar dari belakang.

"Astaga! Ternyata dari tadi ia sudah berada di sini!!" Pikir Mila dalam hati.

Padahal mereka berjanji untuk bertemu pukul 5 sore, dan Mila sengaja untuk datang 1 jam lebih awal, sehingga ia bisa yakin ia tidak akan dikagetkan seperti ini.

"Ia pasti datang 2 jam lebih awal, demi bertemu aku" Pikir Mila, ini membuatnya merasa tersanjung.

"Eh… mmm… Mila kan?" Bima bertanya, suara keraguan tidak terdengar dari suaranya, karena Bima tahu wanita yang disapanya ini adalah Mila. Sehari sebelumnya, Mila berjanji untuk menggunakan scarf berwarna merah bercorak bunga matahari di lehernya sebagai tanda. Mila menepati janjinya.

"Iya.. Bima?" Mila terkesiap melihat Bima.

Akhirnya ia bisa melihat secara langsung lelaki yang selama ini hanya berupa text di program chat.

"Yup" Bima tersenyum ramah.

"Boleh?.." Ujar Bima seraya menarik kursi yang berada tepat di hadapan Mila.

"Ya boleh dong....." Mila membalas dengan genit. Bima kembali tersenyum, lalu duduk dihadapan Mila. Mila tidak menyangka ia bisa langsung merasa nyaman dengan Bima, tadinya ia cukup khawatir, bahwa keadaan akan menjadi canggung ketika mereka bertemu, ternyata kekhawatiran itu tidak perlu.

Selama setengah jam, topik pembicaraan berkisar pada hal-hal umumnya sebuah perkenalan. Keluarga, pekerjaan, hobi (selain bondage tentunya ). Mila sebenarnya sudah tidak sabar untuk ganti topik, yaitu topik yang selama ini mereka komunikasikan lewat email atau chat, tapi ia merasa Bima harus mulai duluan. Dan itu terjadi sejam kemudian.

'Terus.. bondage?' Bima berkata, lalu meminum ice lemon tea melalui sedotan (Bima berkeras memesan Ice lemon tea, ternyata dia bukan penggemar kopi). Untung Mila tidak lagi minum kopinya, pasti dia tersedak.

"Iya...?" Mila jadi salah tingkah, entah kenapa gairahnya mulai muncul.

"Begini, terus terang, gue ngga mau berlarut-larut berbicara tentang hal ini. Toh kita berdua udah sering berdiskusi lewat internet, bahkan berbagi pengalaman. Gue udah tahu apa yang Mila suka, Mila juga tahu apa yang gue suka. Menurut gue, kita cocok. Sekarang masalahnya tinggal dua hal, kepercayaan dan ketertarikan. Apakah Mila percaya dan tertarik untuk praktek bondage dengan gue?"

Bima berkata dengan tenang. Mila melongo. Ia tidak menduga Bima akan begitu terus terang. Ia ingin marah, karena Bima seenaknya saja mengajak dia untuk praktek, tapi… setelah dipikir, Mila menghargai keterus terangan Bima. Toh ia juga menginginkannya, tapi.. ini menyangkut harga diri !

"Gini Bim, bukannya gue ngga mau, tapi…....."

"Butuh proses?" Potong Bima.

Mila kaget, lalu mengangguk. Bima tersenyum.

"Gue tahu untuk percaya sama gue butuh proses.. Dan gue juga mengambil resiko untuk menawarkan hal ini langsung… Tapi.. itulah yang gue tawarkan.. Gue bisa ngerti kalau Mila menolak, Cuma.. gue tantang Mila untuk menerima tawaran gue. Gue jamin.. pasti akan menjadi pengalaman yang sangat.. sangat.. indah" Bima kembali meneguk ice lemon tea-nya, tapi kini ia tidak menggunakan sedotan.

Mila termenung. Tangannya tiba-tiba menjadi dingin, jantungnya berdebar cepat. Perasaannya bercampur aduk. Mila menundukan kepalanya, ia tidak ingin Bima bisa melihat matanya, takut Bima bisa melihat bahwa Mila sangat ingin menjawab 'iya'.

"Gini deh, gue kasih waktu 5 detik. Mila tinggal mengangguk aja kalau mau, kalau ngga meng-angguk, berarti Mila ngga mau, dan gue ngga bakal nanyain hal ini lagi"

"Satu…"

Mila gelisah, ia tetap tidak bisa melihat Bima..

"Dua.."

Mila memandang mata Bima dengan pandangan memohon, detik itu Mila menggunakan segenap kemampuannya untuk menilai Bima melalui matanya. Berharap ada sebuah kekuatan jatuh ke dirinya untuk bisa melihat seperti apa hati Bima sebenarnya, tapi tentu saja itu tidak akan terjadi.

"Bim,.... jangan gini dong.. khan...."

"Tiga....."

Bima tidak memperdulikan rengekan Mila. Mila mencoba menganalisa situasi ini. Soal ketertarikan, tentu saja, itu tidak perlu dibicarakan lagi. Apalagi setelah ia melihat Bima secara langsung, ketertarikan kepada teman Bondage-nya yang satu ini semakin menjadi-jadi. Tapi pertanyaannya.. Apakah ia bisa mempercayainya? Ini adalah pertemuan pertama mereka di kehidupan nyata, memerlukan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar percaya pada seseorang, bahkan itupun tidak menjamin.

"Bim, please…... It's too soon.....!"

"Empat.."

Mila semakin panik, ia merasa marah Bima menempatkannya pada posisi tersudut seperti ini, membuatnya merasa tidak berdaya. Tapi.. sesungguhnya keadaan ini membuatnya semakin bergairah...

"Li….."

"mmmm....mau deh....!" Jawab Mila hampir tidak terdengar karena pelannya sambil mengangguk.

Bima menghentikan ucapannya, lalu tersenyum lebar. Mila tidak percaya apa yang baru saja ia ucapkan. Ia merasa begitu rapuh. Kepalanya tertunduk, pipinya memerah. Bima menggunakan jarinya untuk mengangkat dagu Mila, lalu berhenti setelah mata mereka beradu.

"Trust me…" Ucap Bima sambil memandang Mila, tatapannya memberikan ketenangan dan kenyamanan yang Mila belum pernah rasakan dari lelaki manapun sebelumnya. Setelah percakapan yang intens itu, Bima tidak lagi membicarakan tentang Bondage, seperti percakapan itu tidak pernah terjadi. Kembali Mila dibuat bingung, tapi disaat yang sama ia lega, karena Bima tidak memanfaatkan kerapuhannya, seakan Bima mengerti bahwa membutuhkan waktu bagi dirinya untuk pulih. Tidak hanya itu, tapi mungkin Bima akan memberikan waktu bagi mereka untuk saling mengenal terlebih dahulu, pertanyaan tadi hanya akal-akalan Bima saja, kenyataan nya mereka tidak akan praktek dalam waktu dekat, pikir Mila. Sejam berlalu begitu saja, Mila dan Bima semakin akrab. Bima melihat ke arah jam tangan di lengan kirinya.

"'Mil, jam 7. Gue harus pulang."

Bima nampak kecewa, begitu juga Mila.

"Ada janji kencan ya?" Mila menyesal menanyakan hal itu sesaat setelah kata-kata keluar dari mulut-nya.

"Duuh.. kok gue jadi cemburu gini ya?" Pikir Mila dalam hati. Bima menggeleng.

"Ngga, cuman gue udah bilang ke nyokap bakal balik, mau makan malam bersama." Ujar Bima sambil bersiap-siap berdiri.

Family man, pikir Mila. How nice.

"Eh.. tapi, tentang yang tadi?"

Lagi-lagi Mila berbicara tanpa berpikir dan menyesal.

"Gue harusnya menyumpal mulut gue sendiri pake lakban" Pikir Mila.

Ide itu membuatnya bergairah.

Bima terhenti, lalu memandang Mila.

"Oh itu..... Ngga perlu khawatir, sayang.. tentang hal itu, kamu ngga usah khawatir".

Dia memanggilku sayang, pikir Mila.

Ia berusaha supaya pipinya tidak memerah, tapi percuma. Bima tertawa kecil melihat tingkah laku Mila, lalu berdiri.

"Gue seneng banget akhirnya kita bertemu. Gue yakin pertemuan ini cuma awal. Dan gue bisa pastiin pertemuan berikutnya bakal lebih… exciting, to say the least."

Mereka akhirnya mengucapkan salam berpisah, Bima berjanji ia akan menghubungi Mila. Mila melihat sosok Bima keluar dari Starbucks, dan akhirnya hilang dari pandangannya. Sejenak Mila termenung, selama 10 menit ia duduk sendirian di kafe yang semakin lama semakin disesaki muda-mudi metropolitan. Tapi Mila tidak peduli.

"Ganteng juga,... kayak Charly ST 12,.......Dia manggil gue sayang.." Mila masih berada di alam- nya sendiri.

Berminggu-minggu kemudian, jarang sekali terdengar kabar dari Bima. SMS-nya yang masuk handphone Mila juga frekuensinya makin lama makin menurun. Apakah dia melupakan gue? Jangan-jangan dia udah menemukan wanita yang lebih cantik dari gue? Beribu pertanyaan ada di benak Mila. Pernah dia memutuskan untuk menelepon handphone Bima, tapi sungguh mengecewakan hasilnya.

"Gue lagi sibuk Mila, Sorry… Ntar deh gue kabarin kalo gue udah santai ya? Kamu ngerti kan?" Ujar Bima, di latar belakang terdengar suara-suara orang bercanda.

"Gue ngga ngerti!" ingin sekali Mila berontak.

Tapi tentu saja yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata pengertian. Harga diri Mila terlalu tinggi untuk mengambil langkah pertama, harga dirinya itu jugalah yang membuat keadaan ini semakin menyakitinya. Mila tidak habis pikir bagaimana Bima telah menyia-nyiakan dirinya. Pingin sekali ia marah, bagaimana tidak? Bima telah menempatkan dirinya di situasi yang sangat tidak nyaman ketika mereka bertemu, dan setelah dirinya seakan-akan 'merelakan' dirinya kepada Bima, justru Bima yang sekarang tidak menggubrisnya. Ugh! Mila berusaha melupakan nya. Ia menyibukkan dirinya dengan berbagai aktivitas, ia tidak akan membiarkan Bima berengsek itu mematahkan hatinya dan membuat dirinya merasa tidak berharga. Bahkan ia bekerja hingga larut malam, supaya ketika ia tiba dirumah, rasa lelah akan memaksanya untuk langsung tertidur, tidak ada waktu untuk merenungkan apa yang telah terjadi.

Seperti hari Selasa itu, Mila memutuskan untuk mengambil lembur, waktu menunjukkan pukul 19.45. Rekan-rekan kerjanya juga sudah maklum, memang beberapa minggu terakhir ini Mila rajin sekali. Mungkin Mila lagi butuh banyak duit, atau mungkin pingin promosi, pikir mereka. Sudah 1 jam Mila berkutat di depan komputernya, lembar-lembar spreadsheet berisi angka-angka terpampang di monitor. Ruangan luas yang tersekat-sekat menjadi beberapa tempat kerja itu telah terlihat sepi. Hanya Mila dan 2 orang lagi yang berada di ruangan itu. Bank yang berada di lokasi Jalan Setiabudi itu memang tutup jam 5, tidak heran keadaan sepi di jam 6 ini. Mila menarik napas panjang, sejenak ia berhenti dan meregangkan tangannya ke atas. Ia berdiri untuk meluruskan kakinya, sekalian melihat keadaan ruangan itu. Terlihat Pak Rijo yang mejanya terletak beberapa langkah di kiri meja Mila masih sibuk mengetik. Jauh di depan terlihat Ibu Risa yang sibuk memeriksa buku laporan. Keduanya berumur sekitar 35 tahunan, dan masih single. Mungkin itu alasan mereka begitu rajin di kantor, toh mereka tidak ada alasan untuk pulang cepat. Fakta itu kembali mengingatkan Mila terhadap kesendiriannya. Masalah bondage memang telah menjadi penghalang baginya dalam membina sebuah hubungan. Bila ia membina hubungan dengan seseorang yang tidak bisa menerima fetish bondage-nya, percuma saja, pikir Mila. Oleh karena itu timbul harapan besar ketika ia akhirnya menemukan Bima. Tapi lihat dirinya sekarang, bekerja sampai larut malam untuk melupakan seorang lelaki. Menyedihkan.

“ptaak,.. ptook,.... ptaak,... ptook,...!” bunyi langkah sepatu Mila menuju kamar mandi terdengar di lantai marmer Bank itu. Pakaian kerjanya yang berupa blouse ala shanghai warna biru dengan kancing putih berjejer rapih dari leher ke pusarnya, dipadu dengan rok mini berwarna abu-abu masih terlihat rapih. Tas hitam kecil tergantung di lengannya. Paha dan kaki putih mulusnya terlihat kontras dengan sepatu pantofel bertali hitamnya. Menawan, begitulah penampilan Mila. Mila mendorong pintu kamar mandi. Cermin besar menempel di dinding, menutupi hampir setengah bagian dari kamar mandi itu. Wastafel dengan teknologi sensor mengingatkan betapa modern-nya Bank itu. Mila mendekatkan tangannya ke wastafel, seperti sulap air otomatis mengucur keluar. Mila memandang refleksi dirinya di cermin. Gue cukup cantik kok, tubuh gue juga proporsional, pikir Mila. Ia mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang. Jadi model shampoo juga bisa. Pikir Mila lagi. Dari tas kecilnya Mila mengeluarkan botol parfum. Ia teringat Bima pernah bercerita tentang kegemarannya terhadap bau tubuh wanita. Mila menoleh ke kiri lalu ke kanan, memastikan ia sendirian, lalu mendekatkan hidungnya ke ketiaknya sendiri. Bau khas aroma ketiak terasa cukup tajam. Mila tersenyum. Smell what you've been missing Bima. Mila terkekeh, lalu ia merasa bodoh telah membaui ketiaknya sendiri. Ujung botol parfum itu ditekan oleh Mila, semprotan cairan parfum diarahkan ke bagian ketiak, dan lehernya. Mila menggunakan balik tangannya untuk mengusap parfum di lehernya.

'Brak' Terdengar suara dari dalam salah satu ruang toilet. Ternyata ada orang lain di kamar mandi ini. Jangan-jangan dia melihat gue nyium ketiak gue sendiri, pikir Mila malu. Tapi itu tidak mungkin. Terlihat dari sela di bawah pintu lap pel bergerak-gerak di lantai. Mila baru menyadari ada sebuah kereta dorong besar di pojok ruangan. Cleaning Services yang diambil dari outsourcing baru, pikir Mila. Pasti dia kesal kalau dia tahu Mila baru saja mengotori wastafel dan harus kembali membersihkannya. Pintu toilet itu terbuka, tapi tidak seperti yang Mila bayangkan, pintu itu terbuka dengan keras. Sesosok tubuh besar keluar dari dalam toilet. Sosok itu mengenakan seragam terusan putih, topi putih, kacamata hitam, dan masker putih. Ia bergerak cepat, hampir berlari, mendekati Mila. Mila berdiri terpaku, pikirannya kosong, ia tidak tahu harus berpikir atau bertindak apa.

Sesaat kemudian, sosok itu telah berdiri di hadapan Mila, Mila membalikan tubuhnya untuk berlari menuju pintu kamar mandi, tapi terlambat. Lengan yang kekar telah merangkul pinggang Mila dari belakang. Tangan muncul dari sisi yang lain, membekap mulut Mila. Kini Mila sadar sosok itu juga ternyata menggunakan sarung tangan latex berwarna putih. Ia bisa merasakan bahan latex itu mencengkram mulutnya dengan sangat kuat. 'Hmmff…!' Suara Mila tertahan.

“Ia ingin menculikku....!!??” rasa takut mulai membelenggu Mila. Secara reflek kedua tangan Mila yang masih terbebas berusaha melepaskan tangan yang membekap mulutnya. Tapi dengan lihai, lengan yang tadi melingkar di pinggul, menarik kedua tangan Mila ke bawah, lalu kembali melingkari tubuh Mila, tapi kini menahan kedua lengan Mila di samping sehingga tidak bisa berbuat banyak. Entah betapa seringnya Mila membayangkan dirinya dalam situasi ini, tapi sekarang ketakutan dan kepanikan menutupi gairahnya. Khayalan dan realitas memang sangat berbeda. Sosok itu mulai menarik Mila menjauh dari pintu kamar mandi, menuju ke pojok ruangan di mana kereta barang berada.

Kaki Mila ingin sekali melakukan perlawanan, tapi entah kenapa rasa kaku menjalar di tubuhnya. Sosok itu berhenti. Sejenak kemudian lengan yang me-lingkar di tubuhnya lepas, kedua tangan Mila kembali bisa bergerak. Tapi bukannya berusaha menarik tangan yang membekap mulutnya, Mila mencoba cara lain. Ia mengayunkan tangan kiri sekeras-kerasnya ke belakang, yakin akan mengenai perut si Penyerang. Tapi ternyata gerakan itu telah diantisipasi, Mila hanya mengenai udara. Lebih buruk lagi, kesalahan perhitungannya membuat keseimbangan tubuhnya goyah. Mila pasti terjatuh ke lantai dengan keras bila si Penyerang tidak memegang nya. Situasi ini dimanfaatkan secara sempurna oleh si Penyerang, dengan mudah ia membaringkan Mila di lantai kamar mandi dalam keadaan telungkup.

Mila merasakan dengkul si Penyerang di punggungnya, ia mencoba menggunakan kedua tangannya yang bebas untuk mendorong lantai, menolongnya untuk berdiri, tapi sia-sia, si Penyerang terlalu kuat dan berat. Sadar akan hal itu, Mila berusaha menggunakan tangannya untuk tujuan lain, menggapai sosok itu. Dengan liar kedua tangan Mila bergerak. Percuma, kedua tangannya hanya bisa bergerak di samping, sekali lagi dengkul sialan itu menahan pergerakan Mila. Mila lalu menyadari hal yang lain, mulutnya telah terlepas dari bekapan. Mila berusaha berteriak, berbicara, apapun, asalkan bersuara. Yang keluar hanya suara napas terengah-engah. Dengkul si Penyerang tidak hanya membuatnya tidak bisa berdiri, tapi juga membuatnya sulit bernapas. Mila menyimpulkan ia harus mengumpulkan napas terlebih dahulu sebelum bisa berteriak. Beberapa detik Mila tidak bergerak, berharap si Penyerang akan menduga Mila telah menyerah, padahal Mila sedang bersiap-siap untuk mengeluarkan teriakan yang akan membuat penyanyi opera gendut bangga.

"To…gfffffffmmm…mmmphhh..!!" Antisipasi! Sekali lagi si Penyerang telah menebak apa yang ada di pikiran Mila. Segumpal kain telah berada di dalam mulutnya. Tepat ketika Mila hendak berteriak, si Penyerang menyumpalkan kain ke dalam mulut Mila. Kain itu cukup besar, menyebabkan pipi Mila menggelembung, seperti sedang cemberut. Mila tahu sebentar lagi si Penyerang akan memastikan kain itu tetap berada di dalam mulutnya. Benar saja, sebuah scarf digunakan untuk mengikat mulut Mila. Yang membuat kaget Mila adalah betapa ketatnya scarf itu diikat.

Pipi Mila terasa tertekan begitu kencangnya sehingga terasa sakit. Seumur hidupnya Mila belum pernah diikat mulutnya sedemikan kencang. Memang Mila sering mengalami bondage dan gag dengan Pria Idaman Lainnya, yaitu mantan Direktur Pemasaran di bank tempatnya bekerja, namun tidak seperti yang dia alami sekarang.

Gairahnya mulai muncul. 'Mmmff…mmmffghhh….!' Mila seolah melakukan tes terhadap sumpalan mulutnya. Scarf warna hijau itu sukses menahan kain sumpalan tetap pada tempatnya, yaitu di dalam mulut Mila. Mila bisa membayangkan seperti apa wajahnya sekarang, scarf hijau terikat di mulutnya diantara bibir, kain putih yang menyumpal mulutnya sedikit terlihat menyembul dari rongga-rongga mulutnya. Si Penyerang mengalihkan perhatiannya ke kedua tangan Mila, yang mulai bergerak menuju scarf hijau. Dengan tangkas kedua tangan Mila di tarik ke belakang, seutas tali panjang dengan cepat mengitari pergelanganan tangannya, lalu Mila merasakan proses cinching di tali, proses yang sering ia lakukan pada dirinya sendiri ketika melakukan self-bondage di dalam kamarnya sesaat sebelum tidur.. Selanjutnya Mila merasakan kedua sikunya ditarik ke belakang. 'Hmmfff…!!' Mila mengerang, tanda kesakitan. Kedua sikunya agak direnggangkan, setelah itu dengan cepat dililit oleh tali, menyisakan sedikit tempat bagi Mila untuk menggerakkan lengannya. Sekali lagi proses clincing memastikan ikatan di sikunya benar-benar kuat. Mila menggerak-gerakan tangannya, ikatan-ikatan itu hanya menyisakan sedikit ruang saja bagi Mila untuk bergerak. Percuma!

Kaki.....! Mila teringat akan anggota tubuhnya yang dari tadi terasa kaku. Target berikut dari ikatan si Penyerang. Mila sadar ini adalah kesempatan terakhirnya bila ia ingin terbebas,sebelum ia benar- benar tidak berdaya. Meskipun gairahnya sudah memuncak, tapi Mila masih menyadari keselamatan dirinya adalah nomor satu. Mila menoleh ke samping, dari sudut matanya ia bisa melihat si Penyerang mendekati kakinya, seutas tali panjang berada di genggaman tangannya.


Apa yang dilakukan tubuh Mila berikutnya tidak hanya mengagetkan si Penyerang, tapi Mila sendiri. Dengan keras ia menghentakan kaki kanannya ke dada si Penyerang, diikuti oleh tendangan dengan kaki kanan ke arah kepala. Tepat sasaran! Si Penyerang terjatuh ke belakang. Terdengar suara erangan yang cukup keras. Mila mengumpulkan seluruh tenaganya untuk berusaha berdiri. Ternyata tidak segampang yang ia duga, tangannya yang terikat kebelakang dengan ketat membuatnya seakan tidak memiliki tangan, memerlukan waktu untuk beradaptasi dengan keadaan barunya ini. Tapi waktu adalah sesuatu yang Mila tidak miliki saat ini. Akhirnya Mila berhasil setengah berdiri, bertumpu pada kedua dengkulnya, Mila dihadapkan pada pilihan, berjalan dengan kedua dengkulnya ke arah pintu keluar kamar mandi atau berusaha berdiri tegak terlebih dahulu. Mila memilih yang terakhir.

Pertama ia menapakan kaki kanannya di lantai, entah kenapa tapi kakinya terasa seperti agar-agar. Dengan bertumpu pada kaki kanan, Mila menaikan tubuhnya. Mila menoleh untuk melihat si Penyerang, ia masih terduduk di lantai, kedua tangannya memegang kepalanya. Sebuah luka terlihat di pelipis kanan, darah mulai mengucur. Si Penyerang mendongak dan melihat ke arah Mila, dari balik kaca mata hitamnya, Mila bisa melihat amarah di mata si Penyerang. Mila bergidik, lalu membuang pandangan nya ke arah pintu kamar mandi. My only way out. Mila mulai melangkah, pertama kaki kiri lalu diikuti kaki kanan, setiap langkah Mila semakin percaya bahwa ia akhirnya akan keluar dari kamar mandi laknat ini. Mila mulai mempercepat langkahnya. Tinggal beberapa langkah lagi dan gue akan terbebas! Mila akan bergegas ke ruangan kerjanya dan meminta tolong rekan-rekannya dikantor untuk membebaskan tali-tali yang mengikatnya, teman-temannya pasti akan terkejut melihat pemandangan Mila yang tangannya terikat kebelakang dan mulutnya yang tersumpal erat, lalu hanya bergumam “mmmppphhhh.....!!” meminta tolong; dalam bayangan Mila.

Tapi Mila terlalu cepat merasa berhasil. Si Penyerang telah mengepel seluruh bagian lantai kamar mandi sebelumnya, ia tahu sepatu pantofel Mila dan lantai licin tidak akan bersahabat. Ketika Mila berlari menuju pintu, lantai dan sepatu pantofel mulai bereaksi, dan Mila pun melayang. Bila kedua tangannya bebas, mungkin Mila bisa menyeimbangkan dirinya, tapi dengan kedua tangan yang terikat dengan erat di belakang tubuhnya, justru tangannya menjadi pemberat, dan Milapun terjerembab ke belakang. ' Uffff.hhh….!' Tangannya terasa sakit sekali, terutama pundaknya yang menyerap kontak dengan lantai. Untung saja reflek Mila masih berfungsi sehingga kepalanya tidak terbentur. Mila panik. Ia berusaha kembali berdiri, tapi posisinya yang terbaring di lantai dengan tangan dibelakang, membuatnya merasa seperti kecoa yang terbalik. Tidak hanya itu, tenaganya juga sudah terkuras habis akibat usaha pertamanya tadi. Mila terbaring lemas. Yang ia takutkan sekarang ialah amarah si Penyerang yang bisa ia lihat sudah mulai bangun.

"Hmmm..pphhh… mmmmpphhh….mmmmpppphhhhh…."

Kini Mila bukan berusaha berteriak minta tolong, tetapi berusaha meminta belas kasihan si Penyerang. Baju putih bersih si Penyerang sekarang dihiasi oleh bercak darah segar. Ia mendekati Mila, melangkah secara hati-hati, ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama dengan Mila. Mila bisa mendengar nafas berat si Penyerang. Dengan gerakan yang cepat si Penyerang menjambak rambut Mila. 'Hh..fff…! hhh.ff.f…!' Mila histeris, matanya terpejam, ia tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan si Penyerang berikutnya. Apa ini akhir hidup gue? Mila bertanya-tanya dalam hati, lalu mulai berdoa. Tapi si Penyerang melepaskan genggamannya. Mila belum ingin membuka matanya. Lalu Mila merasakan lilitan tali di pergelangan kakinya, kali ini ia merasa si Penyerang mengikat secara lebih kasar dan keras. Bisa dimengerti mengingat luka yang ada di pelipis kanannya. Setelah itu, dengkul Mila diikat sama ketatnya. Mila merasakan tangan-tangan melingkar di lengan dan pinggulnya, detik kemudian Mila terangkat ke atas. Ini pertama kali dalam hidupnya Mila digendong di pundak seseorang. Ia merasa sangat tidak berdaya. Kembali gairah itu muncul.

Si Penyerang menurunkan Mila ke dalam kereta dorong yang ternyata isinya kosong. Mila membuka mata, ia melihat si Penyerang sedang membuka sebuah botol, sehelai saputangan putih bergaris hitam berada di genggamannya. Obat bius. Chloroform? Oh, betapa seringnya Mila berfantasi dibius, lalu diculik oleh seseorang, tapi ini bukan saatnya berfantasi. Ini kenyataan yang buruk. Mila menyiapkan dirinya untuk menghirup cairan pembius, tapi si Penyerang ternyata tidak membekapkan saputangan yang sudah basah itu ke hidung Mila, ia melipat scarf itu menjadi segitiga lebar, lalu mengikatkannya di mulut dan hidung Mila. Mila mencoba menahan nafasnya selama mungkin. Sia-sia. Beberapa detik kemudian bau menyengat memasuki saluran pernafasan Mila, tapi anehnya Mila tidak langsung pingsan. Ia hanya merasa lemah lunglai, kini bahkan ia tidak bisa mengangkat kepalanya sendiri. Si Penyerang memasukan handuk-handuk putih ke dalam kereta dorong, menutupi Mila, setelah itu ia menutup kereta dorong dengan terpal putih. Selanjutnya Mila meraskan kereta dorong itu mulai berjalan.

Saat terakhir yang Mila ingat dalam keadaan setengah sadar ialah ia di angkut ke dalam bagasi mobil. Suara pintu bagasi ditutup seperti menandakan hilangnya kebebasan bagi dirinya. Setelah itu ia tertidur lelap bagaikan putri tidur.

*****

Ketika Mila membuka mata, dunia telah berubah menjadi gelap. Sesaat ia panik, menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Tetap gelap. Mati lampu? Apa gue bermimpi? Tapi kenyataan pahit merasuk ketika Mila berusaha menggerakan tangan dan kakinya. Terikat erat & ketat.
Kejadian di kamar mandi kantornya mulai kembali masuk ke ingatannya. Bukan mati lampu, mata gue ditutup… Mila sadar dirinya dalam keadaan terduduk, lalu berusaha untuk berdiri. Entah kenapa selalu gagal, seperti ada yang menghambatnya. Berkali-kali ia terjerembab, sampai akhirnya sadar bahwa ikatan tangan dan kakinya disatukan oleh sebuah tali yang lain. Tidak bisa berdiri, Mila berusaha untuk merangkak, mencari jalan keluar. Tapi baru beberapa senti Mila merangkak, sebuah tali di lehernya mencegah Mila untuk bergerak lebih jauh. Keputus asaan yang dalam melingkupi perasaan Mila. Seakan semua harapan untuk melepaskan diri telah terputus. Mila telah diculik!!

Mila mulai menangis. Awalnya pelan-pelan, tetapi seperti bendungan yang jebol, tangisan Mila semakin menjadi-jadi. Sekitar setengah jam Mila menangis, entah apa yang membuatnya berhenti. Mungkin Mila menyadari bahwa tangisan tidak akan membantu apa-apa, tapi yang lebih pasti adalah fakta bahwa Mila mulai merasakan gairah yang selama ini belum pernah ia rasakan. Gairah bercampur malu. Mila merasa malu ia merasakan gairah ini. Untung saja si Penculik tidak melihat Mila mulai terangsang dalam keadaan terikat begini. Atau… Bisa aja dia memperha
tikan gue selama ini… duduk di sofa empuk di hadapan gue, menonton bagaimana gue berkali-kali terjatuh, bagaimana gue nangis, dan… Melihat bagaimana gue mulai horny.. Uhh.. Gue ngga boleh memperlihatkan gue horny…Bisa bahaya!

Menit berikutnya, Mila berusaha keras melawan gairahnya sendiri. Ia mengatur nafasnya, yang tadi mulai tersengal-sengal, kini sudah mulai bisa teratur. Mila mencoba berpikir, mungkin itu bisa membantunya melupakan gairahnya sendiri. 'Bima......!!!' Seakan ada halilintar di siang bolong, nama itu tiba-tiba muncul, lengkap dengan lampu neon yang terang, di dalam bayangan Mila. Astaga!! Ini pasti kerjaan Bima...!! Betapa bodohnya gue!! . Seketika itu juga ada perasaan tenang, lega bahkan bahagia ketegangan dan ketakutan berubah jadi perasaan pasrah.... 'hhh..ff…hhff..bbffmmpph…'

Mila tertawa dari balik sumpalan mulutnya. Tapi.. belum pasti.. jangan terlalu senang dulu Mila… Mila berkata pada dirinya sendiri. Mila menenangkan dirinya sendiri. Menunggu. Itulah yang bisa dilakukannya saat ini. Menunggu dan menunggu.

Tidak terasa Mila tertidur, rasa capek tidak bisa dipungkiri Mila, sejam yang lalu Mila memutus- kan untuk mengistirahatkan kepalanya ke tiang, dan akhirnya matanya tertutup. Sebuah suara membangunkan Mila. Ia merasakan kepalanya dipegang, terdengar suara lakban dibuka. Mila tidak merasakan sakit karena lakban itu tidak langsung menempel ke kulit, melainkan menempel di pantyhose. Cukup lama juga waktu yang dibutuhkan untuk lakban itu akhirnya terbuka. Mila berharap seluruh lakban akan dibuka, tapi nampaknya keberuntungan sudah meninggalkan Mila sejak ia masuk ke dalam kamar mandi beberapa jam sebelumnya. Hanya bagian mata saja yang dibuka, sehingga kini Mila akhirnya bisa melihat terang kembali. Mila mengedipkan mata beberapa kali, tapi pandangannya masih saja terasa kabur, sebelum sadar bahwa matanya masih tertutup oleh lapisan pantyhose. Mila melihat sesosok tubuh berjalan menjauh dari dirinya, mendekati sebuah meja. Sosok itu mengambil sesuatu dari meja, lalu kembali mendekati Mila. Semakin dekat, Mila semakin yakin barang yang diambil dari meja itu adalah sebilah pisau. Mila panik, lalu berontak dengan liar. Pisau itu mendekati mata Mila, lalu terdengar suara pantyhose yang dirobek. Ternyata pisau itu digunakan untuk merobek pantyhose yang menutup bagian mata Mila, sekarang Mila bisa melihat secara jelas. Meskipun membutuhkan waktu sampai pandangannya kembali normal. Ruangan kamar itu cukup luas, bergaya arsitektur post modern. Berlangit-langit tinggi, dan berlantaikan kayu parkit. sekitar 4 meter di depannya, Mila bisa melihat sebuah lemari pendek, berisi peralatan stereo, dan diatasnya tergantung layar TV LCD besar yang berbentuk persegi panjang. Kini Mila sadar dirinya tepat berada di tengah ruangan, diikat di sebuah tiang yang terbuat dari besi. Seorang wanita duduk dengan kaki bersilang di bangku antik disebelah lemari pendek. Ia mengenakan korset hitam, payudaranya yang besar tertahan oleh ikatan korset yang kencang. Ia juga memakai stocking hitam berenda, lengkap dengan garter belt, dan sepatu hitam berhak tinggi, modelnya serupa dengan yang Mila sedang pakai. Wajahnya nampak menggunakan make up tebal, tapi tidak bisa terlihat seluruhnya karena ia memakai topeng scarf berwarna hitam ala perampok di jaman koboi. Sebuah rokok terselip di jemari tangan kanannya. Mila tertegun. Ternyata bukan Bima yang nyulik gue...…Harapan terakhirnya baru saja masuk ke tong sampah. Lebih buruk lagi, ia diculik oleh seorang wanita yang entah kenapa menggunakan pakaian seksi di hadapan dirinya.

"Halo Mila" Sapa wanita itu. Suaranya agak bergetar. Tegang? Mungkin.. Horny? Mila mencoba menghilangkan pikiran itu dari otaknya.

"Bingung?" Tanya wanita itu. Suaranya menjadi agak bergumam karena tertutup scarf, tapi masih jelas untuk diartikan. Mila diam saja. Toh dia tidak bisa menjawab dengan sumpalan mulutnya yang ketat. 'Ehh… Jawab bego!' Wanita itu tiba-tiba berdiri, mengacungkan sebuah cambuk di tangan kirinya yang baru terlihat oleh Mila. Astaga!! Mila baru menyadari sesuatu. Dia seorang Mistress! Perasaan lega, pasrah dalam bahagia tadi entah hilang kemana di ganti ketakutan yang mencekam membelenggu dirinya.

"Mmmpphhh…." Mila mengangguk-ngangguk. Ia tidak ingin merasakan cambuk mengenai kulitnya.

"Bagus. Lo harus jawab semua pertanyaan gue, ngerti Bego?" Wanita itu berjalan di depan Mila, memamerkan cambuknya. Wanita itu ternyata cukup berisi, tapi tidak dalam batas yang berlebihan. Rambut hitamnya menjurai ke pundaknya. Tidak teralu cantik dan tubuhnya tidak begitu proporsional, tapi dengan pakaiannya yang seksi ditambah make up, ia cukup menggairahkan.

"Mmmppphhhh......" Mila kembali mengangguk.

"Gue Mistress Nadien. Mulai saat ini lo adalah budak gue" Suara Nadien masih bergetar, tapi tetap berwibawa.

Sejenak Mila bingung bagaimana dia bisa diculik oleh Nadien, Mila tidak mengenal dia, dan bahkan Mila yang terkenal ramah, supel dan selalu bergaul dengan siapa saja itu tidak merasa punya musuh.

"Lo slave cewek gue yang pertama. Biasanya gue lebih suka penis daripada vagina, tapi selalu ada yang pertama bukan?" Nadien tertawa mengejek. Mila menjadi mual mendengarnya. Selama ini Mila menganggap dirinya wanita normal. Ok, gue punya fetish slave bondage, tapi at least orientasi gue tetap cowok! Nampaknya Nadien bisa membaca ketakutan di mata Mila. Ia mendekati Mila yang terduduk, lalu secara mengejutkan mendekatkan bagian selangkangannya ke hidung Mila. Tangan Nadien memegang belakang kepala Mila, memaksa Mila mencium vagina Nadien yang masih tertutup oleh celana dalam hitam.

"Rasain nih… lo bakal sering nyium, jadi mulai biasain dari sekarang!" Nadin menjambak rambut Mila, lalu menggunakannya untuk mengontrol kepala Mila, sehingga ia bisa menggesek-gesekan hidung Mila di vaginanya sesuka hatinya.

"Mmmppphhh..! Mmmmpppphhhhhh….!!!!" Mila berusaha protes. Tapi apa daya, hidung Mila terpendam di vagina Nadien yang untungnya masih tertutup celana dalam. Mila bisa merasakan celana dalam Nadin yang ternyata basah, dan dari vaginanya timbul bau khas yang Mila sangat kenal.

"Enak?" Nadien terkekeh sambil terus menggesekan vaginanya ke hidung Mila. Tiba-tiba Nadien berhenti.

"Keenakan lo ya? Dasar bitch!" Nadin melepaskan kepala Mila.

Mila tahu seharusnya ia merasa jijik saat itu, tapi anehnya tidak. Justru… ia sedikit menikmati hal tersebut. Ia berusaha menyangkal kenikmatan itu, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini membuat Mila merasa semakin hina dan malu.

"Gue bakal kasih lo kesempatan terakhir buat muasin diri lo. Jadi jangan sia-siain" Nadin berkata dengan datar. Apa maksudnya? Mila bertanya-tanya dalam hati. Mila menunggu. Nadien menyalakan sebuah layar TV LCD dihadapan Mila. Terlihat sebuah DV Cam berada di atas lemari pendek, Kumpulan kabel keluar dari DV Cam itu lalu masuk ke TV LCD. Terlihat layar TV yang tadinya hitam, kini berubah menjadi biru. Nadien menjauh dari TV, mendekati Mila. Di tangan kirinya, cambuk telah diganti oleh sebuah remote control. Dan di tangan kanannya, rokok telah diganti sebuah alat berbentuk lonjong, dengan ujung berbentuk bola. Vibrator. Mila langsung mengenali alat itu. Ia juga memiliki satu di rumahnya, terkunci dengan aman di salah satu lemari pakaiannya. Nadien meletakan remote control di lantai dekat Mila terduduk, lalu berjongkok. Dengan tangkas Nadien menyelipkan vibrator masuk ke dalam rok mininya, lalu menaruhnya diantara selangkangan Mila, dengan ujung yang berbentuk bola menyentuh bagian vagina. Merasa rok mini menjadi pengganggu, Nadien menariknya ke atas, melipatnya, sehingga kini terlihat celana dalam Mila yang berwarna krem. Nadien tersenyum. Celana dalam itu terlihat basah.

"Dasar bitch.. " Nadien berkata sambil mengelus permukaan celana dalam Mila, Mila merinding merasakan jemari Nadien menyentuh bagian tubuh paling pribadinya itu. Nadien berhenti, kembali berkonsentrasi pada tugas yang ada di depannya. Vibrator itu ia rapihkan posisinya, sehingga ujungnya tepat menyentuh bagian paling sensitif di vagina Mila. Setelah itu, untuk memastikan vibrator itu tetap pada tempatnya, Nadin mengambil seutas tali, diikat melilit kedua paha Mila, membuat vibrator itu terjepit oleh kedua pahanya sendiri. Proses cinching agak lebih sulit karena melawati bagian antara paha yang rapat, tapi Nadien nampaknya sudah terlatih. Mila mendengus-dengus, berusaha menggeser letak vibrator itu.

"Heh! Dasar bego! Ini kebaikan hati gue, lo bisa nikmatin ini! Ini terakhir kali lo bisa ngerasa nikmat! Abis ini, tugas lo untuk muasin gue, ngga boleh muasin diri lo lagi! Ngerti ??!" Nadien berubah menjadi garang. Sekali lagi rambut Mila menjadi sasaran jambakan Nadien.

"Mmhhh..ammhhh…!" Mila memohon ampun atas kebodohannya, mengangguk-angguk, yang justru membuatnya merasa sakit karena rambutnya dipegang oleh Nadien. Masa depannya sebagai budak Nadien melintas di bayangan Mila. Setelah rambut dilepaskan, Nadien berjalan ke belakang Mila, menghilang.

Layar biru di TV LCD berubah menjadi sebuah tontonan. Terlihat sebuah ruangan besar. Nampaknya kamera diletakan di ujung atas ruangan, sehingga seluruh ruangan bisa terlihat dengan jelas. Ruangan itu kosong, dengan beberapa bilik toilet yang terbuka. Seseorang serba putih memasuki ruangan itu, mendorong kereta dorong. Kamar mandi laknat.. Mila tersadar apa yang sedang dan akan dilihatnya. Ia akan melihat proses penculikan dirinya! Sosok serba putih tersebut memasuki bilik toilet paling ujung sambil membawa lap pel. Nadien terlihat lebih besar di TV… mungkin efek kamera yang diletakan di atas.. pikir Mila.

"Ngebosenin.... kasian juga lu yah nungguin lama di kamar mandi… gw cepetin aja deh" Terdengar suara Nadien dari arah belakang.

Nungguin lama? Perasaan gue cuman nunggu 5 menit sebelum diculik. Dan gue ngga bakal nyebut itu 'nunggu', kalo gue tau gue bakal diculik, gue bakalan kabur duluan!' Pikir Mila. Terlihat proses fast-forwaring di layar, sosok serba putih itu bergerak layaknya The Flash, tapi karena ia hanya terduduk di toilet, tidak banyak bergerak, efek itu tidak begitu terlihat. Video itu kembali bermain dengan kecepatan normal. Terlihat Mila memasuki ruangan itu. Mila mengeluarkan sisir, lalu mulai menyisir rambut hitam panjangnya dengan pelan. Setelah itu mencuci tangan di wastafel berteknologi sensor. Mila tahu apa yang akan dilakukan dirinya, hal yang memalukan. Mila mengangkat lengannya, lalu mencium ketiaknya sendiri.

"Hahaha….!! Smile you're on stinkin' camera! Dasar jorok lo bego..!" Nadien tertawa-tawa dengan senang. Mila hanya bisa merengut malu. Kejadian yang tadinya begitu kabur di ingatan Mila, sekarang terlihat jelas di TV. Sosok serba putih itu mendekati Mila, berjalan cepat. Sebenarnya gue bisa kabur kalau gue langsung lari. pikir Mila.

"Lo lambat banget sih, dia bisa kabur tauk!" Nadin mengomel dari belakang. Mila terlampau serius melihat layar TV, tidak begitu memproses apa yang Nadin katakan. Tiba-tiba vibrator di selang
kangan Mila mulai menyala.

"Hmmhhh..!?" Mila melonjak kaget.

"Manfaatin waktu lo sebaik-baiknya.. Kalo lo ngga orgasme abis film-nya selesai, bakal ada hukuman, ngerti?!" Nadien membentak dari belakang.

Hukuman? Mila teringat akan cambuk yang kini tergeletak di atas lemari pendek. Adegan di TV terus berlangsung tanpa jeda. Mila melihat dirinya disergap, bagaimana ia berusaha untuk berteriak namun sia-sia. Lalu tubuhnya diseret ke belakang. Sosok serba putih itu melepaskan pegangan di tubuh Mila, ternyata ia sedang merongoh sakunya, mengeluarkan segumpal kain. Mila mengayunkan lengannya ke arah dada sosok itu, tapi telah diantisipasi, keadaan itu digunakan sosok serba putih itu untuk menjatuhkan Mila ke lantai. Kejadian tersebut ternyata berjalan cepat, tidak seperti yang dirasakan oleh Mila ketika itu. Mila mulai terangsang.

Di layar TV sedang diputar adegan penculikan dirinya sendiri, yang sudah berkali-kali ia bayangkan dalam lamunannya, yang biasanya ia lakukan sambil bermasturbasi. Tidak jarang sambil berself bondage ria. Kini ia berada dalam keadaan tidak berdaya, tangan dan kaki terikat erat dan ketat, mulut tersumpal. Ia disajikan tontonan spesial, yaitu adegan penculikan dirinya. Belum lagi sebuah vibrator yang pelan tapi pasti merangsang dirinya. Andaikan situasinya lain, ini adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Tubuh Mila mulai bereaksi dengan hebat, ia meronta-ronta, bukan untuk melepaskan diri, tapi untuk semakin merasakan betapa tidak berdaya dirinya saat ini.

"Mmpphhh… mmpphhhhhh…!! Mmmppphhhhh…,,,!" Mila semakin terangsang mendengar suara gumaman dirinya sendiri. Tidak hanya itu, Mila yang ada di TV juga kini mulutnya telah disumpal, dan diikat scarf hijau. Stereo system canggih membuat suara dibalik sumpalan mulut Mila menjadi semakin jelas. Secara bersaut-sautan suara gumaman itu terdengar.

"Mmmppphhhh.....…!" Mila bersuara.

"Mmmff…mmmffghhh….!" Mila yang di TV membalas. Vibrator itu kini menyala lebih kencang, Mila bisa merasakannya. Keringat mulai membasahi tubuh Mila. Tubuh Mila bergetar.

"Mmhhh… mmhh…" Terdengar suara gumaman dari belakang Mila.

Astaga,... Nadin juga ternyata sedang bermasturbasi! Pikir Mila. Suaranya terdengar berat, hampir menyerupai suara lelaki.

Sekarang Mila yang ada di TV sudah terikat kedua tangannya, dan adegan kungfu sebentar lagi akan terlihat. Mila menendang dengan keras sosok serba putih itu.

"Ihh.. bego banget sih lo? Kok bisa-bisanya ditendang…" Ujar Nadin. Mila tidak menggubris Nadin, ia sedang berkonsentrasi pada tubuhnya yang sudah akan mencapai puncak. Ia melihat dirinya yang melakukan kesalahan terbesar, mencoba berlari di lantai yang licin. Ia kesal mengapa ia tidak bersabar sedikit waktu itu. Scene berikutnya, kaki Mila telah terikat. Lalu digendong di pundak sosok serba putih itu menuju kereta dorong. Sebuah botol diambil dari saku kereta dorong, lalu dituangkan secara hati-hati ke sehelai scarf. Mila sudah berada di dalam kereta dorong, posisi kamera tidak begitu strategis untuk melihat isi kereta dorong itu, sehingga hanya terlihat sosok serba putih itu merunduk ke dalam kereta dorong. Mila bisa menduga apa yang sosok itu lakukan pada saat itu. Mila panik. Ia belum mengalami orgasme. Sedangkan adegan penculikan sudah selesai.

Pura-pura aja! pikir Mila. Toh dia udah berulang kali pura-pura orgasme di hadapan lelaki. Salah satu keuntungan jadi wanita. Fake orgasm. Jangan! Dia bakalan tau! Tiba-tiba suara lain timbul dari dalam dirinya. Nadien adalah wanita yang nampaknya cukup berpengalaman. Dia pasti membedakan orgasme pura-pura dan yang asli. Lagipula, Mila tidak begitu percaya diri akan kemampuan aktingnya, Mila memutuskan untuk mempercayai suara kedua. Mila ketakutan, bayangan Nadien yang mengambil cambuk dari lemari pendek, lalu mendekati dirinya yang tidak berdaya, mengayunkan cambuk itu ke tubuhnya, terbayang di pikirannya secara jelas. Diluar dugaan, bayangan itu justru semakin membuatnya bergairah, seperti sebuah batu jatuh ke mobil yang berada di pinggir jurang, mendorong mobil itu terjun ke bawah, dan membawa dirinya mencapai puncak kenikmatan.

"Hmmm..hhhh…!!! Mpppmmmhhh…!" Mila berteriak sekuatnya dari balik sumpalan mulutnya. Tubuhnya mengejang, Mila merasakan tali yang mengikat tangan dan kakinya, menahan dirinya untuk berbuat banyak.. Dari vaginanya, mengalir kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Mila memberontak lebih keras. Sialnya, hal ini justru menjadi bumerang, bukannya membuat Mila jadi lega, justru ketika ia berontak, ia lebih merasa tidak berdaya atas ikatan di tubuhnya. Gairahnya yang tadi Mila kira sudah terlepas, kini seakan ada gelombang kedua.

"Mmmpphh…!! Hhhhhh… hmmmpphhh….!!!" Mila baru saja mengalami orgasme keduanya. Beberapa detik setelah itu seluruh badannya terasa lemas. Mila terkulai di lantai yang dingin, bersandar pada tiang besi.

"Heh..! Belum selesai adegannya bego! Udah orgasme lagi.... Ihh… Dasar begoo …!" Nadin berteriak dari belakang.

Belum selesai?? Mila bingung. Seingat Mila, setelah dia diculik dari kamar mandi laknat itu, dia dimasukan ke dalam bagasi mobil sebelum akhirnya pingsan, dan terbangun di kamar ini. Pingsan. Gue pingsan!… Entah berapa lama… segalanya bisa terjadi selama gue ngga sadarin diri! Jantung Mila berdegup kencang. Untuk adegan penculikan di kamar mandi, Mila sudah bisa menduga apa yang bakal terjadi berikutnya, tapi.. kejadian selama ia pingsan, ia tentunya tidak tahu.

“Rasain aja bego! Vibratornya tetap gue nyalain Rasain!” Nadien tertawa, ia terdengar menikmati hal ini. Mila merasalan getaran vibrator itu di vaginanya. Astaga! Setelah orgasme vaginanya menjadi sangat sensitif, bahkan disentuh saja akan terasa ngilu, apalagi dirangsang oleh vibrator!

“Hmmmpphhh.....! Ammmpphhh.....! Ammmppphhh....!!” Mila memohon ampun dari balik sumpalan mulutnya. Ia berusaha menggerakkan kedua pahanya untuk memindahkan posisi vibrator, tapi tidak berhasil.

“Ha..ha..haa....! Rasainnn.....!” Nadien tertawa keras. Tidak ada yang ingin dilakukan Mila saat ini selain memukul Nadien telak di wajahnya, namun dengan tangan dan kakinya yang terikat erat sangat membatasi geraknya. Mila berkonsentrasi, fokus untuk mengindahkan rasa linu di vaginanya, mencoba membawa alam pikirannya ke suatu tempat yang indah dan damai. Terbayang wajah Direktur Pemasaran yang menjadi pria idamannya, ketika pertama kali mengenalkannya dengan ikat mengikat,.... di sebuah hutan dirinya terikat di pohon, Usaha ini berhasil untuk Mila ketika ia ingin mempertahankan agar dirinya tidak cepat orgasme, sesuatu yang mestinya ia lakukan beberapa saat yang lalu. Rasa linu dan geli tidak begitu terasa, Ia bisa membayangkan Nadien tidak terlalu senang Mila tersiksa hanya sebentar. Mila kembali berkonsentrasi pada layar TV, terlihat kereta dorong dibawa keluar dari kamar mandi. Beberapa saat kemudian, layar bergoyang-goyang, sekilas terlihat lantai dan sepasang kaki bersepatu perempuan, Mila ingat sepatu itu mirip dengan yang sedang dipakai Nadien dan yang sedang dipakainya, setelah itu layar menjadi gelap. Beberapa detik kemudian terlihat sebuah kamar.

Kamar ini... pikir Mila. Sebuah tiang besi menjadi fokus kamera. Dibelakang tiang besi terlihat sebuah tempat tidur mewah, dengan tiang-tiang yang menjulang tinggi ke langit-langit, tertutup dengan kelambu. Mila seakan merasa layar TV itu berfungsi sebagai kaca spion, dengan perbedaan waktu beberapa jam tentunya.

Nadien pasti lagi tidur-tiduran di tempat tidur itu saat ini... pikir Mila. Ia ingin menoleh untuk melihat sendiri tempat tidur dibelakangnya itu, tapi ikatan di lehernya menahan dirinya untuk bisa melakukan hal tersebut. Dan Mila menduga Nadien tidak akan terlalu senang bila dilihat oleh budaknya ketika ia sedang menikmati dirinya sendiri. Mila tidak akan mengambil resiko itu.

Dilayar TV, sosok serba putih kembali terlihat, ia agak membungkuk, berjalan mundur menuju tiang besi. Ia sedang mengendong tubuh Mila yang masih terikat dan tidak sadarkan diri. Mila melihat dirinya sendiri, masih dalam keadaan terikat. Scarf putih bergaris hitam masih menutupi hidung dan mulutnya. Mila disandarkan ke tiang besi itu. Secara terampil, scarf putih bergaris hitam dilepas, begitu juga scarf hijau yang mengikat mulut Mila. Kain putih yang berada di dalam mulut Mila dikeluarkan, terlihat sudah basah dengan air liur. Kain itu diletakkan dengan cermat di lantai, begitu juga scarf-scarf yang tadi itu. Sosok itu mendekatkan kepalanya ke kepala Mila. Untuk beberapa saat Mila bingung apa yang sedang dilakukan sosok itu kepadanya. Ternyata sosok itu menempelkan bibirnya yang tertutup oleh masker putih ke bibir Mila,y ang kini sudah terbebas dari sumpalan. Nadien nyium gue !!?? wanita itu benar-benar sakit,... pikir Mila. Dan bukan sekadar ciuman biasa, tapi ciuman yang penuh nafsu. Vibrator masih melakukan tugasnya, membuat Mila kembali bergairah. Mila meyakinkan dirinya bahwa vibrator itulah yang membuatnya bergairah, bukan adegan ciuman yang menjijikan ini! Tapi tanpa sadar pipi Mila menjadi merah. Belum puas gairah yang dia rasakan, tiba tiba Nadien mendekati dirinya yang terikat erat,... kemudian ditempelkannya sebuah sapu tangan merah di mulut dan hidungnya,... oh cloroform,..... pikir Mila, dan beberapa saat kemudian Milapun tak sadarkan diri.

*****

Entah berapa lama Mila tak sadarkan diri, kini mendapati dirinya dalam keadaan yang berbeda, kedua tangannya masih tertekuk ke belakang, kedua pergelangan tangannya diikat menjadi satu. Begitu juga kedua sikunya, diikat hingga hampir menyentuh, memaksa posisi tubuhnya untuk membusung ke depan. Tali juga melilit menyilang mengitari payudaranya, dari jauh nampak seperti sebuah penopang payudara yang terbuat dari tali memutar di tubuhnya, menekan kedua lengannya ke samping, membuat Mila tidak bisa menggerakan seluruh bagian tangannya.Yang membuat beda adalah Mila kini terikat berdiri di sebuah tiang, dengan tanpa busana, hanya bra, cd dan sepatunya yang masih melekat di tubuhnya. Mila merasakan dirinya sudah tidak di kamar tadi, tetapi di sebuah ruangan. Di sudut tembok terpampang jam dinding, waktu menunjukkan pukul 2.00 dini hari. Jika Mila mengingat-ingat, tadi dia masih berada di kantornya sekitar jam setengah tujuh sebelum penculikan ini terjadi, kemudian dia ingat dia menonton proses penculikan dirinya, perlawanannya terhadap sosok yang meringkusnya, kemudian ancaman Nadien, mistrees yang melecehkannya dengan tontonan adegan penculikan dirinya. Mila masih ingat melalui liputan, kalau dirinya dibopong dari bagasi mobil lalu diikatkan di tiang di kamar tidur. Mila berteriak sambil meronta-ronta, disadarinya mulutnya penuh dengan kain lalu disumpal dengan lakban. Tidak ada lagi pantyhose yang menutupi kepalanya. Benak Mila bertanya-tanya, di mana Nadien yang tadi menculikku?

==oo0oo==

Rabu, 06 Maret 2013

Di Umur 22

Namaku Annisa, hari ini aku bete banget. Bagaimana tidak, di Ulang Tahun yang ke 22, ini tanpa teman tanpa pacar. Anak-anak kost lagi pulang kampung. Sebenarnya banyak cowok yang mendekati tapi aku masih enggan untuk menerima mereka.

Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Dengan enggan aku buka, ternyata Astrid dan Ririn datang mau meminjam catatan. Menurut kabar yang beredar di kampus mereka itu pasangan lesbian.


"Eh, kalau tidak salah kamu hari ini ultah kan.. selamat ya!", kata Ririn.

"Makasih Rin", jawabku malas.

"Kok cemberut sih, harusnya kan hepi" Tanya Astrid.

"Terus yayangmu mana nih?".

Akhirnya aku ceritakan semua yang membuat hatiku sedih.

“Kasihan........ eh bagaimana kalo kamu ikut ke rumahku, kita bisa senang-senang di sana, benar nggak Rin?", ajak Astrid.

Tanpa pikir panjang aku ikut mereka. Baru kali ini aku ke rumah Astrid. Ternyata di rumah yang cukup mewah ini, Astrid tinggal berdua dengan Ririn. Orang tuanya berada di luar negeri. Kami lalu ngobrol dan saling becanda. Mereka ternyata asik buat becanda bahkan lebih gila. Astrid kemudian mengajak main kartu dengan hukuman bagi yang kalah melepas seluruh pakaian satu persatu dan harus menuruti apa yang diminta pemenang. Di akhir permainan, Astridlah pemenangnya, ia masih mengenakan BH dan celana dalam sedang aku hanya tinggal celana dalam, bahkan Ririn sudah telanjang. Mula-mula aku malu, tapi mereka tenang-tenang saja. Diam-diam aku tertarik juga melihat tubuh mereka yang indah, walau tubuhkupun sebenarnya tidak kalah seksi.

"Nah aku yang menang, sekarang kalian harus siap dihukum. Rin, ambil peralatannya!", kata Asrid.
Ririn lalu mengambil sebuah tas dan beberapa gulung tali dari dalam lemari.

"Untuk apa tali itu?", tanyaku bingung.

"Kita yang kalah akan diikat, kamu pernah belum Nis ?" kata Ririn.

Aku mengangkat bahu dan menggeleng.

"Kalau gitu ini akan jadi pengalaman pertamamu yang mengasikkan", lanjut Ririn.

"Sekarang bantu aku mengikat Ririn dulu", kata Astrid.

Kami lalu mengikat Ririn pada sebuah kursi. Astrid mengikat kedua tangan kebelakang juga mengikat tubuh Ririn ke sandaran kursi. Sedang aku mengikat kakinya pada masing-masing kaki kursi secara terpisah. Setelah itu Astrid membuka tas dan mengambil sebuah alat berbentuk bola kecil.

"Apa itu Trid?", tanyaku.

"Ini namanya ballgag Annisa, gunanya untuk membungkam mulut", jelas Astrid.

"Coba kamu pasangkan ke mulut Ririn".

"Ya, ayo bungkam mulutku, tak usah ragu Nis, yang erat sekalian", sahut Ririn ketika melihatku ragu.
Aku lalu memasangkan ke mulutnya dan mengekangnya dengan erat, hingga aku yakin Ririn tak dapat mengeluarkan suara lagi. Dalam keadaan telanjang dan terikat tak berdaya seperti itu, aku lihat Ririn tenang-tenang saja bahkan terlihat sangat menikmatinya.

"Sekarang giliranmu Nis, mau pakai borgol atau tali?" Tanya Astrid.

" Terserah kamu, aku menurut saja." ujarku pasrah dan bingung

Asrid mengambil beberapa gulung tali lagi lalu menyuruhku telungkup di kasur. Kemudian ia mengikat kedua tanganku ke belakang, lutut dan pergelangan kakiku juga diikat. Tidak juga itu, tanganku diikatkan lagi dengan kakiku hingga tertarik hampir menyentuh pergelangan kaki. Kata Astrid itu namanya hogtied.

"Gimana, sakit tidak?" tanyanya.

Aku menggeleng walau sebenarnya sedikit sakit karena ikatan yang sangat erat. Tidak tahu mengapa aku merasakan sesuatu yang aneh dan menyenangkan dalam keadaan tak berdaya begini.

"Aku sumbat mulutmu ya." Kata Astrid sambil mengambil sebuah bandana.

Akupun diam saja ketika ia membungkam mulutku dengan bandana tersebut.

Selesai mengikatku, Astrid kembali ke Ririn, lalu ia menciumi tubuh Ririn, menjilati kemaluannya dan meremas-remas payudaranya yang montok.

Ririn terlihat sangat terangsang dan menikmati permainan itu. Melihat mereka, tidak tahu mengapa aku ikut terangsang juga dan ingin diperlakukan sama seperti itu. Tubuhku menegang menahan gairah. Astrid yang mengetahui hal itu lalu menghampiriku sambil membawa alat suntik.

"Kamu tenang dulu, nanti ada permainan sendiri buatmu yang lebih mengasyikkan. mungkin sebaiknya kamu istirahat, simpan tenaga buat nanti."

Astrid menyuntikku dengan bius, aku sebenarnya tidak setuju tapi tidak berdaya menolaknya sehingga akhirnya aku tak sadarkan diri....

Ketika terbangun aku terkejut melihat ruang dipenuhi lilin. Juga tidak ada Ririn maupun Astrid. Sedangkan aku kini tidak terikat hogtied lagi tapi dalam posisi berdiri agak berganyung. Kedua tanganku terikat erat ke belakang, kedua kakiku diikat pada ujung-ujung sebuah tongkat besi hingga mengangkang posisinya. Lebih terkejut lagi ketika aku memperhatikan pakaianku yang aneh. BH yang kupakai pada bagian payudara berlubang hingga payudaraku kencang menyembul keluar juga celana dalamnya pada bagian kemaluan berlubang. Sedang tanganku memakai sarung tangan panjang kakiku telah memakai stocking. Semua pakaian terbuat dari kulit berwarna hitam. Karena bingung aku lalu mencoba memanggil Astrid dan Ririn.

“eemmmppphhhh........!!”

Aku ingin berbicara tapi suaraku tidak bisa keluar terhalang bola di mulut. Ternyata mulutku telah di bungkam dengan ballgag yang tadi digunakan untuk membungkam Ririn. Aku panik dan berusaha melepaskan diri tapi sia-sia, ikatannya terlalu erat tidak mungkin untuk membebaskan diri. Akhirnya pintu kamar terbuka. Astrid masuk.

"Wah.. sudah bangun, lapar ya?", katanya sambil membawa makanan.

"Mmpphhhh.. mmpphhhh.." jawabku sambil mengangguk.

Astrid lalu melepaskan ballgag yang membungkam mulutku.

"Kamu mau apa lagi Trid ? Tolong lepaskan aku dong..." pintaku pada Astrid.

"Belum waktunya Annisa, aku belum bermain-main sama kamu. Sekarang kamu makan dulu!".

Astrid lalu menyuapi makanan hingga aku kenyang. Setelah itu dia mengambil ballgag dan berniat untuk memasangkan lagi di mulutku.

"Tidak...... Astrid!! aku nggak mau memakai itu,.. tol.. mmpphh.. mmpphhh..".

Astrid tidak peduli dengan penolakanku dan tanpa kesulitan berarti dia berhasil kembali membungkam mulutku.

"Ririn akan aku bawa kesini, sementara itu kamu lihat film dulu. Ok!".

Sambil berkata, dia memutar sebuah film yang berisi adegan wanita-wanita yang diikat dan disiksa. Kali ini aku benar-benar takut membayangkan rasa sakit ketika disiksa seperti itu, ketika film itu habis....

Pintu kamar terbuka dan Astrid kembali masuk, kali ini bersama Ririn. Dengan pakaian hitam ketat, Astrid kelihatan sangat cantik, sedang Ririn telanjang hanya mengenakan sarung tangan, stocking dan topeng hitam seperti algojo dalam film itu. Kedua tangan Ririn diborgol dengan rantai panjang dan dilehernya juga terdapat rantai pengekang. Aku tidak tahu permainan apa lagi yang akan mereka mainkan. Ririn dibawa kearahku lalu leherku dipasang pengekang dan diikat dengan ujung satunya dari rantai yang mengekang leher Ririn. Kini leherku dan leher Ririn terikat rantai sepanjang 1 meter. Astrid mengambil cambuk dan mulai mencambuki punggung dan pantatku, sementara tangan Ririn bermain-main dengan payudaraku.

"eemmmpphhhhh...... emmpphhhh...... mmmpphhhh......!!!!".

Aku cuma bisa mengaduh, tidak tahu karena sakit dicambuk atau keenakan. Benar-benar suatu perasaan yang aneh tapi mengasyikkan. Aku merasakan suatu gairah yang baru pertama kali kurasakan. Selesai bermain-main dengan cambuk, Astrid menyuruh Ririn untuk duduk bersimpuh sehingga kepalanya tepat dihadapan kemaluanku.

Kemudian Astrid mengambil sebuah alat baru yang lebih aneh lagi dan memasangkan di mulut Ririn. Alat itu berbentuk penis, sehingga terlihat dari mulut Ririn keluar sebuah penis tersebut. Dan dengan mulutnya, penis itu dimasukkan ke kemaluanku. Oh.. sungguh nikmat sekali yang aku rasakan. Astrid lalu mengambil jepitan pakaian dan menjepitkan pada kedua payudaraku tepat di putingnya. Sakit rasanya. Kembali aku melotot memprotes tindakannya.

"eemmmpphhhhhh........ mmmpphhhhh......!!!" erangku.

Tapi Astrid malah tersenyum senang melihatku kesakitan. Tidak puas dengan itu, Astrid mengambil lilin yang ada di lantai dan meneteskan lelehan lilin panas itu ke tubuhku dan Ririn sambil tertawa-tawa. Sementara Ririn terus saja memainkan penis itu di kemaluanku. Entah berapa lama mereka akan menyiksaku seperti ini. Walaupun lama kelamaan aku bisa juga menikmati siksaan tersebut. Hingga akhirnya tidak kuat menahan rasa sakit dan gairah yang semakin memuncak, aku pingsan tidak sadarkan diri.

Sewaktu sadar, aku berada di kamar dengan ditemani oleh mereka. Namun tangan dan kakiku ,masih tetap terikat. Tubuhkupun telah mengenakan pakaian seperti ketika datang.

"Selamat pagi.." Ririn dan Astrid menyapaku sambil tersenyum.

Ternyata sudah pagi, jadi hampir semalaman aku telah diikat dan disiksa mereka.

"Bagaimana keadaanmu, sudah baikan?", tanya Ririn.

"Iya, kapan nich aku kalian lepasin.....? " sahutku seraya mengangguk,

“Mau dilepasin sekarang, Nis ?” tanya Astrid yang langsung melepaskan simpul tali yang mengikat di kaki dan tanganku.

Bangun dalam tubuh yang masih sedikit terasa lelah, ketika kuperhatikan tubuhku masih ada bekas cambukan juga di pergelangan kaki dan tangan masih terlihat guratan merah bekas ikatan tadi malam. Sebelum pulang, mereka menawarkan untuk melakukannya lagi di lain waktu.

"Bagaimana, kami tidak memaksa.. tapi jangan kamu sebarkan hal ini", Kata Astrid sambil menyerahkan kaset video.

Ternyata diam-diam mereka telah merekam semuanya. Sampai aku pulang, aku belum memberikan jawaban. Yang pasti kalau menginginkannya lagi aku yang akan menghubungi mereka.
Suatu malam tiba-tiba aku ingin melihat rekaman itu, melihat kejadian-kejadian ketika aku diikat dan disiksa, membuat gairahku muncul dan menginginkannya lagi. Kemudian aku ambil telepon genggamku dan mengetik sms :

"Astrid, Ririn...... kapan nich, kalian akan mengikat dan 'menyiksa'ku lagi..??". 

==oo0oo==

Kamis, 14 Februari 2013

Pemuas

Sejak liburan akhir pekan yang aku lewati bersama Diah, Novi dan Susan aku mulai memasuki dunia baru yang belum pernah aku rasakan. Kalau sebelumnya perilaku sexku normal, mangukai lawan jenis, sekarang aku mulai menjadi pecinta hubungan sesama jenis. Aku menikmati hubungan ini, entah karena hubungan ini adalah hal yang baru bagiku atau karena memang aku ditakdirkan menjadi seorang lesbian. Aku juga menyukai hubungan ini karena tidak ada resiko kehamilan. Selain dunia lesbian aku juga mengenal, tepatnya mempraktekkan bondage dalam hubung an seksual yang aku lakukan. Kadang bondage yang aku lakukan tidak diikuti dengan sex, jadi aku hanya diikat-ikat saja, dibuat dalam keadaan tidak berdaya. Aku adalah orang yang selalu diikat karena aku adalah bondage slave, istilah Diah, Novi dan Susan kepadaku. Aku sich tidak ada masalah karena aku memang senang sekali diikat, ditambah lagi pada saat diikat begitu aku mesti ‘dikerjain’, gimana tidak enak tuch? Akhir minggu sekarang lebih sering aku gunakan dengan bergaul dengan teman-temanku itu. Dan menurutku yang diikat adalah bosnya karena si pengikat harus melakukan apa saja yang tidak bisa dilakukan oleh yang diikat.



“Mil, lagi ngapain?” Tanya Diah melalui handphone.

“Gak ngapa-ngapain. Bengong aja di kost.”

“Besok akhir minggu ada acara nggak?”

“Gak ada. Lha kan biasanya akhir minggu bareng kamu jadi budakmu, hehehe. Ada apa sich?”

“Nggak… Gini lho, besok ada temenku dari Jakarta mau dateng, dia minta ditemeni. Aku mikir gimana kalau kamu aja yang nemeni dia?”

“Dia cewek atau cowok?”

“Ceweklah! Kan aku mikir kamu masih dibilang fresh, jadi harga jualnya masih mahal, hahaha!”
“Dasar....!”

“Beneran lho Mil, mau gak kamu nemeni temenku?”

“Cantik gak orangnya?”

“Te o pe, be ge te. Servisnya juga sip lho. Dan dia juga seneng ngikat-ngikat lho. Cocok kan sama kamu.”

“Hehehe,... tau aja kamu. Gimana ya, aku belum sreg ye, aku rada canggung, kan aku belum kenal, belum pernah ketemu sama dia.”

“Ya besok kita ketemuan dulu. Kan dia juga pingin liat kamu, cocok gak.”

“Mmm… Ya dech. Itung-itung variasi, hehehe.”

“Kan sambil menyelam minum air. Sudah dapet kenikmatan dapet uang saku lagi.”

“Hahahaha…... Iya dech.”

Petualangan apa lagi yang akan kualami? Hubungan sesama jenis dan bondage saja sudah seperti anugerah buat aku karena selama ini hanya ada dalam imajinasiku. Eh, sekarang malah dapat tawaran jadi escort lady, hahahaha.

Aku dan Diah saat ini sedang nongkrong di satu café, tepatnya warung kopi berlisensi dari luar negeri yang ada di salah satu Mall terkenal di Yogyakarta. Kita sedang menunggu teman Diah yang akan ‘membooking’ku selama akhir pekan. Nama teman Diah itu Silvi dan saat ini dia sedang dalam perjalanan untuk menemui kita.

“Kamu sering nongkrong disini Di?” Tanyaku.

“Yach, tergantung keuangan. Kalo pas ada duit ya kesini.”

“Emang enaknya apa sich? Kan kopinya sama aja.”

“Yeee… Gaul dong Non! Lagian kan bergengsi kalo bisa nongkrong disini.”

Aku cuma tersenyum. Aku mungkin termasuk cewek yang kuper karena jarang untuk nongkrong di tempat-tempat seperti ini. Sayang duitnya, mosok untuk secangkir kopi uang dua puluh ribu gak cukup?

“Halo Diah, gimana kabarnya? Sudah nunggu lama ya? Maaf ya, jalanan tadi macet.”

Tiba-tiba terdengar suara wanita ramah menyapa Diah. Aku menoleh ke sumber suara tadi, kulihat wanita yang aku penampilannya aku bilang sempurna. Tingginya paling tidak 175 centimeter belum ditambah high-heelnya berbis karet yang menghubungi kedua mata kakinya, mirip dengan sepatu yang kupakai, dengan berat badan ideal, pokoknya tinggi semampai. Dia memakai setelan rok pendek berwarna hitam, pakaian yang identik dengan wanita karier. Yang membuat pandanganku tertarik adalah ada scarf lebar warna putih yang dikalungkan di lehernya. Wajah putihnya mencerminkan kalau dia selalu memperhatikan perawatan wajahnya, masalah badan bagian dalam sebentar malem juga akan ketauan, hehehe. Rambutnya panjang sebahu dicat berwarna coklat.

“Eh, Mbak Vivi. Belum lama kok. Ini kenalin temenku yang aku ceritain itu.” Kata Diah.

Aku berdiri, bersalaman dan memperkenalkan diri.

“Ada apa nich Mbak? Tumben balik ke Jogja. Cuman liburan akhir minggu atau ada kerjaan?”

“Dua-duanya. Ada meeting regional di Jogja besok siang. Karena cuma sehari, kan sisanya bisa buat liburan. “ Jawab Silvi atau biasa dipanggil Vivi sambil mengerlingkan matanya pada Diah dan menatapku penuh arti, pandangan nakal.

“Gimana Mbak, sudah liat orangnya kan? Ya ini yang namanya Mila. Orangnya cantik kan, imut lagi.” Kata Diah.

Aku tersenyum tersipu-sipu.

“Penampilan sich OK, kita lihat saja performanya didalam kamar.” Kata Vivi kemudian. Sekali lagi dia manatapku penuh arti.

Aku diam saja. Agak dag dig dug, maklum ini kan pengalaman pertamaku ‘menjual diri’.

“Jadi, cocok? Kalau memang cocok ya sudah dibungkus saja.” Canda Diah.

Vivi tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Kalian sudah makan? Makan yuk, dari tadi perutku baru kemasukan roti dari pesawat nich.”

Kita keluar dari café itu dan menuju 1 restoran yang ada di Mall itu. Kita makan malam sambil ngobrol ngalor ngidul. Aku jadi tahu kalo Vivi ini dulu kuliah di Jogja juga. Vivi ini mistress Diah, dia yang mengajarkan Diah tentang hubungan sesama jenis dan bondage. Aku juga mengetahui kalau profesinya sekarang ini adalah salah satu top manager perusahaan multi produk di Indonesia.

Selesai makan kita langsung keluar dan menuju mobil yang dibawa oleh Vivi.

“Kamu sewa dari hotel ya?” Tanya Diah.

“Iya, males kemana-mana naik taxi. Kita kemana nich sekarang? Langsung ke hotel?”

“Aku belum bawa baju ganti Mbak.” Kataku. Aku memang tidak mengira kalau akan langsung diajak ke hotel.

“Ngapain bawa baju ganti, lagian memang kamu di hotel ntar pake baju?” Jawab Diah sambil tertawa, Vivi pun ikut tertawa.

“Iya dech.” Untuk diketahui aku memakai baju berkerah shang hai berwarna coklat muda dengan kancing-kancing yang berjejer rapih dari leher sampai ke pusar, dipasangkan dengan rok mini warna coklat tua dan bersepatu warna krem.

“Ini nganter aku pulang aja Mbak, abis itu silakan ngicipin mainan barumu.” Kata Diah.

Mobil keluar dan menuju ke rumah Diah. Aku yang duduk di belakang hanya diam saja, membayangkan apa yang nanti akan aku alami. Sudah gak sabar nich…

“Tunggu aku sebentar ya…” Kata Diah sambil keluar dari mobil sesampainya di rumahnya.

“Kok diem aja Mil? Grogi, takut atau mungkin kamu belum bisa ngobrol sama aku karena belum begitu kenal?” tanya Vivi sepeninggal Diah.

“Nggak papa kok. Rada grogi sich.”

“Tenang aja, aku gak nggigit. Kalau mungkin kamu bertanya-tanya tipe seperti apa aku, aku ini hampir setipe dengan Diah, mungkin agak keras sedikit. Tapi tenang aja aku nggak mungkin nyiksa kamu sampe berdarah-darah gitu.”

Terlihat Diah keluar dari rumahnya. Diserahkannya satu tas kepada Vivi.

“Itu sudah semua. Termasuk yang panjang milikmu dulu itu lho. Sana berangkat, sudah gak sabar kan?”

Vivi hanya tersenyum

Aku pamitan kepada Diah setelah sebelumnya pindah duduk di depan, di samping Vivi. Aku melihat tas yang diberikan Diah. “Itu kan tas yang isinya ‘alat-alat permainan’ milik Diah?” Kataku dalam hati.

Mobil kembali berjalan. Aku tidak tahu dimana Vivi menginap karena dari tadi dia tidak menyebutkannya. Mobil kembali menuju ke dalam kota. Jam menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Beberapa saat kemudian hotel masuk ke pelataran parkir sebuah hotel berbintang lima di jalan yang terkenal di Jogja.

“Wow… Nginepnya disini tho?” Kataku lagi dalam hati.

“Yuk… Sudah nyampe.” Kata Vivi kepadaku sambil keluar dari mobil.

“Jangan lupa tasnya dibawa.”

Aku ikut keluar dari mobil sambil membawa tas milik Diah. Aku ikuti langkah Vivi dan sekarang kita sudah ada di lobby hotel. Masuk lift dan kita sampai di lantai paling atas.

“Yuk, masuk. Kamu mau minum apa ambil aja di kulkas.”

Aku masuk ke kamar yang menurutku amat sangat megah. Entah berapa tarif kamar ini. Aku melangkah sambil masih terkagum-kagum.

“Ooii, jangan bengong gitu. Tenang aja, nanti kamu akan biasa disini. Kan waktu kita bersama masih 2 malam.” Kata Vivi lagi.

Aku duduk di sofa masih sambil memandang sekelilingku. Luas sekali ukuran kamar ini. Ternyata aku duduk di ruang tamu kamar ini. Di ruang sebelahnya aku bisa memandang meja makan. Aku mencari-cari dimana tempat tidur yang tidak terlihat. Hanya ada tangga memutar di dekat ruang makan. Vivi terlihat keluar dari ruang makan sambil membawa 2 kaleng minuman ringan.

“Gimana? Enak gak kelihatannya?”

“Iya… Bagus banget. Cuma tempat tidurnya dimana Mbak?” Tanyaku.

Vivi tersenyum. “Ruang tidurnya ya diatas. Lewat tangga itu.”

Gilaaa, kamar hotel ada lantai duanya!

“Mau liat kamarnya?” Vivi berdiri dan mengajakku naik ke atas.

Sesampainya di atas aku melihat tempat tidur yang tidak kalah megahnya dengan perabotan di bawah. Sebuah tempat tidur king size dengan model ranjang klasik, ada 4 tiang kayu yang menjulang di tiap sudutnya dan di tiap tiang itu ada kain yang menjuntai, terikat di tiangnya. Sepertinya fungsi kain itu untuk menutupi tempat tidur dan memberikan kesan romantis kamar. Seluruh tempat tidur tertutup bed cover berwarna pink polos. Ada jendela besar yang kordennya tertutup separuh. Aku melangkah ke jendela dan melihat pemandangan kota Jogja di malam hari.

“Aku tinggal mandi dulu ya. Kalau mau keliling-keliling kamar dulu lho, hehehe.” Kata Vivi. Sama dengan Diah yang tidak pernah mau mandi bareng, beda dengan Susan atau Novi yang pasti mandi plus. Tau artinya kan?

Aku duduk di ranjang yang tidak kalah empuknya dengan sofa di bawah. Aku mengelus bed cover yang halus sekali kainnya, dari satin. Kain penutup berwarna putih motif bunga-bunga terbuat dari satin juga. Aku kemudian menghidupkan TV yang ada di depan ranjang, menunggu Vivi selesai mandi.

“Gantian sana mandi, biar bersih dan wangi.” Vivi keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan bathrobe. Make up sudah hilang dari wajahnya tapi dia tetap terlihat cantik. Kakinya yang jenjang juga sekarang terlihat karena bathrobe yang digunakan panjangnya hanya diatas lutut.

Akupun kemudian mandi, membersihkan diri. Selesai mandi aku mengenakan bathrobe seperti yang dipakai oleh Vivi. Keluar dari kamar kulihat Vivi sedang duduk di lantai hotel yang semuanya dilapisi karpet. Dia sedang membongkar tas milik Diah. Isinya barang-barang yang sudah aku kenal dan sudah aku coba semuanya, kecuali satu yaitu gulungan tali yang kalau dilihat sangat panjang.

“Sudah selesai Mil? Seger gak?”

“Iya Mbak.”

“Sini duduk, temeni aku.” Aku duduk di sebelah Vivi.

“Kamu sukanya diikat model seperti apa Mil?”

“Terserah deh, pokoknya yang membuat aku dalam posisi tidak berdaya. Selain itu aku juga suka dijadiin mumi.”

“Oya? Wah, menarik tuch untuk dicoba. Dulu Diah gak mau kalau digituin lho.”

“Masak sich? Tempo hari dia dijadiin mumi lho.”

“Emang kamu pake apa kalo main mumi-mumian gitu?”

“Aku digulung pake selimut atau bed cover Mbak.”

“Ooo. Ya coba dech besok dicoba.”

Vivi sedang sibuk menguraikan tali panjang tadi.

“Sini say, ta tutup dulu matamu.” Kata Vivi kepadaku sambil mengambil satu kain panjang di tas Diah.

Aku diam saja ditutup matanya.. rasa tidak berdaya itu mulai menghampiri diriku. Kemudian Vivi menyuruhku untuk berdiri dan menanggalkan bathrobe yang aku kenakan.

“Tubuh kamu mungil tapi proporsional. Bikin aku tambah gemes aja.”

Aku diam saja. Jantungku sekarang mulai dag dig dug.

Aku merasakan tanganku ditarik ke belakang, dijadikan satu di punggung. Posisinya mirip kalau kamu menyilangkan tangan, berbentuk X hanya saja ini di pinggang. Tanganku sebenarnya agak sakit karena tertekuk, tapi aku diam saja. Kan rasa sakit dan rasa nikmat itu tipis sekali perbedaannya?

Vivi mulai sibuk mengikat tanganku ke belakang, kemudian melingkarkan tali di dadaku dan mengencangkannya. Dadaku terjepit yang membuatnya menjadi tegang. Entah berapa kali dia melingkarkan tali itu di dada atau di tanganku. Awalnya aku merasakan ikatan tidak begitu erat tapi karena dilakukan berkali-kali akhirnya membuatku tidak bisa menggerakkan tanganku sama sekali. Ikatan teman-temanku tidak pernah seerat ini rasanya.

“Gimana Mil? Nikmat gak?”

“Lumayan,...” sahutku mengganggukkan kepala.

Ternyata Vivi belum selesai dengan ikatannya. Dia kembali melingkarkan tali di dadaku, menyimpulnya tepat di antara buah dadaku, kemudian menariknya ke bawah.

“Aahh!”

Aku yang tidak dapat melihat apapun sangat terkejut ketika tali itu dilewatkan di selangkanganku dan ditarik ke belakang. Ada rasa nikmat yang aneh. Ujung tali kemudian diikatkan ke tanganku. Tambah dag dig dug aku dalam posisi seperti ini.

“Buka mulutmu Mil, selebar yang kamu bisa ya.”

“Aaaaaa.......!” aku membuka mulutku lebar-lebar, seperti yang kulakukan apabila Diah atau teman lainnya akan memasukkan celana dalam ke dalam mulutku. Tiba-tiba ada sesuatu yang dimasukkan ke mulutku. Dari kesimpulanku barang ini berbentuk bulat dan bahannya dari plastik atau karet. Ada semacam di kedua ujungnya yang menahannya supaya tidak keluar dari mulut. Pengekang itu diikatkan ke belakang kepalaku.

“Gimana sekarang rasanya Mil?”

“Aaammpphhhhh!” Hanya itu suara yang bisa keluar dari mulutku. Mulutku terbuka lebar tapi tidak dapat berbicara karena lidahku tertahan oleh bola yang ada di mulutku sekarang ini.

Vivi menuntunku beberapa langkah kemudian membuka mataku. Aku ternyata berdiri didepan kaca besar. Aku melihat diriku sekarang ini dalam keadaan terikat, benar-benar terikat. Aku katakan benar-benar terikat karena tali yang ada di badanku membuatku tidak bisa bergerak sama sekali. Dadaku membusung dan menegang. Aku tidak percaya aku diikat seperti ini karena selama ini ikatan model seperti yang aku alami saat ini hanya kulihat di internet, khususnya dari situs-situs Jepang, kalau tidak salah namanya Shibari. Dan di mulutku terpasang apa yang disebut ball gag. Melihat keadaanku sekarang ini aku menjadi tambah terangsang, libidoku meningkat. Yang tidak bisa ku tahan adalah air liur yang terus keluar dari mulutku yang menganga, menetes melalui lubang-lubang kecil yang ada di bola karet di mulutku.

Vivi mendorongku yang membuatku jatuh di atas tempat tidur.

“Gak ada ciuman bibir malam ini Say. Yang ada hanya penderitaan.”

Dia kemudian mengambil seutas tali dan mengikat kaki kananku di tiang ranjang. Sedangkan kaki kiriku ditekuk kemudian diikat sehingga membuat telapak kakiku menyentuh pantat.

“Gimana Say, sudah merasa tidak berdaya?”

Aku menggelengkan kepala, menantang mistress Silvi.

Dia tersenyum dan mengambil sesuatu dari tas Diah. Aku melihat di tangannya ada penjepit jemuran. Aku membelalakkan mata dan mengelengkan kepalaku karena aku sepertinya tahu apa yang akan dilakukannya dengan penjepit jemuran itu.

Vivi hanya tersenyum dan mulai mendekatiku kemudian tanpa komando dia menjepit puting susuku dengan jepitan tadi, sebelah kiri kemudian sebelah kanan. Aku berteriak karena terkejut dengan rasa yang aku alami sekarang, campuran rasa nikmat dan rasa sakit. Teriakanku kelihatannya malah membuat Vivi makin kesetanan. Masih ada beberapa penjepit yang kemudian dijepitkannya dengan membabi buta ke payudaraku. Jeritanku makin menjadi-jadi karenanya. Kakiku mengejang karena rasa sakit ini. Tidak terasa ada air mata yang keluar dari mataku.

Vivi sekarang sibuk menjilati kakiku yang terikat di tiang. Campur aduk, itu kata yang tepat dengan rasa yang aku rasakan sekarang ini. Ada rasa sakit, rasa nikmat dan ada rasa geli. Jilatan dan ciumannya sekarang bersarang di selangkanganku, di liang kenikmatanku. Tangannya sekarang memegang dildo, entah kapan dia mengambilnya. Setelah puas menjilati vaginaku, dia memasukkan dildo itu ke vaginaku, mengaturnya pada kekuatan maksimal dan menggoyang-goyangkannya. Makin kelojotan aku dibuatnya. Sambil terus memainkan dildo itu, memasukkan dan mengeluarkan dildo di vaginaku, seperti pada tahap penetrasi, dia merubah posisinya menjadi duduk. Dia sekarang duduk di sampingku, memandangi wajahku yang tidak karuan karena siksaannya. Sambil terus tersenyum dia terus memainkan dildo itu. Vaginaku lama-lama terasa panas, entah sudah berapa kali aku ‘dapat’. Aku berusaha mengatakan ‘sudah, cukup’ tapi tidak bisa karena ada ballgag yang menghalangi mulutku mengeluarkan kata-kata yang jelas untuk didengarkan, hanya erangan-erangan saja yang keluar. Aku juga berusaha merapatkan kakiku biar tidak bisa dimasuki dildo, tapi ditahan oleh tangan Vivi; malah kemudian kakiku yang tertekuk itu diikat juga ke tiang tempat tidur sehingga mau tidak mau kakiku membuka lebar.

Sekarang Vivi mulai melepas penjepit di dadaku satu persatu sambil tetap memainkan dildonya. Setiap kali penjepit dilepaskan, ada rasa sakit yang luar biasa yang aku rasakan di bagian yang tadi terjepit yang disebabkan karena darah yang kembali mengalir di daerah itu. Hanya erangan sebagai tanda protes yang bisa aku keluarkan. Entah berapa lama Vivi tetap saja memainkan dildo, menyiksaku.

Aku sudah tidak ingat ketika dia mulai melepaskan ikatan di kakiku dan mengganti ballgag itu dengan lakban. Ketika sadar posisiku sudah tiduran di sampingnya di dalam selimut, tangan tetap terikat. Kain penutup tempat tidur sudah diturunkan sehingga aku tidak bisa melihat jelas keluar. Suasana remang-remang. Silvi yang juga ada di dalam selimut membelai-belai rambutku.

“Kamu benar-benar luar biasa seperti apa yang dikatakan Diah. Kamu bisa menikmatinya ya?”

Aku hanya diam. Pandangan mataku mengatakan iya.

Vivi mencium pipi kiri dan kananku. “Besok masih ada siksaan lain, masih mau kan?”

Aku terlalu lelah untuk menjawab, terlalu lelah juga untuk membuka mataku. Kupejamkan mataku.

Samar-samar masih kurasakan belaian di kepalaku sebelum aku benar-benar terlelap.

Pagi itu, Silvi membuka matanya. Diregangkan tubuhnya. Dilihatnya teman tidur di sebelahnya, aku, masih di sampingnya masih dalam posisi yang sama, tangan terikat dan mulutnya tertutup. Ditariknya selimut untuk menutupi dadaku yang terbuka. Dia kemudian beranjak keluar dari selimut, berdiri dan mengenakan bathrobe yang tegeletak di lantai. Membuka korden jendela, membiarkan cahaya matahari masuk ke kamar.

Silvi melangkah turun ke lantai bawah, menuju meja kerja. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikannya untuk meeting nanti siang.

“House Keeping.....”

Silvi mendengar ketukan di pintu kamarnya. Dia beranjak dan membukakan pintu. Tiap pagi merupakan pelayanan dari hotel untuk merapikan kamar. Seorang wanita dengan kisaran usia 20 tahun masuk dan memberikan salam kepada Silvi. Setelah itu dia mulai merapikan lantai dasar kamar. Silvi berhenti dari pekerjaannya, sibuk memandangi petugas room attendant.

“Manis juga anak ini. Bisa dicoba nich…” Katanya dalam hati. Ada satu ide yang keluar di benaknya.

“Lantai dasar sudah selesai Bu. Ruang tidurnya apa perlu saya bereskan juga?” Tanya wanita petugas hotel itu kepada Silvi.

“Oya, ruang tidur dibereskan juga, terutama tempat tidurnya tolong dibereskan ya.” Jawab Silvi.

Wanita itu melangkah menaiki tangga diikuti Silvi di belakangnya. Sampai di atas, wanita petugas mulai membereskan ruangan. Dia membuka semua korden penutup jendela sehingga cahaya matahari benar-benar menyinari kamar. Dia masuk ke kamar mandi dan mengambil handuk-handuk yang sudah dipakai dan menggantinya dengan yang masih terlipat rapi.

Aku terbangun dari tidur ketika mendengar seperti suara jendela dibuka. Ada angin sepoi-sepoi meniup kain penutup ranjang. Aku merasakan tanganku seperti mati rasa, posisi terikat ke belakang. Sakit rasanya. “Berarti aku tidur semalaman dengan posisi terikat begini?” Tanyaku pada diriku sendiri.

Aku melihat dari balik kain penutup ada bayangan manusia yang sedang berjalan mondar-mandir. Suara langkahnya teredam oleh karpet yang melapisi seluruh lantai kamar.

“Kayaknya bukan Vivi. Siapa ya dia?” Kataku dalam hati sambil terus mengamati gerakan bayangan itu. Kain penutup tempat tidur ini memang membuatku tidak bisa melihat dengan jelas apa atau siapa di baliknya.
Lalu aku melihat satu bayangan lagi melintasi tempat tidur, menuju ke arah jendela, kelihatannya keluar menuju balkon kamar. Aku menduga bayangan yang ini adalah Silvi, dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi ramping.

“Jangan lupa rapiin tempat tidurnya lho.” Kudengar suara Silvi.

“Iya Bu.” Terdengar suara wanita, suara yang belum pernah aku dengar.

“Gila, apa-apaan nich! Silvi gila! Mosok orang itu disuruh merapikan tempat tidur padahal ada aku disini dalam keadaan terikat kayak begini.”

Aku menjadi panik. Tapi untuk bergerak aku tidak berani. Akhirnya aku memutuskan untuk pasrah saja menerima keadaan.

Lalu kulihat bayangan wanita asing itu mendekat ke tempat tidur, tangannya menarik kain penutup untuk diikatkan kembali ke tiang.

“Ma… Maaf.” Katanya terbata-bata ketika dia melihatku, tepatnya dia melihat kepalaku karena tubuhku dari leher sampai kaki tertutup semua dengan selimut. Dia membelalakkan matanya melihat lakban yang menutupi mulutku.

“Mmmpphhh!” Hanya itu suara yang aku keluarkan. Aku merasa sangat malu tapi tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain pasrah.

“Ada apa Mbak? Kok berhenti merapikan tempat tidurnya?” Terdengar suara Silvi dari arah balkon.

“Nggg…. Nggak Bu. Maaf Bu kalau saya melihat teman Ibu dalam keadaan seperti ini. Sekali lagi saya minta maaf.” Jawab wanita itu dengan terbata-bata.

“Memangnya kenapa?”

Wanita itu tidak menjawab, hanya menundukkan kepalanya. Saat ini aku merasa sangat malu dengan wanita asing yang ada di hadapanku dan marah kepada Silvi.

“Kok diem aja? Pingin liat yang lebih?” Kata Silvi lagi, sekarang dia sudah tampak di samping tempat tidur, berdiri di sebelah wanita asing itu. Tiba-tiba selimut dan bed cover yang menutupi tubuhku ditariknya kuat-kuat, membuat seluruh tubuh telanjangku yang terikat tampak jelas.

“Mmmppphhh!!!!” Aku mengeluarkan suara keras-keras untuk memprotes tindakan Silvi tadi.

Wanita tadi membelalakkan mata lagi dan mulutnya menganga. Di depannya ada pemandangan wanita yang terkapar dengan tangan terikat kebelakang serta mulut yang di sumpal lakban. Silvi yang ada di sebelahnya mulai memegang tangan wanita itu.

“Nama kamu siapa?”

“Na… Nama saya Maya Bu.”

“Baiklah Maya. Gimana komentar kamu dengan pemandangan di depanmu ini?” Tanya Silvi. Tidak diperdulikannya sama sekali protesku.

“Saya nggak tau Bu. Saya nggak tau.”

“Ayolah… Jujur saja. Suka tidak kamu lihat wanita seperti gini?”

Maya tidak menjawab.

Aku berusaha membalikkan tubuhku, berusaha menutupi tubuhku tidak berhasil...

“Halo Maya, kok diem saja sich? Nggak suka ya dengan wanita ini?”

“Nggak Bu.”

“Kalo begitu berarti kamu suka ya wanita ini?”

Dia kembali tidak menjawab.

“Mau gak kamu raba payudaranya? Atau mungkin pahanya?”

Aku membelalakkan mata. Aku sangat malu diperlakukan seperti ini. Maya tetap terdiam.
Silvi mulai membimbing Maya menaiki ranjang dan mendekatiku. Tangan Maya dipegangnya dan diarahkannya ke payudaraku, karena aku berhasil membalikkan tubuh. Sedikit terpaksa Maya mulai memegang buah dadaku. Aku hanya mendesah sebagai tanda protes. Silvi masih memegangi tangan Maya yang sedang dipaksanya membelai-belai bukan hanya dadaku tapi sudah berpindah ke arah perutku.

“Jangan Bu. Saya takut Bu.” Kata Maya.

“Takut atau malu?”

Maya menggelengkan kepalanya. Yang aneh dia tidak benar-benar berusaha menarik tangannya. Makin lama kurasakan juga kalau belaian tangan Maya ini bukan belaian yang dipaksakan. Maya mulai terhanyut. Wajahnya sudah bukan wajah ketakutan lagi, tapi wajah orang yang sedang horny. Saat akhirnya tangan Silvi lepas ternyata Maya tetap membelai-belai tubuhku, penuh nafsu. Silvi tersenyum melihat keadaan ini. Aku akhirnya juga menikmati sentuhan-sentuhan wanita ini.

“Pengen yang lebih selain membelai Maya?”

Maya yang nafasnya mulai tidak teratur menganggukkan kepalanya.

“Silakan kamu apa-apain dia. Lakbannya boleh kamu buka tapi setelah selesai tolong mulutnya dilakban lagi ya. Aku tinggal dulu ke bawah ya.” Kata Silvi sambil turun dari tempat tidur, menurunkan kembali kain penutup.

Kini tinggal aku berdua dengan Maya di atas tempat tidur. Dia segera melepaskan baju seragam kerjanya demikian juga dengan bra warna hitamnya. Rok pendek yang dipakai mulai dilepasnya juga menyisakan celana dalam warna merah maroon yang dipakainya berkaus kaki putih dan masih bersepatu pendek dengan tali melintang diatasnya. Maya lalu menindih tubuhku dan mulai menciumi seluruh wajahku. Dijilatinya telingaku, leherku dan turun ke daerah dada. Aku hanya mengerang-erang merasakan kenikmatan ini.
Awalnya aku merasa jijik untuk berhubungan dengan wanita yang tidak aku kenal ini. Namun serangan-serangannya yang agresif membuat pertahananku runtuh. Sakit di tanganku sudah tidak kurasakan lagi berganti dengan kenikmatan yang semalaman sudah kurasakan.

Kurasakan lakban di mulutku ditarik dengan kasar, kemudian bibirku sudah menyatu dengan bibirnya. Kewalahan aku untuk mengimbangi ciumannya yang benar-benar ganas. Lidahnya masuk kedalam mulutku, bertemu dengan lidahku. Cukup lama kita bercumbu dan tiba-tiba dia menarik kepalanya dan mulai menjilati kakiku. Sekarang desahan yang keluar dari mulutku cukup keras untuk didengar. Maya masih menjilati kakiku dengan penuh perasaan, seperti sedang menjilati es lilin.

Dia kemudian duduk di atas perutku. “Jilati punyaku ya Say…”

Dia merubah posisinya dan kita melakukan gaya 69. Sudah cukup lama aku tidak menjilati vagina seperti saat ini. Kita berdua sambil terus mendesah tetap menjilati vagina lawan main. Tiba-tiba tubuh Maya menegang, dia menghentikan jilatannya dan desahan yang keluar nadanya berbeda, sepertinya dia akan mencapai puncak. Aku menyedot lubang kenikmatannya dengan penuh semangat dan benar saja tiba-tiba tubuh Maya melemas dan menindihi tubuhku.

Beberapa saat kemudian Maya bangkit dan turun dari tempat tidur. Dia mencari pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya. Dia merapikan rambutnya yang acak-acakan dan mulai merapikan tempat tidur, diikatkannya kain-kain penutup ranjang ke tiang.

Dilihatnya gulungan lakban di meja samping, menyobeknya dan menempelkannya di mulutku.
“Seharusnya kamu tadi diginiin, kan aku jadi nggak bisa liat kamu.” Katanya sambil menutupkan selimut ke seluruh tubuhku sampai kepala. Setelah itu dia juga menutupkan bed cover di atas tubuhku sampai ke ujung kepala. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi.

“Makasih yaa sudah ngasih aku.... Aku kerja dulu ya.” Kata Maya kemudian dan aku mendengar langkahnya menuruni tangga.

“Gimana Maya? Sudah puas?” Tanya Silvi ketika dia melihat Maya menuruni tangga.

Maya tersenyum malu dan menganggukkan kepalanya.

“Ini ada sedikit tips buat kamu.” Kata Silvi lagi sambil memberikan selembar uang kertas kepada Maya.

“Terimakasih Bu. Terimakasih buat semuanya. Selamat pagi. Kalau memerlukan sesuatu silakan panggil saya.”

Maya pamit dan keluar dari kamar.

Aku masih dalam posisi tiduran di atas tempat tidur. Aku benar-benar shock dengan kejadian barusan.

Nikmat sich tapi ada rasa aneh karena melakukan hubungan dengan orang yang belum aku kenal.

“Mungkin ini resiko jadi escort.” Pikirku dalam hati.

Kudengar suara langkah Silvi mendekati diriku. Dibukanya selimut yang menutupi seluruh tubuhku. Sambil tersenyum manis dia melepaskan lakban di mulutku.

“Gimana Say, enak gak?”

Aku diam saja. Masih ada rasa dongkol di hatiku atas perlakuannya kepadaku tadi.

“Jangan marah dong… Sensasinya beda kan?”

Aku masih diam saja.

Dia kemudian mencium pipiku kemudian mulai melumat bibirku. Awalnya aku berusaha menolak tapi kemudian kupikir karena dia adalah ‘penyewaku’ maka aku harus memuaskannya. Aku membalas ciumannya.

Benar-benar pagi yang gila! Ternyata dia hanya mencumbuku, hanya menciumiku dan mengulum puting susuku saja. Setelah itu dia berhenti lalu melepaskan ikatanku. Butuh waktu agak lama untuk melepaskan ikatan di tubuhku. Tanganku yang terikat sepanjang malam terasa begitu lega. Aku melihat ada bilur-bilur di badanku bekas ikatan.

“Sana mandi dulu. Berendam pake air anget ya biar aliran darahnya lancar lagi.” Kata Silvi kemudian.
 “Aku tunggu di bawah.”

Aku masuk ke kamar mandi dan berendam dengan air hangat di bathub. Sambil berendam aku memikirkan berbagai kemungkinan siksaan atau kenikmatan yang mungkin akan aku alami lagi. Masih ada 2 hari 1 malam menjadi peliharaan Silvi. Benar kata dia kalau style dia lebih ‘keras’ daripada Diah. Memang dia bisa memberikan kepuasan kepadaku tapi disertai dengan rasa sakit.

“Ayo Mil, sarapan dulu.” Kata Vivi yang melihatku turun dari tangga.

Aku tersenyum dan mendekat ke meja makan, duduk di hadapan Silvi. Aku sudah membulatkan tekad untuk tetap bertahan menjadi budak Silvi, itung-itung untuk menambah pengalaman.

“Gimana semalam?”

“Enak Mbak. Terus terang semalam itu pengalaman baru buat saya.”

“Suka digituin?”

“Iya Mbak.”

Aku melahap menu sarapan yang ada di hadapanku. Perutku terasa lapar sekali, mungkin karena ‘kerja keras’ semalam dan tadi pagi.

“Aku ntar jam setengah sepuluh ada meeting, jadi aku tinggal dulu ya. Mungkin sekitar jam enam baru balik. Gak papa kan kamu aku tinggal disini sendirian?”

“Iya Mbak. Lagian disini enak kok, mau ngapain aja di kamar ini sudah tersedia. Mau tidur, mau liat TV, mau berendam bisa.”

Silvi tersenyum dan melanjutkan sarapannya.

Selesai sarapan aku menyibukkan diri membaca surat kabar. Silvi duduk lagi di meja kerjanya membereskan kertas-kertas kerjanya.

“Mila, ke atas sebentar yuk…” Kata Silvi kemudian. Dia melangkah ke tangga, naik ke ruang tidur.

Aku melipat surat kabar dan ikut naik ke atas. “Apa lagi nich?” Pikirku.

Di atas Silvi terlihat sedang memilih-milih baju yang akan dikenakannya untuk menghadiri meeting. Aku duduk di sofa yang ada di samping tempat tidur sambil melihat pemandangan luar lewat jendela.

“Sini Say…” Terdengar suara Silvi.

Aku melihat ada tali di tangannya, tali nilon berwarna putih.

“Apa-apaan nich?” Pikirku.

Aku berdiri dan mendekati Silvi.

“Balikin badan. Tangannya letakin di belakang.”

Aku mengikuti apa yang diperintahkannya menyilangkan pergelangan tanganku di belakang pinggang dan merasakan tanganku mulai diikat dengan tali yang dibawa oleh Silvi. Setelah tanganku terikat Silvi mengambil beberapa lembar scarf dari almari pakaian. Dilipatnya scarf pertama menjadi kecil memanjang lalu dia membuat simpul tepat di tengahnya. Dia menyuruhku membuka mulut dan mengikat scarf itu di mulutku. Simpulnya masuk kedalam mulutku, menyumpal mulutku. Ikatan yang erat membuat otomatis aku menggigit scarf itu. Kemudian ada scarf lagi yang diikatkan ke kepala, hanya sekarang menutupi mulut dan bibirku.

Lapisan ketiga scarf yang digunakan menutupi semua scarf yang tadi ditambah lagi sekarang menutupi hidungku. Aku sedikit kesulitan bernafas tapi karena kain scarf itu tipis jadi masih bernafas melaluinya. Dan scarf terakhir diikatkan Silvi menutupi seluruh kepalaku, membungkus kepalaku. Sekarang aku hanya bisa melihat warna hijau seperti warna scarf yang dipakai untuk membungkus kepalaku. Silvi kemudian menyuruhku untuk telungkupan di tempat tidur. Dia melebarkan kakiku dan memasukkan sesuatu kedalam vaginaku, dari bentuknya benda ini adalah dildo. Lalu ada sesuatu yang ditempelkan di pahaku dengan menggunakan lakban, yang ternyata adalah controller dildo itu. Setelah itu Silvi mengikat kedua kakiku menjadi satu di pergelangan kaki dan lutut. Erat sekali rasanya. Dildo itu tidak bisa keluar dari vaginaku karena celana dalamku menahannya untuk keluar. Silvi kemudian menekuk kakiku dan mengikatnya dengan seutas tali lagi, menjadikan satu dengan tanganku, model hogtied istilahnya. Ikatan model seperti ini pernah aku praktekkan bareng Novi hanya bedanya ikatan yang dilakukan Silvi lebih kencang, kaki dan tanganku benar-benar menjadi satu. Aku mengerang karena tubuhku yang tertekuk tapi hanya dengusan saja yang bisa keluar dari mulutku.

“Jangan terlalu banyak gerak ya Mila, ntar bisa jatuh dari ranjang lho. Mungkin sekarang terasa agak sakit tapi lama-lama bisa terasa nikmat kok. Ok dech, aku tinggal meeting dulu ya.” Kata Vivi beberapa saat kemudian, setelah dia selesai berdandan dan berganti baju.

Silvi mendekatiku dan menyalakan dildo di vaginaku sehingga membuatku terlonjak dan menggelepar-gelepar. Posisi ikatanku membuat tubuhku tidak bisa banyak bergerak. Terdengar tawa Silvi melihat reaksi tubuhku saat dildo dinyalakan.

“Berharap saja baterainya cepat habis Mil. Aku tinggal dulu ya.”

Silvi keluar meninggalkan kamarnya tak lupa tanda Do Not Disturb sudah digantungnya pada gantungan pintu di luar sejak tadi kami datang. Sudah tidak aku perdulikan suara Silvi, terlalu sibuk merasakan dildo yang bergetar di lubang kenikmatanku. Aku berusaha mengeluarkan dildo itu dari vagina, tapi hanya sia-sia saja. Aku cuma pasrah saja dan berharap batu baterai dildo bisa cepat habis dayanya. Aku menarik napas panjang, sedikit sulit karena hidungku yang tertutup scarf.

“Kirain aku bisa nyantai menikmati tinggal di hotel bagus sambil nunggu Mbak Vivi pulang meeting, ternyata malah disiksa lagi.” gumamku sambil terus merasakan kenikmatan dan siksaan yang sekarang aku alami.

Sore itu sekitar jam 4.00 petugas room maid yang bernama Maya yang tadi pagi membersihkan kamar, datang lagi tidak lama kemudian menyusul Silvi yang kebetulan ke kamar disela-sela break di meetingnya.

Silvi terkejut melihat pintu kamarnya agak terbuka

“Lho kamu,.... ngapain di sini?” sapa Silvi

“Ini... bu, mau mengecek towel dan minibar.....” jawabMaya dengan sedikit gugup

“Lho, kamu nggak lihat yaa.... khan saya pasang Do Not Disturb...., kamu melanggar kode etik perhotelan, kamu saya hukum yach... mau pilih mana, aku komplain ke manajemen atau aku hukum...?” ancam Silvi

Sayup sayup terdengar nada marah di kamar itu rupanya Mbak Vivi sedang berada di kamar

“Jangan bu,...jangan laporkan ke manajemen bu.....” Maya memohon dengan sangat.

Dengan gerak cepat, mulut Maya disumpal lakban lalu kedua tangannya diikat erat kebelakang, Maya didudukkan di kursi tamu, dan kakinya pun diikat jadi satu, mata Maya pun ditutup dengan scarf.

“Sementara ini kamu menjadi tawanan saya, nanti akan kuberi kenikmatan setelah aku selesai meeting” ujar Silvi. Mayapun terikat hogtied karena ikatan di tangannya terhubung sangat pendek dengan kakinya di baringkan di sofa di lantai bawah

Demikian Silvi kembali ke ruang rapat di lantai 2 hotel itu dengan meninggalkan 2 perempuan terkapar terikat tak berdaya di kamar tidurnya

Aku membuka mataku. Hanya warna hijau yang nampak di mataku. Ternyata karena terlalu lelahnya aku tertidur dalam posisi hogtied. Vibrator di vaginaku sudah berhenti bergetar. Entah berapa lama aku tertidur dan berapa lama vibrator itu begetar di lubang kenikmatanku. Tangan dan kakiku terasa tegang, sedikit sakit.

Aku juga harus sedikit berusaha bernafas karena scarf yang menutupi hidungku. Bau harum masih kurasakan melalui scarf itu. Aku menggerak-gerakkan tangan dan kakiku, berusaha melepaskan diri. Bukannya aku tidak suka diikat, tapi posisi ini sungguh menyiksaku apalagi dilakukan dalam waktu yang tidak sebentar.

Kelihatannya usahaku ini hanya sia-sia saja karena ikatan di tangan dan kakiku tidak mengendur sama sekali. Aku hanya bisa merubah posisiku yang tadi tengkurap menjadi tidur menyamping. Iseng-iseng aku berteriak, membayangkan adegan aku ditawan, ternyata hanya lenguhan saja yang keluar dari mulutku. Aku masih iseng-iseng mencoba melepaskan diri, harapanku paling tidak ikatan yang menyatukan tangan dan kakiku bisa lepas jadi rada lega. Aku hanya bisa menerka-nerka diluar sana sudah malam atau masih siang atau sore. Agak lama aku asyik meronta-ronta berusaha melepaskan diri ketika aku mendengar pintu di bawah dibuka.

“Akhirnya datang juga.” Kataku dalam hati.

Aku lalu diam saja tidak meronta-ronta lagi.

“Eh, sayangku nakal ya. Tadi kan aku tinggal posisinya nggak begini.” Terdengar suara Vivi.

Dia mendekatiku dan tiba-tiba aku rasakan telapak kakiku digelitiknya. Kontan aku meronta-ronta berusaha menjauh darinya sambil berteriak-teriak tertahan. Silvi makin bersemangat menggelitikku, sekarang dia naik ke kakiku dan kemudian pinggangku. Rasa geliku yang aku rasakan makin menjadi sampai puncaknya gak terasa aku pipis di celana.

“Lho??? Kok terus pipis???” Hahahaha!!!” Kata Vivi melihat celana dalamku yang basah. Dia menghentikan gelitikannya karena tertawa melihatku ngompol.

Dia kemudian melepaskan ikatan yang menyatukan tangan dan kakiku. Semua scarf belum dilepaskannya dari kepalaku. Kemudian dia sibuk membuka-buka lemari, mencari sesuatu.

“Wah, gak ada cadangan sprei sama selimut nich. Kamu sich pake ngompol segala, jadi kamu harus dihukum.”

Silvi kemudian menyuruhku berdiri dari tempat tidur, kakiku masih terikat rapat. Dia kemudian menjauh dari aku dan menyuruhku untuk mendekatinya.

“Ayo kesini. Loncat-loncat gitu.”

Aku diam sejenak lalu mulai meloncat-loncat seperti yang diperintahkannya. Menurut perkiraanku aku ada di depan TV.

“Sekarang kamu duduk.”

Kuturuti perintahnya. Lalu aku mendengar suara pintu lemari di bawah TV dibuka. Kalau tidak salah lemari itu ukurannya satu meteran gitu. Tingginya juga kira-kira segitu. Aku merasakan Silvi mengangkat tubuhku sambil mendorong-dorong, berusaha memasukkanku ke dalam lemari. Aku berusaha melawan sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Aku takut berada di ruang sempit.

“Sudah tho, jangan melawan. Ini akibat dari kesalahanmu.” Kata Silvi sambil terus mendorongku yang sudah separuhnya masuk kedalam lemari.

“Siapa yang salah? Orang kebelet pipis malah digelitikin.” Kataku dalam hati. Akhirnya aku pasrah saja digituin, lagian saat ini kan dia majikanku.

Kudengar lemari ditutup dan sekarang makin pengap rasanya suasana di sekelilingku.

“Oya, kurang satu hal lagi.” Kata Silvi lagi sambil membuka pintu lemari. Diraihnya kotak pengatur vibrator yang masih menancap di selangkanganku dan mengganti baterainya.

“Pokoknya harus kamu tahan lho, gak boleh ketauan kalo kamu ada didalam lemari. Aku lagi manggil house keeping untuk mengganti sprei sama selimutnya. Kalo sampe ketauan, kamu akan kupermalukan lagi.”

Sekali lagi kudengar suara pintu lemari ditutup. Posisi badanku sekarang ini tidak lebih enak dibanding posisi hogtied tadi. Kakiku tertekuk dan kepalaku menyentuh lutut. Belum lagi vibrator yang kembali beroperasi dan parahnya lagi aku harus menahannya rasa nikmat yang aku rasakan.

Silvi kembali ke ruang tamu di kamarnya, dilihatnya Maya room maid yang tadi disekapnya masih terikat tak berdaya,..

“Maya,... bangun, sini aku lepaskan ikatanmu,... tolong ganti sprei ini,... dan kamu boleh bebas setelah mengganti spreiku” perintah Silvi sambil melepaskan tali-tali yang mengikat Maya.

“mmmmppphhhh......” erang Maya yang terbangun

Maya bangun dan berdiri usai semua ikatan di tangan dan kakinya dilepas... sambil sesekali memegang pergelangan tangannya yang berbekas tali,.... Maya bergegas mengambil sprei baru dari trolley housekeepingnya yang tertinggal di depan kamar saat dia disekap Silvi.

Aku mendengar langkah manusia, kelihatannya housekeeping yang sedang mengganti sprei. Aku makin berusaha untuk diam, tidak menggerakkan tubuhku sama sekali. Kudengar suara dengungan vibrator karena terkurung dalam lemari kecil ini.

Kudengar suara lemari dibuka. Silvi menarik tubuhku keluar dan dibiarkannya tubuhku yang masih lemas terjatuh di atas karpet. Energi tubuhku benar-benar terkuras habis. Dalam posisi telungkup aku merasakan ikatan di kaki dan tanganku dilepaskan oleh Silvi. Aku hanya pasrah saja. Didiamkannya aku beberapa saat, masih dalam keadaan kepala terbungkus scarf. Aku juga rasanya tidak punya tenaga untuk mengurai atau melepas simpul-simpul di kepalaku ini.

“Ayo bangun pemalas! Pindah ke ranjang lagi.” Kudengar lagi suara Silvi membuyarkan lamunanku.
Aku berdiri dengan malas, masih sedikit lemas badanku. Kupegangi pergelangan tanganku kurasakan ada bekas ikatan di pergelangan ini. Aku naik ke atas tempat tidur lalu duduk di atasnya.

“Tidur telentang aja.”

Aku merubah posisi tubuhku, mengikuti perintah Silvi. Tiba-tiba kurasakan kakinya dinaikkan, ditarik mendekati tanganku yang tadi juga ditarik oleh Silvi. Diikatnya tangan kiriku jadi satu dengan kaki kiriku. Hal yang sama juga dilakukan dengan tangan dan kaki kananku. Aku membayangkan posisiku saat ini sepertinya otomatis mengangkangkan kaki, memperlihatkan vagina yang terbuka lebar.

“Wah, posisi yang bagus. Badan kamu walau kecil tapi proporsional jadi diapa-apain mudah.”

Kemudian aku merasakan badanku digeser-geser oleh Silvi sehingga tepat bagian vaginaku berada di ujung tempat tidur dan dia mulai mejilati vaginaku dengan ganas setelah sebelumnya dia menarik celana dalam yang kupakai sampai robek dan melepaskan vibratornya. Sekali lagi aku hanya pasrah menerima entah apa namanya, kenikmatan atau siksaan. Selangkanganku rasanya sudah mati rasa karena dari pagi entah berapa kali aku sudah ‘dapet’. Aku nikmati saja perlakuan Silvi sekarang ini, kadang aku sengaja berteriak-teriak melalui sumpalan scarf di mulutku supaya Silvi tambah bersemangat. Kan sebagai seorang ‘professional’ aku harus menyenangkan atau memuaskan klien kan?

Tidak tahu berapa lama Silvi menjilatiku lalu aku tidak merasakan lagi jilatan di vaginaku. Aku hanya mendengar desahan Silvi dan suara dengungan. Ternyata Silvi sedang memuaskan dirinya sendiri. Dan sekali lagi aku terlelap kelelahan.

Aku terbangun dan masih seperti tadi scarf masih membungkus kepalaku. Hanya saja sekarang tangan dan kakiku sudah dilepaskan dari ikatan. Diam beberapa saat kemudian aku mulai melepas satu demi satu scarf yang melekat di kepalaku. Aku melihat sekelilingku, hanya cahaya dari lampu kecil di samping tempat tidur yang menyala. Entah memang hari sudah gelap atau karena korden jendela yang sudah diturunkan yang menahan cahaya masuk ke kamar. Jam 8.40 malam? Aku melirik ke jam digital disisi tempat tidur, aku bangun, melangkah ke arah balkon untuk mengintip suasana diluar, ternyata memang sudah malam. Aku kemudian duduk di sofa samping tempat tidur, mencari-cari apa saja yang bisa dipakai untuk menutupi tubuhku ternyata tidak kutemukan sama sekali. Aku mau kembenan memakai selimut rasanya terlalu besar dan berat. Hanya kulihat celana dalamku yang sudah berubah menjadi secarik kain karena sudah sobek di depan televisi. Aku duduk melamun di sofa, masih kurasakan selangkanganku terasa agak panas.

“Sudah selesai belum ya siksaannya? Besok aku baru dilepasin dia.” Pikirku.

Di bawah aku mendengar suara televisi yang menyala. Perutku terasa lapar tapi malas untuk turun ke bawah, takut ‘dikerjain’ lagi. Ternyata saat ini sudah mendekati pukul sembilan malam, berarti aku hampir dua belas jam tidak kemasukan makanan ataupun minuman, pantas saja badanku terasa lemas.

Kudengar pintu dibawah dibuka lalu aku mendengar suara beberapa wanita yang berbicara satu sama lain. Sepertinya aku kenal suara itu. Iya betul, itu suara Diah dan Susan. Beberapa saat mereka terdengar asyik mengobrol lalu kudengar langkah-langkah menaiki tangga dan kemudian lampu besar kamar menyala.

“Halo Sari, lagi ngapain kok bengong aja disitu?” Sapa Susan.

Aku hanya tersenyum, sedikit malu rasanya karena hanya aku yang telanjang di kamar ini sedangkan lainnya masih berpakaian lengkap.

“Makan yuk Sar.” Kata Silvi kemudian.  
“Pasti kamu lapar dan haus kan?”

Aku menganggukkan kepala. “Tapi aku makan pake apa? Aku malu nich telanjang sendirian.”

“Gitu aja gak papa kok. Kan abis kamu makan bisa langsung kita makan. Lagipula makan kan perlu sendok dan mulut, mana perlu baju...” canda Diah yang diikuti tawa lainnya.

Aku ikut tertawa lalu mengikuti mereka menuruni tangga. Di meja makan sudah tersedia banyak lauk yang langsung aku coba semuanya. Aku benar-benar kelaparan.

“Pelan-pelan aja Bu, kalo kurang ntar aku pesenin lagi.” Kata Silvi yang melihatku makan dengan kesetanan.

“Laper banget nich.” Jawabku.

“Mbak Vi sich, dipake terus tapi gak dikasih makan.” Kata Susan.

Selesai makan aku pamit untuk mandi, membersihkan diri. Memang benar berendam di air hangat membuat badan dan pikiran menjadi relaks seperti yang aku rasakan saat ini.

“Kayaknya masih ada acara lagi malem ini dan keliatannya bisa lebih gila dari semalem dan tadi pagi.” kataku setengah harap dalam hati sebelum membuka pintu kamar mandi.

Kubuka pintu kamar mandi dan kulihat Silvi, Diah dan Susan sedang ngobrol di ruang tidur. Diah duduk di lantai sambil melihat televisi dengan tangan terikat kebelakang, sedangkan Susan dan Silvi duduk di sofa. Pintu balkon terbuka sehingga angin segar yang dingin masuk ke ruang tidur. Ketiganya hanya mengenakan lingerie, Susan memakai lingerie warna putih, Diah memakai warna hitam dan Silvi memakai lingerie transparan berwarna merah maroon.

“Sudah seger Tuan Putri?” canda Silvi.

Aku hanya tersenyum. Aku hanya memakai kemben dari handuk karena tidak ada yang lainnya untuk menutupi tubuhku. Kelihatannya semua baju-baju sengaja disembunyikan Silvi entah dimana.

“Duduk sini dong. Ngobrol-ngobrol bareng kita.”

“Ntar, rambutku abis keramas jadi masih basah.”

“Lah, kenapa mandi besar? Kan habis ini kita masih….....” canda Diah sambil mengerlingkan mata kepada Silvi. Keduanya lalu tersenyum.

“Benar dugaanku. Apa lagi nich habis ini?” Kataku dalam hati.

Aku mendekat ke arah pintu balkon sambil mengibas-ngibaskan rambut mengeringkannya. Sekelebat aku melihat sebuah benda terbuat dari besi mengkilap, bentuknya seperti tongkat ada di atas karpet. Ada juga beberapa batang lilin didekatnya.

“Bagi rokoknya ya. Seharian belum kena rokok nich.” Kataku sambil mengambil rokok di hadapan Silvi. Oya, belum aku kasih tau ya kalau aku merokok? Awalnya biar disebut anak gaul, lama-lama aku malah jadi perokok beneran, hehehe.

Aku menyalakan rokok dan kembali berdiri di depan pintu balkon, merasakan angin sepoi-sepoi yang berhembus. Kulihat Susan memandangiku, entah apa yang ada di benaknya.

“Mil, ngapain sich berdiri terus disitu. Duduk sini dong.” Kata Silvi.

“Apa Mbak?” Jawabku sambil melangkah mendekat, lalu duduk di atas karpet di dekat Silvi.

“Gimana kesan sehari semalam bersamaku?” Tanya Silvi sambil membelai-belai rambutku.

“Hehehe, no comment dech.” Jawabku bercanda.

Kurasakan belaian Silvi mulai turun ke pundakku. Dipijatnya pundakku beberapa saat, enak banget rasanya. Kemudian dia mulai melepas handuk yang kupakai, mulai meraba-raba buah dadaku. Aku diam saja menikmati, lama kelamaan makin nikmat rasanya. Diah dan Susan hanya melihat dari tempat mereka duduk. Mataku terpejam merasakan kenikmatan itu. Badanku mulai pasrah lagi ketika tiba-tiba aku merasakan tanganku ditarik ke belakang dan merasakan ada tali yang mengikatnya menjadi satu. Aku membuka mata dan kulihat ternyata Susan yang mengikat tanganku. Kemudian ballgag dimasukkan dan menyumbat mulutku. Aku dibaringkan di atas karpet dan tanganku diikatkan dengan satu tali lagi di tiang besi kaki tempat tidur. Aku merasakan buah dadaku dikulum entah oleh siapa karena aku memejamkan mataku kembali. Aku membuka mataku kembali ketika merasakan ada sesuatu dipasangkan di kakiku. Kulihat Susan sibuk memasang besi yang tadi kulihat itu di kakiku. Besi tadi pada ujung-ujungnya ada bahan kulit yang diikatkan ke masing-masing kakiku dan setelah terpasang erat membuat kakiku tidak bisa dirapatkan. Mirip dengan leg chain hanya saja rantainya diganti dengan bilah besi.

Yang membuatku sekarang membelalakkan mata adalah ketika kulihat Silvi mulai menyalakan lilin yang ada di tangannya. Sepertinya aku tahu ke arah mana permainan ini. Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil berusaha melepaskan diri dari ikatan. Aku pernah mencoba meneteskan lilin di tubuhku tapi saat itu bukan kenikmatan yang aku peroleh tapi malah rasa panas. Silvi hanya tersenyum dan berjalan mendekatiku.
“San, lakbannya sudah disiapin kan? Kalo teriakannya terlalu keras mulutnya dilakban aja, kalau nggak sekalian ditutup aja pake bantal.” Kata Silvi sambil tersenyum kepadaku.

Tiba-tiba kurasakan ada sesuatu yang panas menetes di kakiku, di daerah tulang keringku. Aku berteriak, terkejut dan kesakitan. Belum hilang rasa itu aku merasakan lagi panas bersarang di pahaku. Aku meraung-raung kesakitan. Suara yang kukeluarkan kayaknya agak keras karena setelah itu Susan menutup mulutku dengan lakban berkali-kali sehingga mulutku benar-benar tertutup, mmmppphhhh........!!! hanya dengusan dari hidungku yang terdengar. Setelah itu Silvi dengan kejamnya menetesi seluruh tubuhku, perut, dada, putingku, lengan. Aku menahan rasa panas itu dengan berteriak-teriak tanpa suara, hanya dengusan di hidungku yang terdengar makin keras. Tidak terasa air mataku menetes dan hidungku penuh dengan ingus karenanya. Puncaknya ketika tetesan lilin bersarang di vaginaku. Benar-benar rasa panas dan sakit yang belum pernah aku rasakan! Aku menggelepar-gelepar dan berteriak sejadi-jadinya. Samar-samar kulihat ada kesan puas di wajah Silvi, Susan dan Diah melihatku seperti ini. Mereka lalu mulai membersihkan lilin yang mengering di tubuhku sambil menjilati kulitku yang terkena tetesan itu. Ada rasa sejuk setiap kali lidah mereka mengenai kulitku yang tadi terasa terbakar. Dan jujur saja walau rasa sakit itu tadi membuatku sampai menangis, aku malah menjadi terangsang. Ada rasa nikmat dibalik rasa sakit.

Tubuhku sekarang benar-benar bersih dari bekas tetesan lilin. Demikian juga dengan besi yang menahan kakiku. Ketiga orang temanku ini masih sibuk menjilati tubuhku. Rasa sakit sekarang berganti menjadi rasa nikmat. Diah yang masih terikat tangannya sekarang menjilati vaginaku dengan penuh perasaan. Susan membuka ikatan tali yang mengikatku di kaki ranjang.

“Karena kamu bintang malam ini, kamu pindah ke atas tempat tidur.” Katanya kemudian.

Dengan tanganku masih terikat ke belakang aku naik ke atas ranjang, tiduran telentang. Susan menyusulku kemudian mulai lagi menjilati tubuhku. Ternyata pasanganku malam ini adalah Susan karena kemudian kulihat Diah dan Silvi sudah bergumul di atas karpet. Sudah tidak ada kain penutup yang melekat di tubuh kita saat ini. Susan menjilati dan meraba seluruh tubuhku terutama bagian tubuhku yang membuatku merasa geli seperti di ketiak, putting, pinggang dan telapak kaki. Lalu Susan turun dari tempat tidur, mengambil sesuatu dari tasnya. Bentuknya seperti alat kelamin lelaki hanya saja ada sabuk di sekitarnya. Kulihat ke arah Diah dan Silvi, mereka ternyata sedang melakukan gaya 69, dengan Diah yang masih dalam keadaan terikat sambil terus mendesah-desah mereka memuaskan satu sama lain. Aku lihat lagi ke arah Susan yang sedang mengencangkan sabuk yang menyatu dengan penis buatan itu. Setelah benar-benar terpasang kulihat di selangkangan Susan ada penis berwarna hitam yang kemudian dimasukkannya ke vaginaku, nafasku tambah memburu karenanya. Saat ini aku dan Susan seperti sepasang pria dan wanita yang melakukan hubungan seks. Susan sebagai pria dan aku wanitanya. Ditusukkannya penis palsu itu ke vaginaku kemudian digoyangnya pinggangnya, membuatku megap-megap. Sejujurnya aku tidak pernah merasakan penis lelaki, karena kini keperawananku hilang oleh sebuah penis palsu. Walaupun penis yang menancap di selangkanganku saat ini bukan penis asli, tapi rasanya berbeda dengan vibrator yang sudah menyiksaku berkali-kali. Entah berapa kali malam ini aku ‘dapet’ karena Susan dengan semangat memompa terus penisnya masuk kedalam vaginaku. Makin aku menggelinjang, makin dia bersemangat menggerakkan pinggangnya maju mundur. Akhirnya dia sepertinya kelelahan dan ambruk di sebelahku.

“Puas Non?” Bisiknya di telingaku.

Aku hanya memandang matanya, pandangan mengatakan iya.

Aku terbaring lemas tapi masih kudengar suara desahan dari mulut Diah dan Silvi yang makin lama makin keras lalu kemudian tiba-tiba senyap. Keduanya sudah mencapai puncak, entah untuk keberapa kalinya, karena mereka memuaskan satu sama lain dengan bantuan vibrator. Tidak ada suara yang terdengar beberapa saat, kayaknya tenaganya sudah pada habis.

“Yuk, dibungkus!” Seru Silvi tiba-tiba.

Susan bangkit dari sebelahku, demikian juga Diah dengan tangan yang masih terikat kebelakang.
Kulihat Silvi melembarkan selimut yang ukurannya cukup lebar di karpet.

“Ayo Mila, sini.” Katanya kemudian.

Aku tau apa yang berikutnya akan dilakukan. Masih dengan tangan terikat dan mulut tertutup ballgag dan lakban aku turun dari ranjang dan duduk di atas selimut yang sudah dilembarkan itu. Kakiku diikat jadi satu kemudian aku disuruh tiduran di atas selimut itu. Aku merasakan selimut mulai menutupi seluruh tubuhku, lama-lama terasa makin tebal karena gulungan yang dilakukan. Kencang sekali rasanya gulungan selimut ini, lebih kencang daripada pengalaman pertamaku bersama Diah, Susan dan Novi. Walaupun sebenarnya aku tidak bisa lepas dari gulungan selimut ini namun kemudian aku merasakan ada tali yang melingkar di sekujur tubuhku, menambah erat gulungan.

“Mila, bisa bernapas gak?”

Aku hanya menggerak-gerakkan badanku, berusaha memberi isyarat jawaban ‘Iya’.

“Baiklah kalo begitu. Met bobo ya…”

Sebenarnya aku agak kesulitan bernafas, harus dengan sedikit usaha. Tapi karena aku senang diperlakukan seperti ini maka aku menjawab iya.

Tak lama kemudian tidak terdengar lagi suara. Selamat tidur Mbak Vivi. Selamat tidur Diah. Selamat tidur Susan.

CHECK OUT

Pagi hari aku terbangun saat ikatan-ikatan di tubuhku dan selimut yang menggulungku semalam dilepaskan. Lega sekarang nafasku.

“Apa nafasmu nggak sesak Mil?” Tanya Silvi.

“Nggak Mbak. Dinikmati aja.” Jawabku agak bercanda.

“Sana mandi, teman-temanmu sudah pada di bawah, sedang sarapan.”

Kita berempat makan pagi di meja makan. Semua makan dengan lahap, kelihatannya semuanya kehabisan tenaga. Selesai makan kita pindah ke ruang tamu.

“Mbak langsung balik Jakarta?” Tanya Diah.

“Iya dong. Nanti naik flight jam 3. Mau ikut?”

“Nggak lah. Lagian aku gak kuat ngelayani Mbak Vivi. Ajak aja Mila tuch, dia kan kuat.”

Aku hanya tersenyum. Semua sudah berpakaian lengkap, bersiap untuk check out dari hotel. Waktu menunjukkan pukul sebelas lebih.

“Mil, kesini sebentar.” Kata Silvi sambil melangkah ke ruang sebelah.

Aku mengikuti langkah-langkahnya.

“Ini buat jajan ya. Makasih buat semuanya ya.” Kata Silvi sambil memberikan sebuah amplop lumayan tebal kepadaku.

“Makasih juga buat semuanya Mbak. Benar-benar pengalaman yang luar biasa.”

“Besok lagi kalau aku ke Jogja aku pasti call kamu, ta suruh nemeni lagi. Mau kan?”

”Iya Mbak, tentu saja.”

“Nanti semua video tentang apa yang sudah kamu lakukan aku kirimin ke alamatmu aja ya? Atau alamat Diah aja?”

“Video apa?”

“Ya semuanya, dari Jumat malam sampe semalem. Aku kan abadikan semua pake handphone. Gak sampe mendetail sich…”

“Terserah Mbak Vivi aja.”

Aku agak terkejut. Berarti tubuhku yang telanjang dan terikat itu direkam oleh Mbak Vivi.

“Jangan disebarin lho Mbak.”

“Tenang aja, itu semua buat koleksi pribadi. Aku juga punya adegan Diah, Susan ataupun Novi kok.” Jawabnya sambil tersenyum.

Jam dua belas kurang sedikit kita berempat keluar dari hotel dan berpisah. Taxi yang dinaiki Silvi langsung menuju airport sedangkan taxi yang kutumpangi bersama Diah dan Susan menuju ke rumah Diah. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulakukan sambil tanganku mengelus-elus pergelangan tangan bekas ikatan,.. aku tidak percaya ternyata aku menjadi seorang pemuas nafsu wanita. Tapi biarlah, hidup hanya sekali kan?

==oo0oo==