Tampilkan postingan dengan label maledom. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label maledom. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 Mei 2013

Kisah Perbudakan Ratih


Belakangan ini Surya mulai mencurigai ada yang tidak beres dengan istrinya, Ratih. Sudah sebulan ini dia selalu menolak setiap kali diajak bersetubuh. Berbagai alasan dikemukakan Ratih, mulai dari capek, sedang datang bulan, hingga sedang tidak bernafsu.

Pernah beberapa kali setelah melalui sedikit perdebatan, Ratih bersedia melayaninya. Namun hubungan itu berlangsung dengan dingin. Dia tidak mengimbangi setiap gerakannya, melainkan hanya membiarkan saja Surya menggerayangi tubuhnya tanpa melakukan gerakan balasan. Bahkan sempat-sempatnya Ratih menguap beberapa kali ketika itu. Bila sudah begini maka gairah Surya pun langsung lenyap, dan akhirnya dia tertidur dalam kekecewaan.

Pagi ini setelah tiba di kantor, dia meminjam mobil stafnya, dan kembali ke rumah sambil membawa videocam yang sudah disimpannya beberapa lama ini di lemari kantornya. Dia ingin mengamati apa saja yang dilakukan istrinya sepanjang hari, sehingga begitu capek untuk melayaninya di malam hari.

Di depan rumah dia menjalankan mobilnya dengan sangat lambat agar dapat memperhatikan. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kesibukan. Pintu pagar tertutup dan halaman tampak kosong. Diarahkannya mobil ke sebuah taman yang berada sekitar 50 m dari rumahnya. Disana tampak parkir sebuah kijang kosong yang belum pernah dilihatnya. Jelas bukan milik warga sekitar.

Dilewatinya mobil itu mengelilingi taman, lalu memarkirkannya di sisi lain. Diraihnya tas jinjing berisi videocam yang tergeletak di jok di samping. Setelah mengunci pintu, dia beranjak menuju ke rumah. Dengan hati-hati dibukanya pintu samping pekarangan, lalu masuk sambil mengendap-endap. Dia segera menyusuri celah antara dinding samping rumah dengan tembok pemisah ke rumah tetangga. Tiba di belakang, langkahnya makin hati-hati, bahkan dia melepaskan sepatunya agar tidak menimbulkan bunyi.

Tiba-tiba dia terkesiap kaget. Dia mendengar istrinya bersuara manja.
"Cepetan dong, Ton! Kamu tega deh, dicabut-cabut melulu!" Suara itu begitu mesra dan menggemaskan.

Jantungnya berdetak dengan cepat dan wajahnya langsung merah membara. Beribu pertanyaan memenuhi kepalanya.

"Ton? Siapa si Ton itu? Sedang apa mereka?"

Surya segera mendekatkan dirinya ke dinding di bawah jendela kamarnya.

"Sabar, dong, manis..! Kalau cepat-cepat nanti tidak puas, he, he, he.." terdengar suara lelaki menyahuti istrinya.

"Tidak salah lagi! Pasti! Pasti mereka sedang melakukannya. Kurang ajar!" ujar Surya di dalam batin.

Dia segera menyiapkan videocamnya dengan tergesa-gesa, takut kehilangan bukti. Diamatinya kondisi jendela mencari posisi teraman untuk mengintip kejadian di dalam. Surya kemudian berdiri di samping jendela, lalu mengintip ke dalam melalui videocamnya. Darahnya terasa mendidih melihat istrinya sedang ditindih dalam oleh seorang pria, keduanya telanjang bulat. Segera ditekannya tombol record. Pria itu kini sedang menyodok-nyodokkan penisnya ke dalam vagina istrinya sambil mulutnya menghisap puting susu sebelah kanan, sementara tangannya mempermainkan puting susu yang sebelahnya.

Darah Surya serasa sudah sampai di ubun-ubun. Seluruh tubuhnya bergetar menahan marah. Tanpa sengaja gagang videocam itu membentur kaca jendela, menimbulkan bunyi yang cukup keras. Surya kaget dan segera menarik viodeocam-nya. Namun ternyata bunyi tadi itu pun telah cukup untuk mengagetkan juga kedua orang yang diintainya itu. Mereka segera mengarahkan pandangan ke jendela. Terdengar suara istrinya berteriak, "Siapa?"

Setelah mematikan perekam, Surya meletakkannya dengan hati-hati di lantai. Merasa telah terbongkar pengintaiannya, disertai dorongan amarah yang telah dipendamnya sejak tadi, Surya menampakkan diri di jendela.

"Aku..! Kurrang ajar..!" bentak Surya.

Kedua orang itu kaget bukan kepalang dan langsung bangkit kalang-kabut. Istrinya segera menyilangkan tangan di depan dadanya sambil merapatkan paha mencoba menutupi ketelanjangannya. Sementara itu si lelaki telah langsung menyambar dan mengenakan celananya lalu sambil berusahan memakai kemejanya sambil berlari tergesa-gesa.

Surya berteriak menyuruh berhenti sambil memaki-maki, namun tidak diperdulikannya. Surya berusaha menyusul melalui gang samping yang dilaluinya tadi. Mereka tiba di pekarangan depan hampir bersamaan. Lelaki itu mendadak berputar dan melayangkan sebuah bogem mentah ke wajah Surya yang langsung kena secara telak, karena tidak menduganya. Lelaki itu melayangkan tinjunya sekali lagi, sehingga Surya terhuyung roboh. Melihat itu, dia berbalik dan segera melanjutkan larinya meninggalkan rumah.

Surya berusaha bangkit, namun gerakannya terlalu lambat. Ketika dia mencapai pintu gerbang, ternyata pria itu telah berada di dalam mobilnya. Segera terdengar deru mesin, dan baru beberapa langkah yang sempat dilakukan Surya, mobil itu sudah kabur meninggalkan taman. Surya menghempaskan tangan dengan kesal. Kemudian dia bergegas kembali ke dalam rumah.

Begitu memauki kamar, Ratih yang belum sempat mengenakan pakaian luar segera menjatuhkan diri berlutut menyembahnya sambil menangis terisak-isak memohon ampun. Surya menghampiri dengan cepat, dan, "PAR..! PAR..!" telapak tangan Surya mendarat keras di wajah Ratih yang secara reflek segera mengangkat kedua tangan menutupi wajahnya. Tangisnya kian menjadi-jadi. Namun Surya tidak memberi ampun. Dijambaknya rambut Ratih sambil melontarkan makian.

"Lonte kamu! Kurang ajar! PAR..!" kembali Surya mengayunkan tangannya.

"Amm.. puun.., Mas.., ampuunn..!" 

"Ternyata benar dugaanku selama ini! Pantas saja kamu selalu menolakku, rupanya sepeninggalku kamu melonte! Berapa kau dibayarnya, Lonte..?"

Ratih tidak mampu menjawab apapun. Dia hanya terus menangis dan meratap meminta pengampunan dari suaminya. Surya tidak perduli dan terus mengumbar kemarahannya. Direngutnya BH Ratih hingga tali bahunya putus dan kaitan di belakangnya robek, kemudian dicampakkannya ke lantai. Dijambaknya rambut Ratih dengan keras, sehingga dia terpaksa berdiri. Tangannya segera menyambar celana dalam Ratih dan menurunkannya dengan paksa.

"Munafik kamu! Buat apa kamu pakai pakaian? Toh kamu membiarkan lelaki lain melihatmu telanjang. Ayo keluar, sekalian saja biar semua orang melihatmu telanjang..!" 

"Ampuun Mas, ampun..! Jangan, Mas..! Ampuni saya, Aduh! Ampunn..!" 

Surya menyeret Ratih pada rambutnya ke arah pintu. Ratih menjerit kesakitan, dan memegang tangan Surya yang mencengkeram rambutnya.

"Ayo!" paksa Surya.

Ratih terus menahan tarikannya. Surya makin tidak sabar dan mengayunkan kakinya. Tendangannya telak mengenai perut Ratih. Ratih mengaduh memegangi perutnya dengan sempoyongan. Melihat itu Surya melepaskan jambakannya. Pandangan Ratih berkunang-kunang lalu roboh di lantai. Surya hanya melotot membiarkannya. Diamatinya wanita itu untuk melihat perkembangannya. Ternyata Ratih tidak pingsan. Dia hanya megap-megap meringkuk di lantai mendekap perutnya.

"Lonte! Kamu harus menerima pembalasan yang sesuai untuk kebejatanmu ini!" lanjut Surya sambil berkacak pinggang di hadapannya. Suaranya sudah tidak sekeras tadi, namun penuh ancaman.

"Ampu.. ni.. sa.. ya, Mas..!" kata Ratih terbata-bata.

"Saya to.. bat, sung.. guh.., ampun, Mas..!" 

"Tobat? Ampun..? Kamu pikir segampang itu?" 

"Hukum saya, Mas, apa saja! Akan saya terima..!" 

"Tentu, kamu memang harus dihukum!" 

Surya diam sejenak. Keningnya berkerut, lalu lanjutnya, "Hukumanmu harus sangat berat..! He, Lonte, kamu siap menerima hukumanmu?" 

"Iya, Mas. Saya mengaku salah! Saya siap dihukum apa saja!" sahut Ratih bersungguh-sungguh.

"Jadi kamu sudah mengaku salah, ya?" ulang Surya.

Mendadak dia teringat sesuatu.

"Hmm.., sebaiknya pengakuanmu ini kurekam, supaya ada bukti kalau kamu macam-macam lagi!" tandasnya sambil bergegas keluar menuju belakang dan kembali dengan membawa videocam.

"Baik, jadi kamu mengakui semua kesalahanmu?" 

Ratih mengangguk pelan.

"Jawab!" bentak Surya.

"I.. iya, Mas. Saya salah! Saya siap menerima hukumanmu!" 

"Hmm..! Sekarang ambil lipstik dan tuliskan di badanmu, LONTE!" perintah Surya.
Ratih terperanjat. Surya menatapnya dengan dingin. Ratih paham, bahwa hanya itulah cara untuk mendapatkan pengampunannya.

Maka dia beranjak ke meja rias, mengambil lipstik dan menuliskan kata LONTE di badannya, persis di bawah payudaranya. Sementara itu Surya telah menyalakan videocamnya dan merekam perbuatan Ratih. Setelah selesai, dimatikannya alat itu. Surya pergi ke brankas di sudut kamar dan segera kembali membawa sebuah kertas segel beserta pen dan disodorkan kepada Ratih. Tanpa pikir panjang maupun perdebatan, Ratih menulis semua kalimat yang didiktekan suaminya. Setelah Ratih selesai menandatangani surat itu, Surya menyalakan kembali alat perekamnya dan memerintahkan Ratih membacanya.

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini; 

Nama: Ratih Puspaningrum
Tempat/tgl. lahir: Cirebon, 15 Maret 1968
Untuk selanjutnya disebut sebagai pihak pertama, merupakan istri sah dari:
Nama: Surya Hadibrata
Tempat/tgl. lahir: Jogjakarta, 27 Juli 1966
Untuk selanjutnya disebut sebagai pihak kedua.

Saya sebagai pihak pertama mengakui secara sadar, bahwa telah mengkhianati kesucian perkawinan saya dengan pihak kedua dengan melakukan perbuatan serong bersama seorang laki-laki bernama ANTON BAGASPATI. Karenanya saya telah menjadikan diri saya lebih hina daripada pelacur, sebagaimana yang telah saya tuliskan sendiri di badan saya ini, LONTE.

Menyadari aib yang telah saya lakukan tersebut, saya ikhlas menerima segala hukuman yang akan dijatuhkan oleh pihak kedua tanpa keberatan apapun. Saya menyerahkan diri saya sepenuhnya, jiwa dan raga ke dalam kendali pihak kedua. Dengan demikian pihak kedua bebas melakukan segala sesuatu yang dianggapnya perlu terhadap saya, baik secara jasmani maupun rohani.

Segala perbuatan pihak kedua terhadap saya kelak tidak akan dapat dituntut baik secara hukum, agama, moral, maupun adat istiadat dan sebagainya oleh siapapun juga. Dengan ini juga saya mengijinkan pihak kedua menggunakan peralatan apapun dan juga mengijinkannya melibatkan siapa pun yang dinginkannya untuk membantu pihak kedua menjatuhkan hukuman terhadap saya. Pernyataan ini saya buat dalam keadaan sehat jasmani maupun rohani, serta atas kesadaran saya sendiri tanpa paksaan/tekanan dari pihak manapun. Karenanya memiliki kekuatan hukum yang tetap dan berlaku mulai sejak saat surat ini saya tandatangani.

Ditandatangani di Jakarta, tanggal 25 September 2001,
Pihak Pertama: Ratih Puspaningrum
Pihak Kedua: Surya Hadibrata

*****

Selama membacanya, sesekali Ratih berhenti untuk mengambil napas. Berulang-ulang dia menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya. Selesai membacakan surat pernyataan itu, atas perintah Surya dia mengacungkan surat tersebut di depan dadanya. Surya mengatur zoom agar dapat menangkap jelas tulisannya. Surya tersenyum puas. Dimatikannya videocam, dan diambil serta dilipatnya surat itu dengan rapih. Kemudian dia kembali ke brankas menyimpan surat beserta videocamnya.

Ratih kembali menangis terisak-isak menyesali perbuatannya. Dia mulai membayangkan hukuman apa gerangan yang kelak akan diterimanya. Dia bergidik ngeri mengingat kalimat yang dibacakannya tadi, terutama tentang akan dipergunakannya segala macam peralatan, cara, dan bahkan melibatkan pihak ketiga. Namun segalanya sudah terlanjur. Dia sudah memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya bagi Surya untuk melampiaskan kemarahannya. Ratih menyadari betapa dia telah menandatangani kematiannya secara perdata. Kini dia harus siap untuk memulai babak baru dalam kehidupannya.

"Saya harap kamu tidak melakukan kebodohan. Ingat, saya telah merekam semuanya. Jika kamu melanggar, maka rekaman itu akan saya sebarkan kepada semua keluarga dan kenalanmu. Bahkan mungkin akan saya sebarkan juga melalui internet!" ancam Surya mengingatkan, sekembalinya dari brankas.

Dia tidak mengacuhkan Ratih yang mengganggukkan kepala dengan cepat, takut kalau-kalau Surya segera melaksanakan ancamannya. Namun Surya tidak butuh anggukan Ratih. Dia sudah sangat yakin bahwa wanita itu tidak akan berani berbuat macam-macam.

Surya meninggalkan kamar, menuju ke ruang makan. Diambilnya gelas, dan setelah diisi dengan air dari dispenser, dibawanya ke ruang tamu. Surya duduk merenungkan semua kejadian tadi. Lalu dia teringat bahwa dia harus kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil stafnya. Disamping itu, dia merasa membutuhkan udara segar untuk menenangkan hatinya.

"Tapi bagaimana kalau saya tinggal? Macam-macam enggak dia nanti?" pikirnya mempertimbangkan resiko meninggalkan Ratih sendirian di rumah setelah kejadian ini.

"Ah.., mana dia berani!" Surya menyakinkan diri mengingat dia telah memiliki senjata ampuh untuk mengendalikannya, surat Pernyataan dan rekaman video tadi.

"Sebaiknya bukti tersebut kuamankan!" katanya pada diri sendiri.

Surya lalu kembali ke kamar. Ratih yang telah berpakaian lengkap segera menyongsong kehadirannya sambil berusaha tersenyum dan menyapa ramah. Surya mengacuhkan sambutannya. Dia langsung menuju brankas mengambil barang-barang berharga tadi. Lalu dia menekankan agar Ratih tidak meninggalkan rumah maupun melakukan perbuatan bodoh lainnya sepeninggalnya nanti. Ratih segera mengiyakan dengan penuh kesungguhan.

Meski agak ragu, Surya melangkah meninggalkan rumahnya. Setibanya di kantor, dia mengembalikan kunci mobil itu kepada Daru dan menyatakan bahwa masih ada urusan keluarga yang harus diselesaikannya hari ini. Surya meminta stafnya itu untuk menunda jadwal kegiatannya hari ini hingga Senin nanti. Setelah menyimpan surat Pernyataan beserta videocam di lemari kantornya, dia pergi kembali meluncur di jalan raya.

Dia berhenti dan memarkir kendaraannya di sebuah restoran. Sambil menikmati hidangan, Surya memikirkan langkah berikutnya. Dia tidak dapat memaafkan perbuatan istrinya. Semua kesalahan harus mendapatkan hukumannya. Ya.., Surya telah mengambil keputusan untuk memberikan hukuman yang tidak akan terlupakan. Teringat bahwa dia tidak memiliki perlengkapan apapun untuk melaksanakannya, dia segera menghabiskan hidangannya dan beranjak meninggalkan restoran itu.

Surya berputar-putar di jalan raya mencari tempat yang menyediakan barang-barang kebutuhannya. Akhirnya dia berhenti di depan sebuah toko material. Di sini dia membeli tambang yang diameternya kira-kira 1,5 cm sepanjang 10 meter. Dia belum tahu persis apa yang akan dilakukannya dengan tali sepanjang itu, yang penting beli dulu. Dibelinya juga seperangkat rantai anjing, 2 set gembok, 5 meter rantai yang agak tebal, dan beberapa sekrup yang ekornya melengkung berbentuk seperti tanda tanya.

Hari sudah malam ketika Surya kembali tiba di rumahnya. Ratih segera membukakan pintu menyambut kepulangannya. Surya menggapaikan tangan memanggilnya, dan memerintahkan dia untuk membawa masuk kantongan plastik berisi barang belanjaannya tadi. Ratih menurut dengan patuh.

"Makan dulu, Mas?" tanya Ratih setelah mereka tiba di dalam rumah.

Surya hanya mendengus dingin dan malah memerintahkan Ratih menanggalkan seluruh pakaiannya.

"Selama aku di rumah, kamu harus telanjang bulat, mengerti!" 

Takut akan membangkitkan kemarahannya, wanita itu segera melepaskan semua pakaian yang dikenakannya, juga BH dan celana dalam. Kemudian dia berdiri mematung di hadapan Surya. Melihat tidak ada perintah susulan, dia kembali mengulangi ajakannya.

"Saya sudah siapkan makanan kesukaan Mas. Kita makan yuk, aku sudah lapar."

"Kau saja. Aku sudah!" sahut Surya setelah menimbang-nimbang beberapa lama.

Bagaimanapun wanita itu harus makan. Kalau dia sampai sakit dan harus dirawat di rumah sakit, maka berarti penundaan atas rencana hukumannya. Ratih masih berusaha membujuk Surya agar bersedia memakan masakannya. Namun setelah Surya menunjukkan ketidaksukaannya, akhirnya Ratih menyerah. Dia beranjak ke meja makan, dan menarik bangkunya, namun Surya melarangnya.

"Jangan! Kamu tidak layak duduk di bangku. Mulai saat ini tempatmu di lantai. Ayo turun!"

"Aduh! Mati Aku! Hukuman sudah dimulai." Ratih membatin ketakutan.

Jantungnya berdebar kencang. Dia berusaha tidak mempercayai pendengarannya. Namun sorot mata Surya yang demikian dingin tanpa kompromi memaksanya untuk mempercayai kenyataan yang dihadapinya. Sambil menundukkan kepala, Ratih menuruti perintah Surya. Didorongnya lagi bangku itu. Lalu dia mengambil piring, namun lagi-lagi terdengar suara Surya.

"Kurang ajar! Beraninya kamu memakai piring saya?" Ratih menatapnya dengan heran.

"Semua barang di sini milik saya, mengerti? Kamu tidak boleh memakai apa pun milik saya! Pakai saja celana dalammu sebagai piring, kamu mengerti!"

Ratih masih terpaku tidak mengerti. Surya memungut benda yang disebutkannya tadi dari lantai dan melemparkannya ke dekat kaki Ratih.

"Cepat!" bentak Surya menyadarkannya.

Ratih menggeleng dan menggenggam benda itu.

"Aku tidak usah makan saja, Mas!" tolaknya.

"Makan!" paksa Surya.

"Mmm.., enggak usah lah, masih kenyang." 

"Melawan, ya?" suara Surya meninggi,

"Rupanya kamu ingin segera jadi artis? Oke, akan segera saya siarkan rekamanmu tadi di internet!" ancamnya.

"Mungkin adikmu Sari juga akan kukirimi email." 

"Jangan, Mas! Jangan! Aduh! Baiklah.., baiklah, aku makan. Maaf, Mas!" potong Ratih sambil segera mengembangkannya di atas telapak tangannya.

Surya tersenyum melihat ancamannya berhasil. Sementara itu Ratih mulai menyendokkan nasi beserta lauk-pauknya ke atas celana dalamnya itu. Kemudian dia duduk bersimpuh di lantai, dan mulai menyendoki makanan itu dengan tangannya. Dia tidak dapat menyembunyikan rasa jijik dan terhinanya. Ditabahkannya diri dan terus memasukkan makanan dari celana dalamnya itu ke dalam mulutnya. Semuanya berlangsung di bawah pengawasan Surya. Ketika dia akan mengambil minum, maka Surya menyuruhnya menggunakan BH yang tadi dipakainya sebagai gelas. Ratih melaksanakannya, dan tentu saja akibatnya banyak air yang menetes ke lantai.

"Jorok! Minum saja tidak becus. Bersihkan! Jilat dengan lidahmu!" hardik Surya.
Ratih merintih dalam hati. Tidak disangkanya Surya begitu tega menghina dirinya. Air matanya menetes saat dia melaksakan perintah itu. Dari sudut matanya dia melihat Surya tersenyum bangga menikmati penderitaan yang diakibatkannya.

Kehidupan baru Ratih telah dimulai. Surya memasukkannya ke dalam kamar mandi yang terdapat di kamar tidur mereka. Setelah mengikat kedua pergelangan tangannya ke belakang punggung, dia lalu mengunci pintunya dari luar. Hal ini dilakukan untuk mencegah segala resiko. Bagaimanapun dia merasa perlu untuk mewaspadai wanita ini. Dia sadar betul betapa orang nekat dapat melakukan segala hal yang tidak terduga.

Ratih meratap memohon sedikit keringanan dari Surya, namun sia-sia. Dia terus meratap tanpa mendapatkan tanggapan. Ketika dia sudah hampir putus asa, mendadak pintu terbuka. Harapan kembali tumbuh. Namun ternyata dugaannya meleset. Surya kembali bukan untuk membebaskannya, melainkan hanya untuk meningkatkan hukumannya. Diputarnya keran air hingga mengucur deras mengisi bak yang sudah hampir penuh. Kembali Surya keluar meninggalkannya terkurung di sana.

Kini suara ratapannya tersamar oleh bunyi deburan air. Ratih memandangi kucuran air itu dengan ngeri. Sebentar lagi bak akan penuh, kalau kerannya tidak ditutup, maka air itu akan membasahi lantai dan mengguyur badannya yang telanjang. Ketika yang ditakutkannya terjadi, dia kembali memanggil-manggil Surya tanpa hasil. Air mulai menggenang menjangkau kakinya. Malam yang telah dingin makin bertambah dingin. Ratih merasa sangat lemah. Kakinya sudah tidak kuat menahan tubuhnya. Perlahan-lahan dia merosot di dinding ruangan, lalu terjatuh, jongkok di lantai. Hal ini tidak berlangsung lama. Dia berusa untuk berdiri lagi, namun tidak mampu, dan akhirnya pantatnya langsung menyentuh lantai.

Ini merupakan malam terpanjang dan paling menyiksa yang pernah dialami oleh sesosok tubuh bernama Ratih.

MENCARI MISTRESS

Malam telah berlalu. Ratih sudah dibebaskan dan melaksanakan aktifitas sehari-harinya mengurus rumah seperti biasa. Bedanya adalah hari ini dia melakukannya sambil bugil, sebab Surya tetap tinggal di rumah. Sabtu memang merupakan hari libur di kantornya.

Surya menyalakan komputernya dan berseluncur di dunia maya. Melalui mesin pencari, dia berhasil menemukan beberapa situs yang sesuai dengan tujuannya. Dia mulai mengenal istilah BDSM. Dengan penuh perhatian diamatinya setiap foto tentang penyiksaan terhadap wanita. Berulang-ulang dia berdecak kagum menikmati wajah-wajah memelas tidak berdaya yang sedang diikat dan disiksa berbagai rupa. Dia merasa begitu bergairah, begitu liar, "haus". Pengembaraannya terus berlangsung hingga suatu ketika dia memasuki sebuah komunitas yang menamakan dirinya "Perbudakan Sex Indonesia".

"Hmm.., ternyata banyak juga penganut BDSM di Indonesia ini." pikirnya penuh takjub membaca pesan-pesan pada messageboard situs yang beralamat di salah satu situs perbudakan tersebut.

"Aha.., ada pemesanan VCD-nya juga, nih!" Surya melonjak kegirangan.

Segera saja dia melihat-lihat screenshot dari masing-masing judul VCD-BDSM yang ditawarkan itu. Dipilihnya beberapa judul yang cocok dan melakukan pemesanan.

"Saya harus memilikinya!" pikirnya.
"Akan banyak teknik yang dapat saya pelajari."

Tidak terasa telah berjam-jam Surya berseluncur dengan asyiknya. Belum pernah setekun ini dia di internet. Dan ketika keasyikannya terganggu oleh kedatangan Ratih yang memberitahukan bahwa makan siang telah siap, dia pun menghadiahinya sebuah tamparan keras diiringi caci-maki.

Seusai makan siang, Surya bergegas kembali meneruskan penjelajahannya. Kali ini dia memanggil Ratih dan menyuruhnya mengamati foto-foto itu. Ratih bergidik ngeri ketika melihatnya. Dia memalingkan mata tidak kuat melihat pemandangan di hadapannya, namun Surya justru kesenangan dan memaksanya untuk terus menatap layar monitor sambil menjanjikan akan segera mempraktekkannya. Bahkan dia disuruh memilih mana yang menurutnya paling menarik untuk acara nanti malam.

Atas desakan itu, Ratih hanya mengangguk setiap kali ditanyakan apakah foto di hadapannya menarik.
"Yang ini..? Oke.., kita simpan! Hmm.., nanti kita coba pilihanmu ini." kata Surya sambil menyimpan semua yang diiyakan Ratih itu di dalam hardisknya.

Matahari mulai menggelincir turun di ufuk Barat. Surya memerintahkan Ratih untuk mandi dan mengatakan ada tugas yang harus dilaksanakannya. Selesai mandi Surya menyuruhnya mendekat, kemudian mencabut tutup spidol berwarna merah dan mulai menggoreskan tulisan di badan Ratih. Melingkar di sekitar puting sebelah kanannya dia menuliskan kata "MILIK", sedangkan di sebelah kanan adalah "SURYA", dan dilanjutkan dengan "LONTE" di bawah payudaranya, sedikit di atas pusar. Surya menjelaskan bahwa itu akan mengingatkannya tentang siapa dirinya ketika sedang bertugas nanti. Selain itu juga akan mengurungkan niatnya untuk coba-coba berbuat serong lagi.

"Siapa tahu?" ujar Surya sinis.

Berikutnya Surya mengambil celana dalamnya dari tumpukan pakaian kotor dan menyerahkannya pada Ratih.

"Pakai punyaku ini, agar kalau kamu mengangkat rokmu pada siapa pun, maka mereka akan melihatnya, dan segera menyadari bahwa kamu sudah ada yang punya!" perintahnya.

Meski merasa aneh, Ratih menurut dan mengenakan celana dalam Surya itu. Untunglah dia diijinkan memakai pakaian luar sepantasnya sebagai pembungkus tubuhnya.

Sekitar pukul 18.00 Ratih meninggalkan rumah melaksanakan tugasnya. Dia mengarahkan kendaraan ke sebuah NightClub sebagaimana yang telah diperintahkan. Misinya adalah mencari seorang wanita penghibur untuk menjadi bintang tamu dalam acara penghukumannya nanti. Begitu terhinanya perasaan Ratih, disuruh mencari dan memilih sendiri seorang pelacur yang akan mendampingi suaminya dalam menyiksa dirinya. Namun dia tidak punya pilihan lain. Dia tidak ingin rekaman bugilnya tersebar di internet, disaksikan oleh masyarakat luas. Bagaimana kalau ada diantara mereka yang mengenalnya? Apalagi kalau sampai keluarganya tahu, dia tidak berani membayangkannya.

Ratih telah memasuki pelataran parkir, namun ragu-ragu untuk turun. Mesin mobil sudah dimatikan, dan dia duduk saja dengan gelisah di dalam mobil. Matanya berkeliaran mencoba menemukan wanita muda yang sedang sendirian di sekitar situ. Agaknya Ratih sedang beruntung. Tidak terlalu lama menanti, dia melihat seorang wanita sedang berjalan sendirian menuju ke pintu masuk. Badannya langsing berisi. T-Shirt tanggung ketat yang dikenakannya menyebabkan tonjolan kedua payudaranya terbayang nyata. Demikian juga dengan pinggulnya, begitu padat mendongakkan rok span yang membungkusnya. Ratih yakin, setiap pria pasti akan tergoda untuk menjamahnya.

"Mas Surya pasti akan senang!" katanya dalam hati sambil bergegas turun dan setengah berlari mengejar wanita itu.

"Eh, maaf! Bisa bicara sebentar?" tanya Ratih segera setelah berhasil menghadang jalannya.

Wanita itu berhenti melangkah dan memandangnya dengan heran.

"Siapa, ya?" tanyanya ragu.

"Hmm.., maaf mengganggu anda. Bisa kita bicara sebentar? Saya, ngg.., saya membutuhkan bantuan anda." bujuk Ratih hati-hati.

"Anda siapa?" tanyanya lagi dengan pandangan curiga.

"Ratih! Hmm.., tidak apa-apa, jangan takut. Saya sendirian." sahut Ratih menenangkan.

"Saya sangat mengharapkan pertolongan anda, please?" bujuknya.

Wanita itu mengangkat bahu menunjukkan ketidakmengertiannya.

"Jika anda tidak keberatan, mari kita ke cafe agar dapat berbicara sejenak, oke?" desak Ratih terus. Wanita itu melirik ke arlojinya.

"Please..?" bujuk Ratih lagi.

Akhirnya wanita itu mengalah. Mereka masuk ke dalam cafe dan memesan minuman ringan.

Setelah saling memperkenalkan diri dan sedikit berbasa-basi, mereka membisu. Wanita yang menyebut dirinya Lisa itu memandangi Ratih dengan bingung. Tampak benar dia sedang menunggu penjelasan. Dipandangi terus seperti itu menyebabkan Ratih tidak tenang. Dia kehilangan kata-kata untuk menyampaikan maksudnya. Ratih berusaha menutupi kegelisahannya dengan menghirup minumannya berulang-ulang.

"To the point aja, Mbak, apa maksud semua ini?" desak Lisa tidak sabar.

Ratih makin gelisah. Diambilnya napas panjang untuk mendapatkan kekuatan, namun dengan kecewa dihembuskan kembali. Diulanginya lagi, berkali-kali.

"Ada apa sih, Mbak? Kalau enggak ada, ya udah..!" kata Lisa mulai kesal sambil mengambil ancang-ancang hendak berdiri.

"Eh.., ngg.., enggak..!" Ratih gelagapan dan buru-buru menggenggam tangan Lisa untuk mencegahnya beranjak pergi.

Kembali ditariknya napas panjang-panjang menghimpun semua keberanian.

"Jangan pergi dulu, Dik! Ngg.., baiklah.., ngg.." Ratih tampak serba salah.

"Sebelumnya saya minta maaf telah mengganggu Adik." Lisa memang tampak lebih muda darinya.

"Sekali lagi maaf kalau kurang sopan, tapi sungguh saya sangat perlu mengetahuinya, ngg.., apakah Adik, Adik sudah menikah?" lanjut Ratih.

Lisa terperanjat dan menyentakkan tangannya dari genggaman Ratih, kemudian memandang dengan tajam. Suasana hening. Ratih tidak kuat melawan tatapan itu dan lalu menundukkan kepalanya sambil kembali meminta maaf.

"Untuk apa Mbak menanyakannya?" tanyanya menyelidik.

Ratih merasa serba salah dan terdiam. Tapi ketakutan akan resiko bila gagal memaksanya untuk berusaha.

"Ngg.., ya.., maaf, Dik! Mmm.., ini perlu sekali..!"

"Tapi untuk apa..?"

Kembali Ratih mereguk jus alpukat di hadapannya.

"Ngg.., ini.., ini berkaitan dengan.. bantuan yang saya harapkan dari Adik. Saya sangat membutuhkan bantuan Adik.."

"Apa hubungannya dengan pernikahan saya..?" potong Lisa semakin penasaran.

"Ngg.., karena.., karena pasti Dik Lisa tidak akan mau membantu saya.., kalau Adik belum pernah.."

"Apa sih maksud Mbak..?" suara Lisa mulai meninggi.

"Aduh.., maaf Dik! Maaf..! Saya bukan bermaksud menghina Adik. Hanya saja saya butuh bantuan Adik untuk.., untuk.., untuk.." Ratih tidak berani melanjutkan kata-katanya.

"Untuk apaa..?" desak Lisa semakin tidak sabar.

"Untuk.., ngg.., maaf Dik! Untuk.. suami saya..!" jawab Ratih lirih seraya menundukkan wajahnya dengan cemas.

"Apa..?" jerit Lisa tidak percaya sambil menegakkan badannya setengah berdiri.

Wajahnya tampak memerah. Menyadari teriakannya tadi menarik perhatian pengunjung lainnya, dia kembali duduk.

"Iya, Dik..! Sekali lagi maaf, kalau kata-kata saya menyinggung Adik."

Suasana kembali hening. Ratih mendengar dengan jelas detak jantungnya yang berdegup kencang. Kedua tangannya dikatupkan di atas meja, dan bergerak-gerak tidak menentu. Dia begitu gelisah menunggu jawaban Lisa. Sesekali diangkatnya wajah memandangi Lisa secara sembunyi-sembunyi. Lisa mengawasi setiap gerakan Ratih dengan cermat. Setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia sadar bahwa wanita itu benar-benar sangat mengharapkan jawabannya.

Akhirnya Lisa menghela napas dan menjawab, "Iya, saya sudah pernah menikah."

Ratih mengangkat wajahnya sambil menahan napas menantikan kelanjutannya.

"Tapi sekarang sendiri lagi.., biasa, tidak cocok!" lanjut Lisa sambil tersenyum acuh.

"Ah..!" sahut Ratih lega.

"Mengapa, Mbak?"

"Begini.., saya lega karena sepertinya Adik orang yang tepat.., untuk.. menolong saya."

Lisa memandangi Ratih dengan tajam, menuntut penjelasan.

"Sebelumnya maaf, kalau kata-kata saya akan membuat Adik tersinggung." lanjut Ratih.

Lisa tidak berkomentar, tapi sorot matanya kian tajam. Ratih kembali melanjutkan,

"Apakah.., mm.. Adik, ngg.., apakah Adik bersedia ngg.., ikut dengan saya!"

"Kemana? Untuk apa?" tanyanya setelah berpikir sejenak.

Pandangannya tidak pernah lepas dari wajah Ratih.

"Ke rumah saya."

"Mengapa?"

Ratih kembali kehilangan keberanian untuk mengungkapkannya. Namun mengingat betapa akan murkanya Surya jika dia gagal melaksanakan kewajibannya, maka dia berusaha mengumpulkan keberaniannya.

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, akhirnya dia menyampaikan tujuan utamanya.

"Begini, Dik..!" ucap Ratih setelah menarik napas dalam-dalam.

"Saya ingin meminta pertolongan Adik, mm.., untuk menemani suami saya."

Lisa terheran-heran.

"Menemani bagaimana?" tanyanya penasaran.

"Menemani.., yah.." Ratih mengangkat kedua bahunya. Dia bingung bagaimana cara menjelaskannya.
Akhirnya setelah berpikir keras, akhirnya dia melanjutkan,

"Saya telah berbuat kesalahan besar. Mas Surya tidak sudi lagi melakukannya denganku. Dia akan menceraikan saya jika tidak dapat mencarikan wanita lain untuk.., untuk melayaninya, menggantikanku."

Lisa tercengang mendengar penuturan itu. Dia tidak percaya pada pendengarannya.

"Apa saya tidak salah dengar? Mbak meminta saya untuk melayani suami Mbak? Ah, yang benar saja, Mbaak..?"

"Benar, Dik! Saya sangat mengaharapkan kesediaan Dik Lisa."

"Hmm.." Lisa merenung sejenak.
"Serius..? Apa benar Mbak rela suami Mbak melakukannya dengan wanita lain..?"
Ratih mengangguk dalam.

"Apa boleh buat, Dik! Saya yang salah, ini hukuman bagi saya." ujar Ratih lirih.
Napasnya terdengar sangat berat.

"Saya rela, ikhlas! Bahkan saya akan sangat berterima kasih jika Dik Lisa bersedia menolong saya." lanjutnya sambil menatap Lisa dengan wajah memelas, penuh pengharapan. Digenggamnya tangan Lisa untuk menegaskan keseriusan ucapannya ini.

Lisa memandang dengan tajam. Pandangannya seakan-akan menembus hingga ke dalam jiwa Ratih, mencari kepastian akan kebenaran pernyataan wanita di hadapannya. Suasana begitu hening.

"Yah.., sebagaimana yang tentunya sudah Mbak duga, memang saya biasa melakukannya. Tapi belum pernah dengan sepengetahuan, apalagi diminta oleh istrinya seperti Mbak ini." kata Lisa memecah keheningan.

"Hmm.., lalu, kalau saya bersedia, apa untungnya bagi saya?"

"Yah.., setidaknya saya tidak perlu melakukannya secara sembunyi-sembunyi." sahut Lisa sambil mengangkat bahu.

Secercah senyum mulai menghias wajah Ratih.

"Terima kasih, Dik!" genggaman Ratih semakin keras.

"Mmm.., saya sangat berterima kasih atas kesediaan Dik Lisa. Untuk itu.., mm, tentu saja saya akan memberikan imbalan yang pantas."

Mereka mulai membicarakan imbalan yang dianggap pantas untuk jasa yang akan diberikan Lisa. Semula Ratih menawarkan lima ratus ribu rupiah. Namun pada akhirnya mereka mencapai kesepakatan pada harga Rp 1.000.000,-. Sebagai jaminan atas keselamatan dirinya, Lisa meminta Ratih untuk menyerahkan KTP-nya, yang akan dikembalikan setelah acara selesai beserta pembayarannya. KTP itu lalu dimasukkan ke dalam sebuah amplop putih, dilem, dan lalu ditandangani oleh Ratih pada bagian persambungan lipatan penutupnya. Selanjutnya Lisa menitipkannya pada Alex, temannya yang kebetulan menjadi bartender di NightClub situ.

Mereka sepakat, bahwa jika hingga Minggu malam Lisa tidak datang mengambil amplop itu bersama Ratih, maka Alex harus segera melaporkan hilangnya Lisa kepada polisi sambil membawa amplop berisi KTP tersebut. Alex tidak boleh membukanya hingga Senin. Jika Ratih menemukan bahwa amplop itu sudah rusak karena pernah dibuka, maka pembayaran batal. Ini adalah syarat yang diminta Ratih agar privacynya juga terjaga. Ketika pada akhirnya mereka berangkat meninggalkan tempat tersebut, waktu sudah menunjukkan pukul 20.15.

Di tengah jalan Ratih menghentikan sejenak kendaraannya.
"Maaf Dik, saya harus menutup mata Adik. Maaf, suami saya ingin memastikan bahwa nanti setelah selesai, tidak akan ada masalah di kemudian hari." katanya sambil mengeluarkan saputangan.
Lisa dapat memaklumi permintaan tersebut. Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah Ratih membalutkan saputangannya menutupi mata Lisa.

UJI KELAYAKAN

Sementara itu di rumah, Surya sudah gelisah menanti kepulangan istrinya.

"Sial! Mengapa mereka belum muncul?" pikirnya bertanya-tanya.

Terbersit kekhawatiran bahwa Ratih mengingkari kesepakatan yang telah mereka buat, namun segera ditepisnya.

"Tidak mungkin! Dia pasti kembali! Mungkin sebentar lagi..," pikirannya mengembara menyusun skenario.

"Hmm.." Surya tersenyum sambil mulai mengumpulkan gulungan tali, rantai, pemukul nyamuk, dan rantai anjing di tengah ruangan tamu.

"Lihat saja nanti.., kamu pasti akan sangat menderita!" pikirnya dengan penuh rasa kemenangan.

"Dia tentu tak pernah menyangka apa yang akan diterimanya!"

Tiba-tiba lamunannya buyar. Terdengar suara mobil memasuki halaman. Bergegas dia mendekati jendela dan mengarahkan pandangan ke halaman. Wajahnya menyeringai tatkala mengetahui betapa yang dinantikannya telah tiba. Diawasinya terus mobil itu hingga berhenti. Terlihat Ratih keluar dari balik kemudi, berputar ke pintu sebelah, lalu menuntun turun seorang wanita yang memakai pembalut mata. Dibimbingnya wanita itu menuju ke arah pintu, dan.., kini kedua wanita itu hadir di hadapan Surya.

"Ini, Mas.." Ratih menyapa suaminya.

"Hmm.." dengus Surya dingin, lalu melanjutkan,

"Tutup pintunya, buka penutup matanya!"

Perintah dilaksanakan. Dengan tegas Surya mengarahkan telunjuknya ke arah lantai di depan kaki Ratih. Wanita itu mengerti dan segera menjatuhkan diri bersimpuh di tempat yang ditunjuk itu. Lisa mengerutkan kening, heran atas suasana yang dihadapinya.

"Baguuss..!" puji Surya,

"Kamu cepat belajar untuk mengerti posisimu."
Pria itu menyeringai penuh kepuasan. Hening beberapa saat.

"Namanya Lisa, 23 tahun. Hmm.., saya harap Mas suka." katanya menjelaskan.

Surya mengamati gadis itu sambil mengangguk-angguk.

"Cantik juga!" pikirnya. Pandangannya sempat terhenti beberapa saat pada kedua gundukan bukit yang mendesak di balik T-Shirt-nya. Wanita yang bernama Lisa ini memang tampak cantik. Kulitnya halus dan agak putih. Tinggi, langsing, dan montok.

Surya memerintahkan dia maju mendekat, lalu dia memutar jari telunjuknya membentuk lingkaran, yang segera dituruti Lisa dengan bergerak berputar, bagaikan peragawati yang sedang memamerkan busananya. Surya kembali mengangguk-angguk dan tersenyum puas.

"Hmm.., baiklah! Kita coba pilihanmu ini!" ujarnya sambil melangkah ke arah sudut dan lalu duduk berayun-ayun di kursi malas.

"Jadi nama kamu Lisa, ya..?" tanyanya ramah. Wanita itu tersenyum dan mengangguk pelan.

"Lisa.., hmm.., saya Surya. Sudah tahu tujuanmu ke sini?" pancingnya.

Lisa tampak agak ragu sejenak. "Mmm.., tentunya untuk menghiburmu. Tapi.., hmm.., bagaimana..? Lagi pula, kan ada dia." jawabnya ragu sambil mengarahkan dagunya ke arah Ratih.

"Baiklah, saya jelaskan." jawab Surya.

"Dia memang harus ada di sini?"

Lisa tampak tertegun, kemudian mengalihkan pandangannya kembali kepada Surya.
Surya pun melanjutkan,

"Begitu juga kamu. Kita bertiga akan melakukan sebuah permainan!"
Lisa tampak semakin tidak mengerti.

"Dia itu, Ratih, wanita yang telah kukawini selama sepuluh tahun. Namun kini dia tak lebih hanya sebagai budakku, setelah penyelewengan yang dilakukannya!" lanjutnya dengan emosional.

"Pengkhianatan harus mendapat ganjaran yang setimpal, bukan? Tapi aku perlu bantuan seorang wanita, sebab tentunya hanya wanitalah yang paling paham bagaimana cara menyakiti wanita lainnya. Untuk itu dia kupersilahkan memilihkannya bagiku. Dan ternyata..? Dia telah memilihmu! Hmm.., jadi bagaimana.., apakah kamu bersedia?"

"Mas..!" protes Ratih terperanjat, namun segera dihardik oleh Surya.

"Diam! Kamu tidak punya hak bersuara, mengerti?" 

Ratih mengangguk lemah dan kembali menundukkan wajahnya. Lisa kembali memandangi wanita yang membawanya tadi itu.

"Bersedia tidak anda membantuku?" tanya Surya kembali.

"Saya sudah menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Lihat itu?" tunjuknya pada perlengkapan yang telah terkumpul di tengah ruangan tadi.

"Semuanya sudah tersedia! Hmm.., Bagaimana?" 

Tampaknya Lisa mulai mengerti, namun keraguan masih terlihat di wajahnya.

"Tidak usah takut, ini semua sudah atas kesediaannya, sebagai bukti penyesalannya padaku!" ucap Surya.

"Benar begitu, Ratih?" tanyanya sambil beranjak berdiri.

"I-i-iya, Mas." jawabnya terbata-bata.

"Tuan! Mulai sekarang kamu hanya boleh memanggilku Tu-an, mengerti?" potong Surya sambil memberikan tekanan pada kata "tuan".

"Iya, Ma.., eh, Tuan!" 

"Hmm.., bagus begitu! Nah, Lisa.., bagaimana, mau tidak memiliki budak? Ha, ha, ha.."

"Mas.., aku memang salah, untuk itu aku rela menjadi budakmu. Kamu boleh berbuat apa saja padaku, tapi jangan jadikan aku juga menjadi budak orang lain. Huu, huu.." tangis Ratih mengiringi protesnya. Dia mulai paham tujuan Surya menyuruhnya mencarikan wanita lain, ternyata untuk turut serta menyiksanya. Dia tidak terima dihina oleh orang lain. Sedangkan oleh suaminya saja, dia sudah memaksakan diri menekan penolakan batinnya, dan bisa, walaupun pahit. Namun oleh orang lain? Ratih berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuat murka suaminya. Lisa memandanginya sejenak, lalu beralih ke Surya, dan kembali lagi memandang Ratih.

"Sial! Maass..? Tuan! Kurang ajar! Berani kamu membantah kemauanku, Budak?" bentak Surya berapi-api sambil melangkah mendekati Ratih.

Tangannya sudah diangkat ke udara, siap untuk diayunkan. Sementara itu Lisa bergerak menyingkir menjauhi mereka berdua.

"Ampunn Tuan! Ampuunn..!" Ratih menjatuhkan wajahnya ke lantai sambil memohon ampun.
Langkah Surya terhenti. Sambil mendengus, dihempaskannya tangannya ke samping tubuhnya. Hening sesaat. Surya mengepalkan tangan menahan kekesalan hatinya.

"Huh!" dia menarik napas panjang, sebelum akhirnya melanjutkan,

"Baiklah.., ini untuk yang terakhir!"

Ruangan kembali hening. Perlahan Lisa kembali ke tempatnya semula, kemudian,

"He budak," lanjut Surya,

"Sepertinya wanita pilihanmu ini masih ragu untuk menerimamu sebagai budak. Lebih baik kau bujuk dia agar bersedia menjadi NYONYA-mu. Atau kau memang sudah tidak berguna? Kalau begitu lebih baik kau kujual saja pada seorang germo!" 

Ratih sungguh ketakutan. "Jangan Mas, Tuan, jangan Tuan, jangan jual saya.., huu, huu, huu." dia menangis tersedu-sedu sambil membentur-benturkan kepalanya ke lantai.

"Nasibmu tergantung pada wanita itu! Kalau dia bersedia menerimamu sebagai budaknya, kau tetap di sini, tapi kalau tidak? Terpaksa..,"

"Huu.., am-pun.., Lis, tolong aku, Lis! Tolong.., terima aku jadi budakmu.. Aku janji akan melakukan apa saja perintahmu. Benar Liss.., janjii..!"

Ratih maju memeluk kaki Lisa. Surya tersenyum menyaksikan adegan tersebut. Inilah yang ditunggu-tunggunya. Kebenciannya yang mendalam mulai terobati. Dia yakin betapa Ratih sangat tersiksa melakukannya, dan itulah yang memuaskan dendamnya.

"Apa-apaan sih..? Huh!" dengus Lisa sambil menarik kakinya, namun Ratih tetap berusaha mempertahankannya, sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan terhuyung hampir jatuh.
Dengan reflek Surya melompat ke arahnya, namun Lisa sudah lebih dahulu jatuh terduduk.

"Aduh! Kurang ajar!" bentaknya penuh marah.

Dia segera bangkit berdiri dan menendangkan kakinya ke arah Ratih. BUK! Sepatu Lisa menghantam bahu Ratih. Ratih menjerit kesakitan. Sambil meringis dia segera beringsut mundur,

"Ampun.., aduh, ampunn Lisa..!"

"Nyonya!" bentak Surya mengingatkan.

"Iya.., ampun Nyonya..! Saya tidak sengaja.., ampuunn..!" 

"Kamu sudah membuatku jatuh, Lonte sialan! Kamu memang harus dihukum!" Lisa memburu Ratih sambil melayangkan sebuah tamparan, "PAR!" Ratih terjerembab ke lantai.

"Ha.. ha.. ha..! Bagus, baguuss, teruskan..!" Surya memberi semangat pada Lisa yang terus mengayunkan tangannya ke wajah Ratih.

"Berarti kamu sudah setuju, Lis?" teriaknya kesenangan sambil bertepuk tangan,

"Kalau begitu langsung dimulai saja, ha.. ha.. ha..! Ayo.., lakukan sesuka hatimu! Ingat, dia sekarang budakmu! Ha, ha, ha..!"

Mendengar itu Lisa malah menghentikan aksinya dan menatap Surya dengan tersenyum.
"Budakku? Hah, hah, hah..! Aku belum memutuskan untuk menerimanya!" sanggahnya.
"Setidaknya aku perlu tahu terlebih dahulu manfaatnya bagiku! Boleh aku memeriksa calon budakku ini?"

"Tentu saja!" sambut Surya.
"Silakan.., periksa sendiri baik-baik, apakah dia cukup layak kau pelihara!"

Lisa mengarahkan pandangannya kepada Ratih, "Copot pakaianmu! Semuanya, cepat! Aku ingin lihat apakah kau cukup berharga untuk menjadi budakku!"

Ratih membelalakkan mata tidak percaya, dia harus telanjang di hadapan seorang pelacur. Tapi dia segera teringat akan ancaman Surya yang akan menjualnya kepada germo jika dia menolak perintah pelacur itu. Kalau sampai itu terjadi, maka dia pun akan segera menyandang predikat yang sama, bahkan mungkin lebih hina, menjadi pelacur jalanan.

Terbayang kemungkinan betapa dia bisa saja diperkosa oleh para berandalan. Belum lagi kalau rekaman pengakuannya disebarkan. Dia tidak akan kuat menghadapinya. Baru membayangkan saja sudah membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Maka sambil menggigit bibir menahan tangis, dia bangkit untuk melaksanakannya. Dia tidak kuasa memandang siapa pun di ruangan itu. Sambil tertunduk layu, digerakkannya kedua tangannya ke belakang punggung, menarik resleting, dan kemudian mengangkat gaun yang dikenakannya melewati kepala.

Gemuruh tawa mengiringi setiap gerakannya. Semua mata di ruangan itu mengamatinya dengan seksama. Mereka menyeringai menyaksikan sepasang gunung kembar yang terbungkus dengan BH hitam yang berhiaskan renda dan kilauan berlian itu. Mata Lisa membelalak ketika menatap tulisan pada badan Ratih.

"Oh, hmm.." dia tersenyum, "Memang benar, kamu cocok sekali jadi lonte, ha, ha, ha.."

Ratih menguatkan diri menahan cemoohan itu. Dia melanjutkan dengan roknya, dan tawa Lisa meledak ketika melihat celana dalam yang dikenakannya.

"Ha, ha, ha.., punya siapa, tuh..?"

Surya pun ikut tertawa,
"Ha, ha, ha.., punyaku! Yang sudah bekas pakai, lagi."

Lisa semakin cekikikan mendengar jawaban Surya itu.

Sementara Ratih berdiri mematung di tempatnya menerima cemoohan mereka dengan pasrah. Gaun dan rok yang tadi dikenakan sekarang berceceran di lantai di dekat kakinya. Namun ternyata itu belum cukup.

Setelah reda dari tawanya, Lisa kembali membentaknya, "Lho, mengapa berhenti? Teruskan! Semuanya!" 

Tubuh Ratih bergetar keras. Pergolakan di hatinya semakin dahsyat. Menyadari tidak punya pilihan, dia pun melaksakannya. Kini seluruh permukaan kulitnya tampak dengan jelas.

"Ck.. ck.. ck..! Wah ada lagi, apa tuh..? Ooohh.., jadi kamu lonte milik Surya, ya..?" decak Lisa mencemooh.

Tersadar akan ketelanjangannya, Ratih segera menelungkupkan kedua telapak tangannya, satu ke dada, dan satu ke vagina. Namun gerakannya terhenti oleh bentakan Lisa,

"Eh, eh, eh.. jangan! Biarkan semuanya terbuka. Kau kan tahu, aku ingin memeriksamu? Jadi jangan coba-coba menutupi apa pun, mengerti!"

Ratih mengangguk pelan. Tanpa disadarinya air matanya mulai meleleh membentuk anak sungai di kedua pipinya. Namun mereka tidak memperdulikan hal itu. Lisa bergerak maju mendekati Ratih.

"Buka!" bentak Lisa sambil mengarahkan tangannya ke arah selangkangannya.

Ratih menuruti dengan merentangkan kedua kakinya. Lisa terus menepuk paha dalam Ratih sehingga dia terpaksa terus merenggangkan kakinya, hingga pada posisi mengangkang lebar. Ratih tidak kuasa lagi membendung rasa terhinanya. Dia sadar betapa kini sedang memamerkan organ kewanitaannya yang paling rahasia. Lisa mengelus-elus daerah di sekitar bibir vagina, kemudian memasukkan beberapa jari ke dalamnya, mencoba menyodok-nyodok gua itu. Pinggul Ratih terdorong ke belakang setiap kali Lisa menyodokkan jemarinya, namun selalu kembali maju tertarik oleh rengutan Lisa pada bibir vaginanya.

Lisa menganggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian melepaskan tangannya untuk berganti meremas payudara Ratih sebelah kiri. Diremas-remasnya beberapa saat, kemudian ditariknya puting susu Ratih. Ratih melenguh kesakitan, namun seringai Lisa malah makin lebar. Dia memelintir dan memencet-mencet puting itu seakan sedang memeriksa kekenyalannya. Selesai dengan bagian kiri, dia melanjutkan ke sebelah kanan. Semua itu dilakukan Lisa sambil sesekali menatap wajah Ratih, mengamati ekspresinya.

Setelah dianggap cukup, didorongnya bahu kiri Ratih, sehingga kini berputar membelakanginya. Tangan kirinya mendorong punggung Ratih. Kini wanita itu dalam posisi menungging, dan Lisa kembali melakukan pemeriksaan pada gundukan pinggul serta celah di antara keduanya. Setelah merasa cukup dengan pemeriksaannya, Lisa menyuruh ratih untuk tegak dan berputar kembali menghadapnya. Kini sesuai dengan perintah Lisa, Ratih berdiri menghadap Lisa dengan kaki terkangkang lebar. Kedua tangannya berada di balik punggung, sehingga kedua payudara Ratih tampak kian membusung, bagaikan menantang siapa pun untuk menjamahnya.

"Bagaimana.., cocok..?" tanya Surya melihat Lisa telah mengakhiri pemeriksaannya.

"Hmm.., lumayan..! Dan saya mendapatkan satu juta setelah ini selesai..?"

"Satu juta? Oh, tentu itu harga yang ditawarkannya padamu." ulang Surya manggut-manggut mengerti.

"Hmm.., oke, satu juta untuk malam ini. Anggap ini sebagai percobaan. Nanti, kalau ternyata cocok, bisa kita bicarakan lagi untuk masa-masa selanjutnya, bagaimana?"

Kepala Ratih kian terkulai layu mendengar kata-kata Surya. Dia betul-betul merasa terhina. Suaminya sedang melakukan transaksi dengan sorang pelacur untuk bersedia menerimanya sebagai budak. Dia merasa dipersamakan dengan kambing yang sedang diperdagangkan di pasar hewan. Namun apa daya? Dirinya hanya bisa pasrah.

Lisa menyimak dengan penuh perhatian. Dahinya tampak berkerut-kerut memikirkan tawaran itu.

"Jadi ada kemungkinan bahwa ini bisa berlanjut terus?"

"Ya.., kalau ternyata kita bisa menikmatinya."

Lisa mengamati Surya dan Ratih bergantian. Surya menunggu dengan tidak sabar, dan akhirnya,
 "Hmm.., mm.., oke! Dibayar untuk menghukum budak yang nakal kedengarannya menyenangkan juga." sahut Lisa sambil tersenyum.

"Nah..! Bagus itu! Jadi kita sudah sepakat, oke?" tanya surya memastikan.

"Oke!" angguk Lisa mengiyakan.

"PLOK! PLOK! PLOK!" Surya bertepuk tangan.


Namun tiba-tiba Lisa bertanya dengan serius, "Tapi aku belum pernah menyiksa, apalagi memelihara budak."

"Ahh.., tenang saja, nanti juga akan terbiasa. Kalau perlu akan saya tunjukkan foto-foto tentang itu dari internet."

Kemudian Surya mengarahkan pandangan tajam ke arah Ratih.

"Budak, kamu harus berterima kasih karena Nyonya Lisa telah bersedia menerimamu. Cepat, ucapkan terima kasih kepada Nyonyamu!"

Ratih tidak punya pilihan lain. Dia segera menjatuhkan diri berlutut,

"Terima kasih Nyonya.., terima kasih! Terima kasih!" katanya berulang-ulang sambil mengatupkan kedua telapak tangannya sebagaimana layaknya orang memberikan sembah.

Lisa tersenyum bangga menerima penghormatan dari budaknya. Digapainya Ratih, dan menekan kepalanya ke bawah. Paham dengan maksud Nyonyanya, Ratih menggesek-gesekkan pipinya ke sekitar betis Lisa. Seringai Lisa kian lebar.

"Bagus.., bagus..! Budak baik! Kamu akan setia pada nyonyamu?" tanyanya sambil mengelus rambut Ratih.

"Benar Nyonya, hamba akan setia melayani Nyonya. Hamba akan melaksanakan perintah Nyonya, apa pun!" janji Ratih menyadari posisinya.

Agaknya kini dia sudah mulai lancar mengucapkan kata Nyonya.

"Baguuss..! Nah, sekarang mari kita lihat beberapa foto yang mungkin akan dapat memberimu ide." ajak Surya kepada Lisa.

"Dan kamu, Budak! Tetap di tempatmu sampai kami butuhkan, mengerti?"

Ratih mengangguk dan duduk bersimpuh di tempatnya, menyaksikan kedua orang itu melangkah ke ruang tengah menuju ke meja komputer.

HUKUMAN DIMULAI

Sekitar setengah jam telah berlalu. Kini mereka kembali mendapatkan Ratih yang menanti dengan setia di tempatnya semula, tidak bergeming. Lisa melangkah mengitari Ratih beberapa kali. Meskipun sudah melihat contoh-contoh dari foto yang disimpan Surya di hardisk-nya, dia masih agak bingung akan memulai dari mana. Melihat kebingungan Lisa itu, Surya berinisiatif untuk memulainya.

"Baiklah, kita mulai saja dengan penobatan dia sebagai budakmu, oke?" cetus Surya.
"Seperti kamu lihat, saya sudah menyiapkan beberapa peralatan di sana. Mari kita lihat apa yang dapat kita pergunakan saat ini." ajaknya sambil beranjak hendak menuju ke tengah ruangan.

Namun Lisa segera menggeleng, "Tidak perlu, Pak Surya!" cegah Lisa yang segera ditukas oleh Surya,

"Surya saja, tidak usah pakai Pak! Cukup panggil aku Surya, bukankah sekarang posisimu menggantikannya sebagai istriku?"

"Baiklah.., hmm.., kalau begituu.., bagaimana kalau aku panggil Pah..?" tanya Lisa mesra.

"Itu lebih bagus. Oh ya, apa yang Mama maksud tidak perlu tadi?" tanya Surya meminta penjelasan.

Lisa tersenyum. "Mmm.., Mama pikir.., kita tidak perlu repot-repot, Pa! Biarkan budak kita yang mengambilkannya." 


Kemudian dia mengalihkan pandangan ke arah Ratih, "Budak?"

Ratih yang sedang tertegun mendengarkan percakapan mesra kedua orang itu, terlonjak kaget.
"Ya, eh, iya, apa Nyonya?" sahutnya menantikan perintah.

Lisa merentangkan kaki dan berkacak pinggang di hadapan Ratih. Meski bibirnya berhiaskan senyuman, namun sorot matanya nyata-nyata memancarkan cemoohan.

"Tuan dan Nyonyamu ini ingin melihat melihat apakah ada di antara perlengkapan di sana itu yang pantas untukmu." Kalimat itu begitu menusuk hati Ratih.

"Hmm., sebagai majikan yang baik, tentu saja kami tak ingin kulitmu polos tanpa sehelai benang pun. Sepertinya kami akan dapat memilihkan sesuatu yang sesuai untukmu, benar begitu, Pap..?"

Surya mengangguk membenarkan sambil turut tersenyum.

"Budak yang baik tentunya akan dengan senang hati melayani Tuan dan Nyonyanya, iya kan..?"

Tanpa memiliki pilihan lain, Ratih mengangguk. Lisa tampak puas.

"Pintar..! Nah, kalau begitu mau kan mengambilkan semuanya ke sini?"

"Baik Nyonya!" sahut Ratih patuh, penuh kepasrahan.

Dia segera bangkit melaksanakan titah. Tubuhnya bergidik ngeri ketika mengangkat tumpukan perlengkapan tersebut. Dia harus bolak-balik hingga dua kali untuk memindahkan seluruhnya. Setelah itu dia duduk bersimpuh di hadapan mereka.

"Ck, ck, ck..!" Lisa berdecak kagum melihat kepatuhan Ratih dan kelengkapan peralatan yang telah dipersiapkan Surya.

"Aha.., sepertinya ini akan cocok untukmu!" katanya sambil memungut rantai anjing,
"Coba kita tes!"

Lisa mendekati Ratih dan membelitkan sabuk kulit pada ujung rantai tersebut ke leher Ratih, lalu mengancingkannya.

"Bagaimana, Pa? Bagus..?" tanyanya sambil menarik rantai tersebut hingga kepala Ratih terdongak ke atas.

"Tentu saja, Sayang! Itu memang sudah sepatutnya."

"Papa tahu, kenapa Mama pilih yang ini?" tanya Lisa disambut gelengan kepala Surya.

Lisa menyeringai penuh ejekan, "Mama sengaja memilihkan ini, karena Mama sangat terkesan dengan kepatuhan budak kita ini. Mama ingat-ingat, kayaknya yang paling patuh dan setia di dunia ini, kok ya hanya anjing. Jadi sebagai hadiah untuk kepatuhan dan kesetiaannya itu, Mama memilih untuk menghadiahkannya kalung ini."

Ratih betul-betul merasa terhina. Tega benar wanita itu merendahkan dirinya, bahkan dipersamakan dengan binatang, anjing lagi! Dan Surya sama sekali tidak menunjukkan keberatannya.

"Mirip enggak, Pa?" tanya Lisa lagi.

"Tentu..! Ha, ha, ha.. Mama pintar sekali! Kita memang harus memberikan hadiah yang pantas untuk kesetiaannya. Rantai itu akan selalu mengingatkannya pada posisinya!" Surya membenarkan.

"Bagaimana, Budak! Kamu suka?"

Ratih diam dalam kebingungannya pada pertanyaan Lisa itu. Dia paham benar bahwa mereka sengaja sedang mempermainkannya. Jadi mereka bukan mengharapkan jawaban yang sesungguhnya, melainkan jawaban yang dapat memuaskan rasa berkuasa mereka. Dan kalau ingin selamat, maka dia harus memberikan yang mereka minta.

"He, jawab! Apa kamu bisu?" bentak Surya.

"Eh, ya.., ya, suka! Mmm.., ya! Iya, iya.., saya suka."
 Air matanya kembali meleleh menghadapi ketidakberdayaannya,
"Apa saja yang Tuan dan Nyonya suka." sahutnya terbata-bata.

"Ha ha ha..! Dia suka, Ma! Ha, ha, haa..! Dia suka! Dia suka menjadi anjing, ha, ha, ha..!" Surya tertawa girang mendengar jawaban itu.

Lisa turut tertawa dan mengelus-elus kepala Ratih.
"Kalau begitu bilang apa..?" tanyanya.

"Terima kasih, Nyonya.., terima kasih!"

"Ha, ha, ha..!"

"Aku jadi ingin jalan-jalan. Oh, iya, aku kan belum mengenal rumah ini." Lisa kembali berkata setelah tawa mereka reda.

Dipungutnya pemukul nyamuk dan mengibas-ngibaskannya di udara.

"Ayo, budak yang baik, mau kan kamu menunjukkan ruangan-ruangan rumah ini kepada Nyonyamu?"

Ratih mengangguk dan bangkit hendak menunjukkan jalan.

"Et, et, et.., tidak!" sergah Lisa,
"Tidak begitu! Tidak usah berdiri. Mana ada anjing jalan berdiri?" larangnya.

Dengan menahan rasa perih di hati, Ratih mulai merangkak ke arah dapur. Namun Lisa menarik ujung rantai di tangannya, sehingga lehernya agak tercekik. Ratih berhenti dan memandang Lisa dengan bingung.

"Bukan kesitu! Pertama-tama aku ingin ke kamarku dulu. Ayo, tunjukkan yang mana kamarku!"

"Maksudnya?" tanya Ratih sambil memandang Surya.

"Kamar yang biasa aku tiduri, Goblok! Bodoh banget, sih! Tentu saja Nyonyamu akan tidur di kamar Tuanmu!" tandas Surya.

Ratih lalu melangkah menuju kamar tidurnya selama ini. Lisa mengikuti di belakangnya sambil terus memegang ujung rantai itu, diiringi Surya. Tangan kiri Surya memeluk pinggangnya dengan mesra. Lisa tersenyum dan balas memelukkan tangan kanannya ke pinggang Surya.

Setelah tiba di kamar, Lisa melangkah mendekati meja rias. Dia menyalakan lampu di meja tersebut, kemudian duduk. Diperiksanya satu per satu perlengkapan rias milik Ratih. Ketika dia melihat sisir yang tergeletak di meja itu, dia mendapat ide dan menarik rantai di leher Ratih. Ratih bergerak mendekat. Lisa mengambil sisir tadi dan juga baby oil, lalu berpindah ke belakangnya. Ditekannya pundak wanita itu ke lantai, sehingga pantatnya menyembul tinggi di belakang, menungging.

Kemudian dengan menamparkan kakinya ke paha bagian dalam Ratih, dia menyuruhnya mengangkang. Lisa membalik pegangannya pada sisir itu, sehingga tidak lagi memegang gagangnya. Selanjutnya dia membungkuk di dekat pantat Ratih, membuka tutup botol baby oil dan menuangkan beberapa tetes ke gagang sisir, dan beberapa tetes juga ke anus Ratih.

"Ini akan membuatmu semakin mirip!" kata Lisa sambil memasukkan gagang sisir itu ke lubang anus Ratih.

Ratih menggeliat sakit, namun karena telah dilumuri baby oil, benda itu dapat lolos masuk tanpa terlalu banyak hambatan.

"Nah! Bagaimana Sayang?"

"Kamu memang pintar, Sayang!" sahut Surya, kemudian melanjutkan pada Ratih,
"Kamu sebaiknya berhati-hati agar ekormu itu tidak lepas, atau.."

"Tenang Pa, dia pasti akan menjaga ekornya dengan sangat baik, bukan begitu Budak?" Lisa menimpali.

"Iya Nyonya!" sahut Ratih.

"Hmm.., kamu senang kan diberikan ekor?"

 "Tentu saja.., Nyonya, saya senang. Terima kasih, Nyonya..!" sahut Ratih terbata-bata penuh pertentangan di batinnya.

"Bagus!" sahut Lisa dingin,
"Sekarang mari kita teruskan ke ruang lain!"

Mereka kembali melangkah menyusuri setiap ruangan. Namun kini Ratih mengalami kesulitan dengan gerakannya, karena setiap kali dia melangkah, terasa ada benda keras yang mendesak-desak anusnya. Surya dan Lisa menyadari keadaan itu, dan mereka tertawa geli setiap kali ekor buatan itu bergoyang.

Setelah melangkah beberapa saat, sisir itu terlepas dari tempatnya. Lisa marah besar dan menyabetkan pemukul nyamuk di tangannya ke kedua gundukan pantat Ratih berkali-kali. Ratih menyembah-nyembah memohon ampun, dipungutnya sisir itu dan dipasangkan kembali ke tempatnya semula sambil menekannya dengan dalam agar tidak terlepas lagi.

Kini mereka berada di teras belakang. Di atas tanah di halaman belakang itu tampak tiang jemuran. Di sudut kiri teras terdapat mesin cuci, dan di sudut kanan terdapat meja setrika. Lisa mengarahkan Ratih menuju ke mesin cuci. Di dekatnya itu ada keranjang kecil yang penuh berisi penjepit pakaian, terbuat dari plastik. Surya memandangi jepitan itu dengan serius, melirik ke arah Ratih. Kemudian dia kembali memandangi jepitan itu sambil mememencet-mencet gagangnya. Mendengar suara jepitan itu, Lisa menoleh kepada Surya.

"Kenapa, Pa?" tanyanya heran.

"Hmm.., enggak. Papa cuma sedang memikirkan ini." sahut Surya sambil menunjukkan jepitan yang dipegangnya.

Dia diam beberapa saat, kemudian melanjutkan, "Gimana ya, bisa enggak ini dipakai?"

Lisa mengembangkan senyum menangkap maksud Surya, "Oh, maksud Papa seperti yang di foto tadi itu?" sahutnya manis.
"Bisa, dong! Kita coba saja, bagus apa enggak."

"Sakit banget enggak ya, Ma?"

Lisa mengambil sebuah, dan mencoba pada pergelangan tangannya sebelah dalam, namun segera dilepaskan kembali sambil mengaduh,

"Aduh! Lumayan juga, Pa! Di tangan saja sudah sakit kok, apa lagi kalau di susunya."

Ratih merinding mendengarkan percakapan mereka yang merencanakan untuk menyiksanya dengan penjepit jemuran itu. Di payudaranya lagi! Sudah terbayang olehnya rasa sakit yang akan menimpanya. Dia tahu benar, bahwa sebentar lagi itu akan benar-benar terjadi, walaupun dia sangat berharap semoga mereka hanya sedang menakut-nakutinya saja.

"Yah, siapa tahu?" pikirnya dengan harap-harap cemas.
Tapi ternyata harapannya meleset. Apa yang dia khawatirkan ternyata benar-benar terjadi.

"Budak! Tuanmu mempunyai hadiah menarik untukmu!" seluruh persendian Ratih terasa lemas mendengar vonis yang telah dijatuhkan.

Sambil tersenyum manis Lisa menyodorkan dua buah jepitan kepadanya.

"Coba, pasangkan masing-masing di tetekmu!"

"Aduh! Ja, jangan Nyonya.. Sakit..!" protes Ratih gemetaran.

"Ayo..!"

Ratih menggeleng berulang-ulang sambil menelungkupkan telapak tangan menutupi kedua payudaranya, "Jangaann.., ampun, Nya.., aduh, ampuunn..!"

"Berani kamu membantah, Budak?" kini suara Lisa terdengar dingin penuh ancaman.

"Ampun, tidak berani, Nyonya! Aduh, tapi sakit, Nya..!" rengeknya ketakutan.

Lisa kembali tersenyum dibuat-buat. "Tapi ini perlu untuk penampilanmu, biar lebih menarik!" bujukannya terdengar begitu mencemooh.

"Sakit sedikit.., enggak apa-apa, kok.., enggak berdarah." desaknya.

Sikapnya bagaikan seorang ibu yang sedang membujuk anak kecilnya untuk minum obat puyer yang pahit.

"Sakit, Nya, yang lain saja, jangan itu..!" Ratih terus merengek.

"Alaahh.., enggak apa-apa! Ayo cepat!" Surya turut mendesak.


Namun Ratih tetap saja menggeleng-gelengkan kepala sanbil memohon ampun, menolak melakukannya. Akhirnya Lisa kehabisan kesabaran, dan membentak, "Sudah! Jangan membantah lagi! Pokoknya kamu harus memakainya! Soal sakit, itu urusanmu! Sekarang cepat lakukan, atau aku yang akan memasangkannya! Kalau sampai aku yang melakukannya, maka semuanya akan kupasangkan di tubuhmu tanpa sisa!" ketusnya,

"Sekarang bagaimana, mau aku yang melakukannya?" ancam Lisa sambil menggerakkan tangan menjamah keranjang itu.

"Jangan, Nyonya!" cegah Ratih.

"Baiklah! Akan aku lakukan, biar kulakukan sendiri saja, Nyonya!" mohon Ratih sambil menjulurkan tangannya.

Lisa tersenyum menang. Ratih memungut sebuah penjepit, dan dengan menahan napas dipasangkannya di dada kirinya.

"Bukan di situ!" larang Lisa,
"Di putingnya!"

"Oghh..!" erang Ratih menahan sakit ketika dia telah memindahkannya tepat pada puting kirinya. Tubuhnya menggelinjang beberapa saat.

"Teruskan! Yang sebelah lagi!"

Dengan membelalakkan mata menahan sakit dan ngeri, dipungutnya yang sebuah lagi, dan memasangkan di puting sebelah kanannya. Anak sungai di kedua pipinya kembali mengalir. Kedua telapak tangannya digenggamkan di sekitar payudaranya, berusaha mengurangi rasa sakit akibat jepitan itu. Beberapa saat kemudian dia mulai dapat mengendalikan perasaannya, dan menyadari betapa kedua orang itu sedang berpelukan mesra sambil tersenyum-senyum menikmati penderitaannya. Sungai mengalir kian deras.

"Hentikan! Cengeng! Baru dua saja sudah nangis, bagaimana nanti kalau kupasangkan semuanya?"
Bentakan Lisa begitu mujarab menghentikan tangis Ratih. Lisa dan Surya kemudian mengulurkan tangan menjamah kedua jepitan itu dan mempermainkannya. Ratih menggeliat kesakitan. Dikepalkan kedua tangannya sambil menegangkan badan mencoba untuk bertahan.

Tiba-tiba Lisa tersentak, "Oh iya! Puting dan pantatmu sudah dihias, tidak adil kalau yang satu itu tidak mendapatkan bagian." katanya seraya memungut dua penjepit lagi, lalu membungkukkan badan dan memasangkannya pada masing-masing bibir vagina Ratih.

Seringainya kian buas menyaksikan tubuh Ratih yang bergetar hebat menahan rasa perih yang teramat sangat.

Tidak cukup sampai di situ, Lisa kembali mengambil sebuah jepitan, dan kali ini memasangkannya tepat pada kelentitnya. Tubuh Ratih berguncang hebat. Kedua kakinya merenggang-renggang kejang. Pandangannya berkunang-kunang. Hampir saja dia roboh kalau rantai di lehernya tidak ditarik oleh Lisa untuk menahan tubuhnya. Perlahan Lisa mengendurkan rantai itu sedikit-sedikit, sehingga Ratih dapat menurunkan tubuhnya duduk mengangkang di atas lantai.

Dia merasa serba salah, entah bagian mana yang harus diusap-usap untuk mengurangi sakitnya, karena baik atas maupun bawah keduanya sama berdenyut-denyut mengantarkan penderitaan yang maha berat. Sempat terlintas pikiran untuk mencabuti jepitan itu, namun kesadarannya akan ancaman Lisa menyebabkan dia membatalkan niatnya.

Sebentar dia membungkukkan badan agar dapat dengan hati-hati mengusap kulit di sekitar penjepit pada vaginanya, tapi hal itu menyebabkan gagang penjepit di payudaranya terdorong oleh badan di bawah dadanya. Hal ini menyebabkan jepitan itu terdesak ke atas sehingga menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Menyadari hal ini, secara reflek tubuhnya tersentak ke belakang. Namun hal ini justru menyebabkan otot-otot di bagian bawah pinggangnya menegang, sehingga jepitan pada ketiga titik di vaginanya terasa makin kencang. Otomatis dia membungkukkan lagi badannya, dan kejadian sebelumnya terulang kembali. Begitu berulang-ulang. Surya dan Lisa berciuman dengan puas menyaksikan hasil karya Lisa yang menyebabkan Ratih melakukan gerakan-gerakan erotis yang menggairahkan itu.

Perlahan-lahan Ratih mulai dapat mengendalikan dirinya. Rasa sakitnya sudah berkurang, namun kedua organ kewanitaannya masih terus berdenyut, mengingatkannya selalu pada keadaannya. Setelah merasa agak baikan, dia melipat lututnya dan kembali pada posisi merangkak.

"Oh, kau sudah siap? Ayo kita lanjutkan!" sambut Lisa,

"Eh, nanti dulu! Kau tidak boleh melupakan buntutmu!" katanya sambil menggeser sisir yang tadi terlepas selama perjuangan Ratih, dengan kakinya.

Ratih memungut sisir itu dan kembali memasangkannya. Kali ini agak susah, karena disamping setiap gerakannya menyebabkan jepitannya kembali membangkitkan rasa nyeri, kini lubang anusnya mulai kering, sehingga jalannya gagang sisir itu agak seret.

"Pakai ludahmu agar gagangnya licin!" Lisa memberi petunjuk.

Ratih menurut. Diludahinya gagang sisir itu, lalu diusap-usapnya agar merata. Kembali dicobanya memasukkan gagang itu. Pelan-pelan, dengan menahan rasa sakit, akhirnya dia berhasil juga membenamkan gagang sisir itu ke tempatnya.

"Oke, mari kita berangkat!" ajak Lisa sambil menyentakkan rantai di leher Ratih.

Kini mereka masuk kembali ke dalam rumah dan menuju ruang tamu tempat mereka semula.

"Mam, Papa sudah enggak tahan, nih! Kita ke kamar, Yuk?" ajak Surya.

"Ayo, Mama juga sudah enggak sabar melihat permainan Papa!" sambut Lisa manja.

"Kamu saya undang untuk menyaksikannya, mau?" ajakan Lisa kepada Ratih jelas-jelas merupakan perintah.

"Sekalian bawa tali-tali itu! Kita akan memerlukannya nanti."

Mereka lalu melangkah kembali ke kamar tidur. Ratih terpaksa membuntuti dari belakang, karena Lisa tetap menyeret rantai di tangannya yang berhubungan dengan leher Ratih. Lisa mengamati keadaan ranjang dengan seksama. Tampaknya dia sedang merencanakan sesuatu. Ranjang itu terbuat dari kayu jati. Pada bagian kepalanya terdapat hiasan berupa kayu selebar ranjang dan berukir menempel tegak, memungkinkan orang untuk bersandar. Ukiran-ukiran pada kayu itu membentuk banyak lubang, kira-kira sedikit lebih besar dari ibu jari. Pada kedua ujung kayu di bagian kepala tersebut terdapat bagian yang menonjol. Di kedua sudut kaki ranjang itu hanya terdapat semacam tonggak pendek berukir dengan bulatan besar pada ujungnya, seperti gada. Di tengah-tengah kedua tonggak itu terdapat sebuah hiasan lagi berbentuk sepasang sayap pendek dengan celah di antara keduanya.

Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, dia mengarahkan Ratih ke bagian kaki ranjang. Lisa mengatur posisi Ratih. Rantai yang berhubungan dengan kekang di lehernya, dibelitkan berulang-ulang mengelilingi kedua sayap kayu kecil tadi, menyebabkan lehernya tertarik mendekati kedua celah di antara kedua sayap itu. Sisa rantai antara lehernya dengan celah itu hanya sekitar 20 cm. Kemudian Ratih disuruh berdiri. Namun karena Ratih tidak dapat mengangkat kepalanya, dia terpaksa menungging dengan bagian pantatnya jauh lebih tinggi dari kepalanya.

Selanjutnya Lisa mengambil tali yang dibawa Ratih tadi dan dilepaskan dari gulungannya. Salah satu ujungnya diikatkan pada pergelangan kaki kanan Ratih. Ujung lainnya dijulurkan ke kaki ranjang sebelah kanan, terus ke kaki ranjang di sudut lainnya, dan berakhir dengan belitan pada pergelangan kaki kirinya, menyebabkan dia harus merenggangkan kaki selebar-lebarnya.

Sementara itu Surya membuka gulungan tali yang lain. Salah satu ujungnya ditambatkan pada kaki kanan Ratih, sedikit di atas lutut, dan menariknya ke tonggak gada sebelah kanan. Agak berbeda dengan Lisa, setelah membelit tonggak, Surya menariknya kembali lalu membelitkan pada pinggang Ratih, untuk selanjutnya diteruskan ke tonggak sebelah kiri, belit, ditarik kembali, dan berakhir dengan simpul di kaki kiri Ratih, sejajar dengan belitan pada paha kanannya tadi, sedikit di atas lutut. Kini Ratih sudah tertahan pada posisinya, mengangkang dan menungging, tanpa mampu bergeser maupun merapatkan kakinya. Surya dan Lisa sambil berpandangan dan tersenyum saling memuji hasil karya mereka. Namun rupanya itu belum cukup.

Kembali Surya mengambil segulung tali lagi. Ditariknya kedua tangan Ratih ke belakang punggung, dan diikat menjadi satu. Ikatan tersebut kemudian dibelitkan pada tali yang melingkari pinggangnya, lalu diteruskan ke arah kepala Ratih. Dirapatkannya rambut Ratih untuk kemudian diikat dengan tali tadi. Setelah yakin bahwa ikatan pada rambut itu cukup kencang dan tidak mungkin tergelincir lepas, diteruskannya sisa tali tadi masuk ke celah antara kedua pergelangan tangannya. Ditariknya kencang sehingga tangan Ratih tertarik mendekati bahu, sementara kepalanya mendongak karena terjambak oleh ikatan pada rambutnya tadi. Dibelit-belitkannya ujung tali yang masih tersisa pada tali yang menyatukan tangan dengan rambut tersebut hingga habis, dan lalu membuat simpul. Belitan ini menyebabkan tali semakin menegang yang mengakibatkan Ratih harus semakin mendongakkan kepalanya.

Surya menghampiri Lisa menunggu komentar atas karyanya ini. Lisa memberikan applause dengan merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan Surya. Mereka berpelukan dengan mesra disaksikan oleh Ratih yang tidak dapat menghindar untuk tidak menyaksikan pemandangan itu. Dengan posisinya sekarang ini, Ratih tidak dapat menolehkan kepalanya kemanapun. Dia terpaksa harus menyaksikan setiap peristiwa yang berlangsung di hadapannya.

"Bagaimana, Ma, bisa kita lakukan sekarang?" tanya Surya.

"Sebentar dulu, Sayang!"

Lisa mendekati Ratih dan melepaskan semua jepitannya. Ratih meronta kesakitan setiap kali sebuah jepitan dilepas. Hal ini karena darah yang kembali mengalir menyebabkan indera perasanya aktif kembali. Meski demikian Ratih merasa bersyukur karena penderitaannya berkurang. Tapi dia salah sangka jika mengira Lisa menaruh iba, sebab ternyata ini hanya pemindahan tempat belaka.

Lisa kembali menjepitkan sebuah pada masing-masing daun telinga Ratih. Berikutnya dia memerintahkan Ratih untuk menjulurkan lidahnya dan kemudian dijepit pula pada kedua sisi kanan-kiri lidahnya. Ratih tidak dapat mengelakkan semua itu. Kini, setelah dipasangi penjepit, maka dia tidak dapat menarik masuk lidahnya, karena terhalang oleh gagang penjepit yang menyangkut pada kedua sudut bibirnya.


Surya mengangguk-angguk memuji ide Lisa sambil beranjak naik ke atas ranjang. Mereka bercumbu dengan mesra. Pakaian luar mereka telah tercampak di lantai. Berikutnya Lisa menanggalkan pula BH pink yang dikenakannya, sehingga Surya dapat leluasa menciumi payudaranya yang telah menegang. Tubuhnya bergelinjang menikmati hisapan Surya pada kedua putingnya berganti-ganti.Sesekali mereka tertawa terkekeh-kekeh ketika memandang Ratih yang tetap dalam posisinya tadi. Tawa mereka akhirnya meledak ketika melihat air liur kental yang menetes dari lidah yang terjulur itu.

"Ih, ngiler, ngiri, tuh..!" Ledek Lisa.

"Mau ikutan..? Enak aja, enggak lah ya..!"

Surya bangkit mengambil botol parfum yang agak besar, dan membuka tutupnya. Digunakannya tutup botol itu untuk menampung ludah kental Ratih. Mereka menyaksikan itu sambil tertawa-tawa geli menunggu hingga isinya cukup banyak. Kemudian Lisa mengambil kuas dari meja rias. Dibenamkannya ujung kuas ke dalam tutup botol itu dan lalu mengoleskannya ke wajah Ratih. Ratih menutup mata tidak kuat menyaksikan mereka mempermalukan dirinya dan juga didorong oleh perasaan jijik.

Namun rupanya Surya tidak mengijinkan,

"Buka!" bentaknya,

"Awas, kalau berani memejamkannya, akan saya jepit kelopak matamu agar terbuka terus!" ancamnya.

Maka Ratih pun kembali membuka matanya, pasrah menerima segala perlakuan mereka. Surya mengambil kuas lain dan membantu Lisa sambil tertawa-tawa mengejek. Kening, alis, kelopak mata, batang hidung, pipi, bibir, setiap permukaan wajah itu tidak luput dari sasaran.

Air liur di dalam botol telah habis. Surya merangkulkan tangannya menarik Lisa untuk kembali melanjutkan pertarungan mereka ke babak berikutnya. Lisa menurut dengan merebahkan badannya ke ranjang.

Namun gerakannya tiba-tiba terhenti, "Sebentar dulu, Pa!"

Diangkatnya sedikit pinggulnya dan meloloskan celana dalamnya. Lisa mendekatkan celana dalam itu ke hidungnya, dan mengendus-endus sambil mengerutkan dahi.

"Hmm.., Amis!"

Lalu digulungnya benda itu hingga menyerupai bola kecil sambil memandangi Ratih dengan senyum licik. Dia mendekati Ratih dan mengulurkan tangan melepaskan jepitan pada lidahnya. Kemudian sambil tertawa kecil dia membenamkan gulungan celana dalamnya ke mulut Ratih.

"Enak, kan? Asal tahu saja, celana dalam itu sudah kupakai sejak tadi pagi. Ha, ha, ha..!" ejeknya.

"Kamu tahu, kan, malam ini aku belum mandi. Jadi aromanya pasti luar biasa."

"Bagus, Ma! Perlu ditambah enggak dengan punyaku?" tanya Surya sambil bangkit.

"Haa..?" Lisa sempat kaget mendengar usul Surya, namun segera tertawa dan mengangguk,

"Mana, Pa? Boleh juga, tuh!" sambil mengulurkan tangannya.
Surya mengangkat pinggulnya dan memberikan isyarat.

Mereka kembali tertawa ketika Lisa mulai menarik copot celana dalam Surya dan menggulungnya. Gulungan milik Surya ini lebih besar daripada punyanya tadi, sehingga Lisa perlu agak mengerahkan tenaga untuk membenamkannya hingga masuk seluruhnya ke mulut Ratih. Pipi Ratih menggelembung menerima keduanya. Lengkungan huruf O yang dibentuk bibirnya mendekati sempurna.

"Wah.., ternyata besar juga mulut budak kita ini, ya Pa?" ejek Lisa,

"Makannya banyak, ya? Wah, rakus baget! Masak satu tidak cukup, sampai harus dua buah sekalian baru pas? Dasar Rakus!"

Mereka terus mengolok-olok penampilan Ratih dengan kata-kata yang sangat menusuk disertai tawa renyah yang bersahutan.

Kini mereka kembali rebah untuk segera melaksanakan pertarungan yang sesungguhnya. Surya telah menancapkan "senjata andalannya" ke "markas besar" Lisa. Mereka mengayun-ayunkan pinggul berirama. Tangan Surya meremas-remas kedua payudara Lisa. Lisa membalas dengan menggaruk-garuk dada Surya yang bidang. Napas mereka kian cepat dan tersenggal-senggal, seiring dengan kian cepatnya ayunan pinggul mereka.
Sesekali terdengar suara desahan, "Ah.., ah.., ah.."

Tidak lama kemudian Lisa mendongakkan kepalanya. Sekujur badannya menegang. Terdengar desahan panjang ketika tubuhnya bergelinjang seiring dengan orgasme yang telah dicapainya. Lisa kalah dalam pertarungan itu, namun dia menerimanya dengan penuh kenikmatan. Sementara itu Surya terus memompa senjatanya kian cepat. Tubuhnya mulai menegang, lalu tiba-tiba dia mencabut senjatanya dan berbalik menghadap Ratih. Dengan tergesa-gesa dicabutnya celana dalam yang menyumbat Ratih dan bergegas memasukkan senjatanya sebagai pengganti.

Hanya dalam hitungan detik tubuhnya terlonjak mencapai kenikmatan. Senjata pusakanya telah memuntahkan amunisinya tepat ke dalam mulut Ratih yang tersedak-sedak menampungnya. Kemudian Surya mencabutnya dari mulut Ratih untuk kemudian menyemprotkan sisanya ke wajahnya. Lendir kental bergumpal-gumpal melapisi wajah Ratih. Surya menyapukan penisnya ke setiap bagian wajah Ratih sambil tertawa puas. Akhirnya dia mendekatkan penisnya ke mulut Ratih dan memerintahkan wanita itu menjilatinya hingga bersih.

"Wah, rupanya ada mesin cuci istimewa disini!" seru Lisa seraya bangkit.
Dengan cermat dia mengawasi pekerjaan Ratih. Dirabanya penis Surya, dan mengangguk puas mengetahui betapa Ratih telah melaksanakannya dengan baik.

"Saya mau coba juga, Ah!" lanjut Lisa sambil duduk di pinggir ranjang, tepat di hadapan Ratih. Dimajukannya selangkangannya hingga hampir menempel dengan mulut Ratih.

"Bersihkan punyaku juga, Budak baik! Saya lihat kamu punya keahlian yang perlu dibanggakan, ha, ha, ha..!" ledeknya.

Kembali Ratih patuh dalam kepasrahannya. Dengan menahan jijik dia berusaha memuaskan hati Nyonyanya. Tubuh Lisa kembali menggelinjang akibat sentuhan lidah Ratih pada daerah sekitar Vaginanya. Beberapa saat kemudian Ratih agak menjuhkan mulutnya. Menyadari budaknya telah berhenti menjalankan tugasnya.

"Mengapa berhenti?" tanyanya.
"Sekalian dalamnya dong, Budak!"

Ratih menjulurkan kembali lidahnya, kali ini ke arah belahan vagina Lisa. Diusap-usapnya perlahan, lalu dengan agak memiringkan kepala, dia dapat memasukkan lidahnya hingga ke bagian dalam.

"Ahh.., hisap.., sedot sampai bersih! Aahh.., yaa.., agghh..!" Lisa memerintahkan sambil berdesah merasakan gairahnya yang kembali bangkit.

Menyadari betapa Lisa kembali terangsang, Surya bangkit dari tempat tidur dan bergerak ke belakang Ratih. Ditariknya gagang sisir yang selama ini terus tertancap di anusnya, ternyata telah seret. Pinggul Ratih sedikit terangkat dengan tegang ketika Surya melakukannya.

"Hmm.., sudah kering!" dengus Surya.

Lalu dia meludahi gagang sisir itu beberapa kali, untuk kemudian memasukkannya kembali.

Pinggul Ratih melonjak-lonjak kesakitan ketika Surya mempermainkan gagang sisir itu di dalam anusnya. Tangannya menegang. Muncul rasa sakit lain pada kulit kepalanya. Rambutnya terjambak oleh tarikan tangannya sendiri yang menegang menahan sakit pada anusnya. Dia teringat betapa rambutnya telah diikat dan dihubungkan dengan tangannya, jadi setiap kali dia menggerakkan tangan, maka dia akan menjambak rambutnya sendiri. Buru-buru dilemaskannya tangannya kembali, namun rasa sakit pada anusnya memaksa seluruh tubuhnya tetap tegang. Akhirnya Ratih menyerah pada keadaan itu, dan kembali harus merelakan diri menerima seluruh penderitaan ini.

Kini Lisa mendekap kepala Ratih hingga seluruh wajahnya terbenam di selangkangannya. Ratih tersenggal-senggal menarik napas karena hidungnya turut tersumbat membentur vagina Lisa.
"Auughh.., terr.. uuss.., ahh.. teruskan.., sampai bersih..!" Lisa mendesah-desah.
Padahal Ratih sudah membersihkan semuanya, namun Lisa masih betah menikmati sensasi yang membangkitkan kembali gairahnya itu. Ratih terus mempermainkan lidahnya di liang dan kelentitnya.

Lisa tidak tahan lagi. Tubuhnya menggelinjang makin kencang. Dekapannya pada kepala Ratih kian kencang. Tidak lama kemudian pinggangnya meliuk ke belakang, menandakan betapa dia telah hampir mencapai puncak. Surya pun tidak mau ketinggalan. Tangannya makin bersemangat menyodok-nyodokkan gagang sisir itu, mengimbangi gerakan Lisa yang kian tidak terkendali. Akhirnya.., tubuh Lisa kembali lunglai setelah dia mencapai orgasme untuk yang kedua kalinya ini. Dia kembali merebahkan badan. Surya memandang padanya dengan tersenyum.

"Sudah?"

Lisa membuka mata dan membalas senyuman itu sambil mengangguk lemah.

Surya maju melepaskan rantai leher Ratih dari tambatannya pada kaki ranjang. Dilepaskannya pula jepitan yang masih menempel di kedua daun telinga wanita itu. Ratih sempoyongan dan jatuh terduduk di lantai setelah Surya melepaskan ikatan pada kaki dan pahanya. Namun tangannya tetap dibiarkan terikat seperti tadi, dan rantai kembali di tambatkan pada tempat semula, tapi hanya ujungnya saja, sehingga terdapat cukup ruang antara lehernya dengan kaki ranjang.

"Sekarang terserah kamu, mau meneruskan mengocok-ngocok sendiri anusmu, atau kau lepaskan!" ujar Surya mengijinkan Ratih menentukan pilihannya.

Ratih memandang Surya dengan ragu. Surya mengangguk memberi kepastian, lalu berbalik melangkahkan kaki kembali ke atas ranjang. Ratih berjongkok dan merapatkan kaki berusaha menggapai sisir di pantatnya, dan dengan melalui sedikit perjuangan, dia berhasil melepaskannya. Dicobanya merebahkan badan, telentang. Namun karena terganjal oleh tangan yang terikat di belakang punggungnya, dia harus agak memiringkan tubuh. Diaturnya napas perlahan-lahan sambil melemaskan tubuh mencoba menghilangkan rasa pegal di sekujur tubuhnya.


Surya merebahkan dirinya di samping Lisa. Lisa tersenyum penuh kepuasan. Diciuminya wajah Surya berkali-kali. Surya membalas, hingga akhirnya mulut mereka saling bertemu. Mereka berciuman dengan lembut. Sesaat kemudian mereka telah lelap tertidur dalam nikmat, menyusul Ratih yang telah terlelap lebih dahulu dalam kepenatan dan penderitaannya.

==oo0oo==

Selasa, 14 Mei 2013

Suatu Hari di Bulan Mei

Hari itu hari ulang tahun Mei. Sebuah pesta kecil di kebun belakang telah kusiapkan hari ini. Aku sendiri yang menyiapkan jamuan ini. Rumah selalu sepi di siang hari, dan hanya Narti yang membantuku.

Meilana, tidak selalu beruntung merayakan ulang tahunnya setiap tahun. Papinya pemilik toko kelontong yang tidak terlalu ramai. Rumahnya yang tidak terlalu besar terletak di sebelah toko itu berdesak-desakan di sebuah gang kecil, di samping selokan yang selalu bau. Mei bersama empat orang adiknya bergantian menjaga toko itu. Aku sangat mengenal keluarga itu. Mereka tekun dan pekerja keras. Aku sedang menghangatkan sup ketika telepon berdering. Suara Papa terdengar panik di ujung sana.


"Kamu jadi mengundang teman-temanmu siang ini, Mila?"

"Iya. Memangnya kenapa?"

"Situasi di jalan sedang kacau sekarang ini. Di rumah ada siapa?"

"Ina dan Narti." "Ke mana Ujang?"

"Ke kantor Mama. Mama minta dijemput siang ini."

"Banyak orang menghalangi jalan, ban-ban dibakar. Kerusuhan di mana-mana. Tutup pagar rapat-rapat, dan jangan ke mana-mana. Papa yakin, rumah kita aman." Dadaku berdegup kencang. Via dan Mei! Mereka dalam bahaya!

"Teman-temanmu itu.…"

"Via dan Mei?"

 "Ya. Lindungi mereka. Papa yakin mereka aman di dalam rumah kita. Kita bukan sasaran mereka."

Aku meletakkan gagang telepon dengan cemas. Kupencet sebuah nomor. Ponsel Via. Terdengar suara gemerisik di ujung sana, bunyi keributan yang tak jelas. Lalu mati. Kucoba menghubungi lagi. Mailbox. Suara Narti memanggil-manggilku dari lantai atas. Setengah berlari, aku menaiki tangga. Di balkon, Narti berdiri takjub dengan latar lukisan kepulan asap hitam di langit. Aku bagai terhempas. Didi! Mungkin dia terseret di tengah arus kerumunan. Apakah yang dilakukannya kini? Ingatkah dia untuk datang hari ini?

Beberapa hari kami tidak bertegur sapa. Dia begitu sibuk sejak beberapa hari yang lalu. Mengatur strategi di jalanan, demonstrasi, dan bernegosiasi dengan polisi. Kepulan asap hitam membubung di kejauhan. Aroma busuk menyeruak dari mana-mana, seperti amarah yang membekap udara saat ini. Aku sadar, sebuah gelombang dendam tengah membanjir saat ini, mungkin siap membinasakan, menghempaskan apa saja. Derap kerumunan datang mendekat. Sorak-sorai, tawa, dan teriakan yang aneh, bagai melampiaskan amarah. Kucengkeram lengan Narti.

"Pagar sudah digembok,Nar?" Narti mengangguk. Wajahnya pucat didera ketakutan.

"Jangan bukakan pintu pada siapa-siapa!" bisikku, lalu kuseret dia masuk ke dalam. Namun, suara bel yang dipencet tak sabar itu… suara gedoran pada pagar… lalu sebuah suara yang mirip tangis memanggilku,

"Mila…Milaa… buka pintunya!" Itu Via.

"Via dan Mei! Bukakan pintu, Nar! Lalu cepat tutup lagi!" Narti berlalu sambil berlari. Aku begitu tegang sehingga langkahku bagai tak lagi menginjak tanah. Via dan Mei.

Mereka menghambur masuk dari celah pintu yang terbuka. Wajah mereka memerah karena tangis, dan tubuh mereka gemetar. Cepat kutarik tangan mereka.

"Mereka mengejarku, Mil," isak Via.

"Sudah, tenanglah. Di sini kalian aman." Kamar Narti di sebelah gudang. Ke sanalah mereka akan kubawa.

"Mereka sangat beringas, Mila. Mereka menggedor-gedor kaca mobil, menyuruh kami turun. Untung kami sempat berlari. Tapi,mobilku…."

"Sudah, lupakan saja mobilmu. Yang paling penting kalian berdua selamat.…"

"Tapi, mereka mengejar kami. Mungkin mereka tahu kami masuk ke sini…."

"Karena itu kalian harus bersembunyi. Sudahlah,kalian aman di sini."

"Kalau mereka memaksa masuk ke sini?"

"Mereka tidak akan berani berbuat macam-macam di sini. Percayalah padaku."
Via diam. Mukanya yang putih tampak semakin pucat. Rambut kemerahan nya berantakan dan basah oleh keringat. Celananya jins ketat, dengan blus katun putih berenda. Seperti biasa, Via tahu bagaimana mempercantik diri. Maskaranya rapi, perona mata dan bibirnya selalu serasi. Namun kali ini, polesan itu lebur dengan airmata.

Dan Meilana yang malang. Tubuh kurusnya meringkuk di ujung tempat tidur Narti. Mata sipitnya berkaca-kaca dan tatapannya nyaris memohon, serupa sorot mata seorang bocah yang ingin berlindung dari gangguan seorang teman yang jail. Betapa ingin kupeluk tubuh itu. Aku tahu tubuh itu telah terlalu lelah. Tubuh itu lelah kepada prasangka. Setiap orang menyangka dia anak pengusaha kaya raya. Padahal, papinya hanyalah pemilik toko kelontong kecil, motor butut pengantar gallon air minum, dan rumah bertingkat dua yang bocor ketika hujan.
 
"Neng…!" Narti menghampiriku, berlari. Rambut ekor kudanya dihempas kan angin.

"Orang-orang itu memaksa masuk! Mereka menggedor-gedor pintu gerbang"

"Aku bilang, jangan bukakan pintu!" Narti tersentak, lalu katanya,

"Saya nggak bukain, kok. Mereka masih di luar, tapi terus menggedor-gedor…." Kututup pintu kamar Narti,

"Kunci pintunya," bisikku pada Via dan Meilana yang meringkuk ketakutan di sudut. Siapa yang berani memaksa memasuki rumah ini? Bapak adalah seorang tokoh masyarakat yang disegani. Orang-orang itu, mungkin tak bernama. Mungkin mereka berasal dari sebuah dunia yang asing. Karenanya, mereka tak lagi punya identitas. Mereka tak punya batas-batas, apalagi rasa hormat. Di luar, pintu gerbang setinggi hampir tiga meter berderak-derak. Bunyi dentamnya nyaring membelah siang. Narti berdiri tegang di sebelahku, bersembunyi dalam gelap kaca jendela. Jendela kaca ini memisahkanku dengan beranda, memberiku rasa aman sementara. Tetapi, tampaknya tidak lama. Lihatlah! Satu, dua, tiga, laki-laki bertubuh tegap memanjat tembok pembatas rumah, menginjak-injak sirih belanda milik Mama yang menjuntai anggun. Tidak! Orang-orang itu berlompatan seperti percikan api, merah oleh luapan amarah.

"Neng…," desis Narti ketakutan. Kurang ajar! Siapa mereka? Wajah-wajah mereka gelap, berminyak, dan tak kukenal. Benar saja. Mereka pasti terlontar dari suatu ceruk di perut bumi. Kaki-kaki mereka telanjang dan berdebu. Telapak-telapak yang tebal oleh panas dan rasa sakit. Mereka mungkin tak mengenal bahasa.

"Sialan! Apa yang mereka cari?"

"Mereka nggak tahu ini rumah siapa…," bisik Narti.

Orang-orang itu mengayun-ayunkan kelewang, memukul-mukulkan kayu dan besi ke dinding. Lantai serasa bergoyang. Aku mundur, mencari sandaran. Dan pintu terbuka dengan sekali dobrak. Tiga laki-laki menerobos masuk, mata mereka nyalang, seperti serigala lapar.

"Mana perempuan-perempuan itu?" seorang laki-laki bersuara, nyaris menggeram. Aroma alkohol meruap dari celah giginya yang menguning. Aku mundur, dan terus mundur, hingga tanganku menyentuh dinding. Kerumunan laki-laki bertambah banyak di ambang pintu. Mereka lalu bergerak bagai kesetanan. Menendang guci keramik Mama, melempar vas kristal, menginjak-injak karpet dengan sepatu mereka yang kelabu oleh debu.

"Mencari siapa kalian?" aku memberanikan diri bertanya,meskipun suaraku bergetar.

"Kamu sembunyikan di mana perempuan-perempuan tadi? Mereka masuk ke sini, `kan?" salah seorang laki-laki itu mencoba meraih daguku. Sekilas telapak tangannya tampak kasar dan tebal kehitaman. Raut mukanya menyeringai. Dan aku dapat melihat, airliur menetes dari sudut bibirnya yang tebal. Cepat kupalingkan muka dengan jijik.

"Sudah, garap aja, Man…. Meskipun nggak putih, dia montok juga. cantik lagi,.. Lumayan khan…."

seorang laki-laki gemuk berseru sambil mondar-mandir di depan teve. Ada yang bergolak di dalam perutku. Rasanya aku ingin muntah. Dua orang laki-laki lainnya berjalan ke arah beranda belakang, mendobrak setiap pintu, memecahkan setiap jendela. Dadaku berdebar. Via dan Mei!

"Jadi kamu mau membela teman-temanmu itu, ya?" laki-laki yang berdiri di dekatku itu mendesis, dengan bau busuk mulutnya yang membuatku mual. Tiba-tiba dia meraih selendang tenun yang melilit sofa, dikibaskannya, dan didorongnya aku ke belakang. Aku terjengkang sejenak, dan meronta.

Memang sulit untuk mencoba bangkit dalam kengerian, tapi aku takkan menyerah. Dia mendorongku lebih keras, dan aku terbanting. Betapa ingin kutampar mukanya yang mengilat dan berjerawat, namun aku hanya bisa meludahinya. Dia tersentak. Mukanya memerah karena amarah yang bangkit. Dia meraih tanganku, dan menyeretku ke sebuah kursi. Diikatnya tanganku kebelakang dengan tali rafia biru di kursi itu, lalu kakiku diikatnya erat jadi satu…

"Duduk manis di situ, lalu lihat apa yang bisa kami lakukan kepada teman-temanmu. Kamu pikir kamu bisa menolong mereka? Rasakan akibatnya kalau berteman dengan mereka. Kamu akan menyesal seumur hidup!" 

 Aku meludah lagi. "Cuh…! Kamu yang menyes…."

Laki-laki itu, amarahnya seketika memuncak. Tangannya bergetar ketika membekap mulutku. Kakiku yang terikat erat menendang-nendang ruang kosong. Tanganku yang meronta menggoyang goyangkan kursi, hingga riuh entakannya seirama gemelutuk tulang dilutut dan sikuku. Kulihat Narti. terduduk. Kaki dan tangannya terikat di sebuah kursi yang lain. Mulutnya pun dibekap dengan lakban perak, hingga aku hanya dapat melihat matanya yang sembap. Gemerincing kaca dipecah. Badanku lemas oleh beban yang seketika tertumpah. Aku tahu,mereka telah menemukan Via dan Mei. Suara pukulan dan tendangan terdengar dari sebuah sudut. Rupanya Via melawan. Dan Mei, aku hanya mendengar isak tangisnya. Namun, siapakah yang mampu melawan kekuatan laki-laki yang begitu perkasa? Dua, tiga laki-laki menyeret Via dan Mei dalam keadaan tak berdaya, tangannya terikat.

Mereka membawa Via dan Mei ke kamar. Ketika melewatiku, Mei memandang ke arahku.
"Mila…Milaa," rintihnya. Mataku terpejam. Seandainya aku tak punya penglihatan dan pendengaran hari ini…. Karena berikutnya, yang kudengar hanyalah rintih dan isak tangis. Via, saat tubuhnya terseret dengan tangan yang sudah terikat kebelakang,… suaranya tak kudengar sedari tadi. Mungkin dia pingsan.

Dan Mei, keadaannya tak jauh beda denganku, terikat di kursi kerja Papa yang beroda,… erangan kesakitannya masih menjadi bagian dari mimpi-mimpi burukku hingga kini. Kerumunan laki-laki masuk ke kamar bergantian. Mungkin enam, atau tujuh, aku tak peduli. Yang kulakukan hanyalah berpura-pura bisu, tuli, dan tak punya nurani. Tetapi, sebuah derap langkah perlahan menghampiri pintu. Kutegakkan tubuh. Mungkinkah itu malaikat? Namun ternyata…Didi!

Dia bersembunyi, menempelkan badan di sisi lemari. Nekat sekali! Kugerakkan kepala, menyuruhnya pergi, namun dia meletakkan telunjuknya di bibir. Gila! Apa yang akan dilakukannya? Semua laki-laki itu tengah berpesta-pora dalam puncak limpahan adrenalin. Mereka bisa melakukan apa saja seandainya terganggu. Mereka begitu buas, begitu beringas. Tetapi tunggu, ini adalah kesempatan ku untuk melarikan diri. Namun… dengan Via dan Mei tergeletak di sini? Aku tak bisa meninggal kan mereka begitu saja. Kugerakkan kepalaku sekali lagi. Namun, Didi tetap di sana.

Dengan isyarat tangannya, dia berkeras mengajakku pergi. Kulirik Narti yang termangu memandangku, menunggu. Baiklah, ikatan tali rafia ini harus kulepaskan diam-diam. Sedikit demi sedikit, ikatan itu terurai. Sedikit lagi, dan tanganku akan bebas. Namun, aku terlalu bersemangat, dan… braak! Aku terjatuh bersama kursi yang masih mengikatku. Seorang laki-laki yang tengah mengancingkan celananya memandang marah kepadaku. Dihampirinya aku dengan wajah tertekuk, dan setelah dilihatnya lilitan tali rafia di tanganku yang terburai, sumpah serapahnya meluap.

Ditendangnya kepalaku, dan aku tersungkur. Begitu ingin kuludahi mukanya, tetapi aku begitu tanpa daya. Darah mengucur dari hidungku ketika laki-laki itu bersiap akan mendaratkan tendangannya di tubuhku. Aku menatapnya dengan benci. Namun, pada detik berikutnya, sekelebat bayangan menerpanya. Didi! Dia menyerang laki-laki itu dari belakang. Laki-laki itu berteriak. Beberapa orang laki-laki berwajah buas berhamburan dari dalam kamar. Kupejamkan mata. Adrian, jangan konyol!
Suara dentam dan pukulan mengepungku. Mungkin sebuah pertempuran terjadi di luar sana, dan aku lebih suka melihat gelap. Tubuhku serasa dihantam sebongkah balok es. Aku menggigil. Ketika senyap,mereka melepas ikatan di kakiku. Dengan sudut mata kulihat Didi terikat, terkulai dengan darah mengalir dari celah bibir dan kepalanya. Matanya terpejam, namun aku yakin dia menyaksikanku.

Mereka melucuti bajuku satu per satu, menarikku, lalu membantingku di balai-balai jati itu. Balai-balai Mama, balai-balai yang dipersembahkan dengan segenap cinta. Aku berontak, mencoba bangkit. Namun, tiga pasang tangan kekar memegangiku sangat kuat. Mereka tak berbusana.

"Didi… Didi,…." rintihku penuh harap. Namun hanya

"Mmmpphhh,…. Mmmmpphhh,…..!!" yang terdengar dari mulutku. Dia tetap diam,terkulai. Setetes air mengalir di sudut matanya. "Creeettt…..!" lakban dimulutku dilepas dengan kasarnya.

"Kalian biadab!" semburku, tepat di wajah seorang laki-laki dengan bekas luka bakar di
pelipisnya. Detik berikutnya, sebuah kain satin tenun membekap mulutku. Mmmpphhh!!! Mmmpphh!!! "Creetttt….!" Kemudian mereka kembali memplester mulutku dangan lakban baru. Tanganku masih terikat erat dibelakang. Tubuh ku lunglai saat ku rasakan penis itu menghujam vaginaku dengan sangat kasar, dan aku pun tak sadarkan diri.

==o0oo==